Foto milik Aira

736 Words
POV Ham Kemarin, aku sudah berjanji akan membuat foto terbaik hari ini. Sebuah lensa paling bagus sudah kupasang pagi-pagi. Untuk pertama kalinya, aku bahagia membuat kegiatan yang berbeda. Biasanya, jadwal kami monoton. Kalau tidak menghabiskan waktu untuk fotografi, pasti tentang kain. Allen pernah menyarankan untuk bepergian, tapi tidak pernah kami lakukan. Tidak ada yang lebih baik daripada melewatkan waktu bersama Aira. "Yang ini terlalu mencolok," gumamku saat keesokannya, kami tengah memilih tipe gaun. Sebagian terlalu mengekspos lekuk tubuh, sedang yang longgar, akan transparan di beberapa bagian. Kadang, aku heran dengan mempelai pria. Mau-maunya saja dia mempertontonkan tubuh wanitanya. "Benar, aku sendiri tidak suka," timpal Aira membalik halaman lain. Terlihat, penjaga studio menemani kami dengan sabar. Wanita itu nampak muda, mengenakan hak tinggi yang mengekspos betis. Aku menggeleng, merasa jijik dalam waktu bersamaan. Untung saja Aira tidak seperti itu. Gadisku punya cara elegan untuk tampil cantik tanpa harus berlebih. "Kalau yang ini? bisa aku mencobanya?" tanya Aira menepuk bahuku. Desainnya cukup sopan dan rapi. Hanya saja, terlihat kuno. Aku buru-buru mengangguk, merepotkan kalau harus memilih-milih lagi. Hari sudah siang dan kami butuh makan. "Silahkan masuk dulu. Mempelai pria bisa tunggu di ruangan sebelah." Penjaga studio itu tentu tidak sendiri. Tiga karyawan lain muncul, membawa gaun pilihan Aira.  Potongannya cukup besar dibanding perkiraanku. Setelah menunggu selama 30 menit, tirai di depanku dibuka. Aku seketika menunduk, mengatur cahaya kamera.  Pemilik studio itu memperbolehkan mengambil foto untuk gaun-gaun tertentu. "Apa gaunnya terlalu ketat?" tanya Aira menegurku. Entah sejak kapan aku mematung, mengabaikan fokus lensa . Tangan yang seharusnya siap untuk membidik objek, tiba-tiba turun, kagum akan sesuatu. "Tidak. Gaun itu cocok untukmu. Aku terkejut," kataku nyaris menertawai tingkah sendiri. Aku bingung apa itu semacam perasaan bahagia. Dadaku serasa dirasuki momen asing untuk pertama kali. "Kamu menakutiku." Aira tersenyum, menjalin rambutnya ke belakang telinga. "Kamu cantik Aira." Aku mengangkat kameraku lagi, kali ini benar-benar memotretnya. Klik. Klik. Klik. Aku terus menekan hingga mendapatkan angle terbaik. Dalam tangkapan kameraku, ia nampak tersipu, pipinya memerah setelah mendengar gombalan itu. Aih, apa aku sudah menjelma menjadi laki-laki b******k hanya karena melihat Aira dengan gaun pengantin? "Pasti akan lain rasanya kalau bukan kamu yang bilang," kata Aira tersenyum kecil. Ia masih berdiri, berganti pose. Klik. Klik. Klik. "Bilang apa?" "Bilang kalau aku cantik." Ia lagi-lagi tersenyum, menikmati momen itu. Semua serasa aneh, aku sendiri seperti menjelma menjadi pribadi yang berbeda. Kenapa? "Ai, setelah ini makan, yuk? Aku pengen pasta." ---- Dalam perjalanan kami ke restoran pasta, Aira tak henti-hentinya bicara tentang gaun yang dipakainya tadi. Dari bahan sampai detil. Aku suka mendengar cerocosnya. Ramai, tapi tidak membuat jengah. Sesekali aku menimpali, tapi kebanyakan tidak. Malas juga kalau saling sahut. "Mbak, Pasta dua sama lemon tea, ya?" pinta Aira pada pelayan yang mengantar menu lima menit lalu. Restoran itu cukup ramai dan kami memilih duduk di pojokan, menghindari orang-orang. "Ham, kapan kita lihat cincin? Aku baru ingat kalau sudah lama tidak ke toko perhiasan," celetuknya menatap lingkaran logam di antara jemari. Allen memberi itu lima tahun lalu. Tadinya longgar sekarang ukurannya pas. "Besok. Hari ini kita pulang saja. Aku mau mengerjakan negatif film," sahutku mengelus punggung tangan Aira. Gadis itu tanpa pikir panjang setuju, kami hampir tidak pernah bersitegang untuk masalah-masalah kecil. Dulu, pernah sekali sih, tapi berakhir sakit. Aku dan Aira tidak pernah bisa melewati satu hari tanpa bersama. Mungkin, Allen pada akhirnya risih. Tubuh kami memang dewasa, tapi pikiran masih tetap anak kecil. "Aku mau ke kamar kecil dulu. Nggak apa, kan? Sebentar kok." Aku buru-buru berdiri, meninggal Aira dengan gerutuannya. Perutku sepertinya bermasalah. Terakhir setelah menyantap Spageti yang dimasak Aira, aku sering bolak-balik ke kamar mandi. Padahal aku benci memakai toilet umum. Selang beberapa menit kemudian, aku sudah keluar. Membasuh tangan juga lengan. Untung saja, toiletnya tidak buruk. Beberapa langkah menuju tempat duduk Aira, seseorang melintas, memakai setelan kumal juga alas kaki murahan. Sepertinya pekerjaannya bersih-bersih. Tapi bukan itu yang membuatnya menarik. Meski sudah puluhan tahun tidak pernah bertemu, aku yakin itu dia. Postur tubuh juga cara berjalannya yang sama nyaris membuatku mematung. Syok sekaligus terkejut. "Sam! Bawa ini ke ke gudang." Seorang security nampak mendekatinya, mengacungkan sekantung plastik berisi sesuatu. Mungkin sampah kering. Aku seketika mundur,  menyembunyikan diriku di antara tanaman hias. Beruntung, ia tidak lewat sini. Itu Sam? Aku hampir lupa tentang keberadaannya. Peristiwa pahit berhasil mengubur kenangan kami. Jadi mustahil juga aku bisa menemuinya setelah sekian lama. Katanya, saudara kembar punya takdir masing-masing. Tapi bagaimana kalau tidak?  Seburuk apapun pertemuan kami nanti, lebih menyakitkan kalau hidup tanpa komunikasi. "Ai, pulang yuk. Pastanya dibungkus saja."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD