Keputusan

1005 Words
Ham tidak perlu bicara bagaimana sayangnya dia pada Aira. Saat gadis itu beberapa kali tidak sadarkan diri, Ham adalah orang pertama yang menunggu selama 24 jam tanpa tidur sama sekali. Allen yakin, tidak ada salahnya menikah. Sudah lama sekali ia ingin kedua anak adopsinya itu melawan rasa takut dan berhenti untuk terlalu bergantung. Paling tidak, mereka bisa melakukan sosialisasi sendiri. Sebulan ke depan, Aira berjanji pada dirinya sendiri juga semua orang kalau ia bersedia menjalani terapi disfungsi seksual. Ham pun sama. Aktivitas memotretnya di pegunungan tidak harus ditemani Aira lagi. Pendakian itu bisa diikuti sendiri dengan para penggiat fotografi lain. "Kapan kamu pergi?" bisik Aira mengelus rambut Ham yang berjuntai hingga ke dahi. Ada kerutan sedih di sekitar mata, menandakan ia sedang kesal. Pemasangan lensa pada kameranya berlangsung sedikit lama karena pikiran Ham sedikit kacau. Ia memang mudah marah kalau menyangkut hubungan mereka. "Ai, ini sudah lewat seminggu. Kamu sudah buat rancangan gaunmu belum?" tanya Ham memeluk Aira dari samping. Napas hangat gadis ramping itu menerpa lingkaran tangannya. Ia malas ke pendakian tanpa Aira. Terlalu banyak orang asing yang kadang bersikap sok akrab. Ham juga tidak sadar kalau ia tumbuh menjadi pria ideal. Saat disandingkan dengan yang lain, wajah juga tubuh menjulangnya sangat mencolok. Aira tak jauh beda. Sekali saja ia mau merubah gaya rambut juga ber make up, para laki-laki sudah pasti akan mengincarnya. Tidak perlu skincare seperti wanita lain, Aira sudah ditakdirkan cantik sejak lahir. "Apa maksudmu tugas dari dokter Anis? Kita bisa bolos konseling itu bulan depan," kata Aira berbalik, menatap mata hitam Ham lekat-lekat. Sebanyak apapun pelukan, mereka tidak pernah mengharap lebih. "Kerjakan saja. Sampai kapan kita begini? Setidaknya, kita coba saja. Anggap ini tugas biasa." Ham menepuk kepala Aira lembut, merasakan helai halus rambut panjang gadis itu. Benar, baru kali ini Allen minta sesuatu. Biasanya ia akan setuju, sepanjang mereka senang dan bersama-sama. "Kalian sudah makan?" tegur Allen tiba-tiba muncul dari dalam kamarnya. Ia menyeberangi sofa ruang tamu, menuju pojok dapur. "Aku sudah masak spaggeti kesukaanmu," sahut Aira berjalan mendekati sang ibu. Tinggi mereka nyaris sama, berbeda tiga senti, lebih tinggi Aira. Ya, waktu begitu cepat berlalu. Tubuh kanak-kanak yang penuh luka trauma, kini menjelma menjadi bunga tanpa kuncup. Sedang Allen, menunggu kulit keriput tanpa seorang pendamping. Ia terlalu sibuk dan giat memikirkan orang lain, takdir sendiri malah serasa tidak berharga. "Terima kasih. Hari ini banyak yang harus aku urus di yayasan," senyum Allen mengambil spaggeti lalu meletakkannya di atas meja makan. Aira dengan sigap mengambil segelas air putih juga kapsul vitamin dari dalam kotak obat. Akhir-akhir ini Allen butuh asuhan karena banyak kegiatan. Aira sesekali membantu, tapi lebih banyak tidak. Kegiatan sosial tidak cocok untuknya. Ia minim empati pada orang asing. Sedang Ham lebih sering menggunakan keahliannya untuk mencari donatur. "Kudengar kalian dapat tugas dari dokter Anis, bagaimana?  Sudah dimulai, kan?" Ham yang baru saja ikut bergabung, menggeleng dingin. "Mulai saja atau tidak sama sekali," kata Allen mengunyah spagettinya tanpa selera. Entah dengan cara apa ia harus meyakinkan pasangan itu kalau pernikahan tidak melulu soal seks. Mereka bisa adopsi bayi kelak. Tapi mendidik anak pun bukan perkara gampang. Kalau bersosialisasi saja masih takut, bagaimana nasib si anak kelak? "Kami akan memulainya hari ini, jangan khawatir," kata Aira tersenyum hambar. Ia kembali menggegam tangan Ham, untuk meminta dukungan. "Ya, dokter Anis juga tidak benar-benar menyuruh kami menikah. Hanya mencoba untuk menjadi perencana pernikahan saja," timpal Ham mengaduk-aduk isi piringnya. Allen mengangguk-angguk, memikirkan sesuatu. "Kalian tidak membenciku kan?" tanya Allen serius. "Mana mungkin, setelah apa yang terjadi bagaimana bisa kami membencimu?" seru Ham sedikit tersinggung. Aira ikut bereaksi keras karena Allen melontarkan pertanyaan tidak masuk akal. "Okey, berusahalah sekuat tenaga," senyum Allen beranjak dari duduknya. Ia berjalan menuju Aira lalu Ham, untuk memberi kecupan di pipi mereka. Kalau sudah begitu, janganlah besok, tugas itu harus secepatnya selesai. ___ Di hari lain, Aira mulai membuat agenda untuk menyusun setiap rencana.  Dari desain undangan, masakan hingga dekorasi. Ham menurut saja, ia yang paham teknologi mengambil pengalaman orang lain. Mereka cukup meniru tanpa harus susah-susah memilih. Semua berjalan baik-baik saja, hingga Aira tiba-tiba bergumam tentang kesukaannya. "Aku ingin hijau, corak merah tidak sesuai dengan warna dekornya." Ham terdiam, berhenti mencatat di notesnya. "Hijau? Kupikir kamu suka biru." "Aku suka langit, tapi bukan warnanya." Hening, dielusnya puncak kepala Aira berkali-kali. Gadis itu tersenyum lembut, membalas tatapan Ham. "Apa ada yang lain? Untuk menghemat waktu bagaimana kalau kita mencoba gaun pengantin sewaan?" usul Ham menunjuk sebuah toko perlengkapan pernikahan di layar laptopnya. Jarak dari rumah tidak sejauh butik mereka. Di sana juga disediakan gaun sewa dengan banyak pilihan. Aira langsung tertarik. Ia menggeser gambar layar penuh minat. Selama ini, karyanya sering terkurung karena minim kreasi. Bukan buruk, tapi terlalu vintage. Ia sendiri butuh penyegaran ide. "Bagaimana kalau besok? Selesai memasang kancing di butik, kita bisa langsung ke sini," kata Aira dengan mata berbinar. Ham langsung mengangguk. Terkadang, Aira lebih suka menatap kain daripada dirinya. Apalagi kalau ada pesanan, Ham akan dibutuhkan hanya saat makan. "Ham, kamu ingat ini?" Aira menunjuk sebuah gaun biru laut. Ia menatapnya sembari melamun. Ham membisu, tidak tahu apa ia harus menyahut atau pura-pura lupa. Baginya, warna biru adalah yang terbaik. Saat kecil, ia menjahit sapu tangan untuk Aira.  Rendanya persis seperti gaun pada layar laptop. "Pakai saja, aku penasaran melihatnya," sahut Ham tersenyum tipis. Moodnya tiba-tiba membaik. Itu karena Aira yang tahu bagaimana mengatasi emosinya. "Baiklah pangeran, pakai kameramu untuk memotretku, ya?" tawa Aira pelan. Buat apa mendaki? Batin Ham pada dirinya sendiri. Di depan matanya, sudah ada objek yang jauh lebih indah. Objek itu bahkan bisa bergerak, memainkan seluruh perasaannya. "Tapi kameraku mahal. Memangnya kamu punya uang?" pancing Ham mulai memasang lensanya lagi. Tadi belum sempat selesai karena Aira terus mengganggunya. Aira menggeleng kesal, bibirnya mencembik, tidak setuju dengan lelucon itu. "Aku cuma punya diriku. Kamu mau?" Ham mengecup pipi Aira sekilas, menikmati aroma parfum pemberiannya. "semua akan setimpal kalau kamu berjanji, tidak akan berubah sampai mati." Pipi dingin gadis itu serasa lembut, mirip kulit bayi. Ham yakin kalau ia normal, pesona Aira tidak hanya sebatas kecupan. Mungkin akan ada pergulatan gila di atas ranjang. Tapi, siapa mereka? Hanya sepasang manusia penuh trauma.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD