Tahun yang hilang

927 Words
Aira POV 16 tahun sudah berlalu. Rambut Allen yang mulai beruban mengingatkanku pada kerja kerasnya selama ini. Percayalah, ia lebih dari sekedar ibu bagiku. Perjuangannya untuk mengambil hak asuh aku dan Ham, bukan perkara gampang. Ia butuh setidaknya lima kali pembuktian finansial matang di depan pengadilan. Allen mungkin satu dari 100 juta orang yang secara sadar telah menyerahkan hidupnya untuk anak orang asing. Saat kecil, aku menganggapnya sebagai ibu peri sungguhan. Memang benar, manusia yang kehilangan sesuatu pasti akan diberi gantinya. Ham adalah pemberian kedua. Pria dengan cacat seksual itu punya nilai yang melebihi diriku sendiri. Tanpa Ham, mungkin saja aku menjalani hidup seperti kematian. Kami punya banyak kesamaan. Dari trauma, cara pandang juga prinsip. Bahkan dalam satu waktu, kami seakan bisa membaca pikiran masing-masing. Kedekatan itu dikatakan psikolog sebagai simbiosis mutualisme. Saling bergantung, tapi bisa punya efek buruk. Manusia tidak seperti tanaman. Katanya, sebuah perpisahanan akan berujung depresi parah. Tapi siapa peduli? Kami lebih baik mati daripada hidup sendirian. --- Di suatu pagi, tepat di hari ulang tahunku yang ke 26, Allen tiba-tiba membicarakan hal aneh. Ham yang tengah menyuapiku roti nyaris tidak bergerak saking terkejutnya. "Menikah? Jangan bercanda," sahutku langsung bad mood. Hubunganku dan Ham tidak boleh kotor karena urusan ranjang. Tidak ada hal seperti itu di antara kami. Pelukan juga skinskip ringan adalah bentuk kasih sayang, tidak lebih. Ham ikut-ikutan memberengut. Ia merasakan hal yang sama. Allen merusak momen bahagiaku dengan diskusi tidak masuk akal. "Kalian sudah dewasa. Kadang tidur di sofa sama-sama, di kamar berkali-kali dan tidak lewat seharipun berpisah. Jadi kenapa menolak pernikahan?" tanya Allen memasang wajah penasaran campur kesal. Aku dan Ham untuk sesaat bungkam. Mencari dalih atas perilaku kami. "Ibu tahu sendiri, kita melakukan itu bukan karena saling tertarik, tapi faktor nyaman. Psikolog bilang...," "Oke, anggap ucapanku ini hanya saran," potong Allen malas berdebat. Kalau Ham sudah berkata-kata, aku sendiri juga tidak nyaman.  Ia tipe orang yang jujur dan tidak pernah bisa menyembunyikan perasaan. Menikah? Kami sama-sama sadar, kalau tidak mungkin membina hubungan sakral. "Antar aku ke butik," pintaku pada Ham saat kami selesai dengan acara makan. Allen sudah pergi mengajar, tinggal kami yang sesaat lalu, saling tatap, penuh kecanggungan. Biasanya, wajah itu selalu berhasil menenangkan moodku, tapi kali ini sedikit berbeda, ia terlihat bingung dengan situasi kami. Padahal selama ini, Ham mirip bayi yang tidak punya niat terselubung. Saat kami saling sentuh, hanya ada rasa hangat. Aku tidak bisa membayangkan kalau hubungan kami akan berubah. "Kamu nggak usah pusing sama omongan ibu, kita yang menjalani," kataku saat kami berdua sudah duduk di atas mobil. Ham masih membisu, menatapi jalanan tanpa menoleh padaku. Selama lima tahun terakhir, aku menghasilkan cukup banyak uang dari pembuatan gaun pengantin. Di awal usaha, Ham membantu di bagian marketing. Memasang iklan dan memajang hasil desainku di internet. Susah sebenarnya karena beberapa kali ditiru. Tapi semua berakhir manis. Aku juga tidak menyangka kalau bisa menyewa sebuah bangunan kecil di pinggiran kota Jakarta. Saat itu, Allen senang sekali lalu memberiku tambahan modal. Sekarang, saat ekonomi kami semakin lancar, justru masalah lain muncul. Menikah berarti harus menjalani terapi masalah seksualitas. Kalau dari awal saja kami benci membahasnya, bagaimana nanti? "Aira, jangan khawatir. Tidak ada yang memaksamu. Ibu hanya memberi kita saran, kan?" sahut Ham mengelus kepalaku. Perhatiannya sedikit terbagi antara aku dengan jalanan di depan kami. Meski begitu, aku belum benar-benar lega. Ham pasti berpikir lain. Akh diam-diam takut kalau aku dianggapnya beban. Itu adalah pembicaraan terakhir. Setelah melewati lampu merah, aku lebih banyak menyadarkan kepalaku padanya, berharap bisa terlelap barang sejenak. "Tidur saja. Hari ini jalanan benar-benar padat," ucap Ham menaruh kepalaku di atas pangkuannya. Aroma Ham, selalu berhasil membuatku bernostalgia. Banyak kenangan, termasuk awal pertemuan kami. Ham kecil dan kurus, kini telah menjelma menjadi pria dewasa yang mempesona. Tak jarang, ia harus menahan mual kalau mendapatkan banyak perhatian. Terutama dari lawan jenis. Perjuangan kami tidak gampang. Dulu untuk keluar dan berdesak-desakan di tempat umum saja, kami tidak berani. Allen adalah kunci kenapa aku dan Ham bertahan hingga sekarang. Tapi, kenapa sekarang Allen justru menyinggung pernikahan? --- Terapi disfungsi seksual adalah pilihan terburuk. Psikolog yang menangani kami selama 16 tahun menyarankan itu berkali-kali. Katanya sebelum dia pensiun, kami harus bisa hidup normal. Memangnya salah? Punya hubungan tanpa gairah seksual? Itu pun karena trauma. "Kudengar kalian ingin menikah," kata Anis, dokter psikolog itu. Ia jauh lebih tua dan punya kerutan di mana-mana. Sudah lama aku dan Ham tidak berkunjung karena selalu diminta terapi seksual. "Tidak. Itu saran dari Allen," kata Ham menggegam jemariku. Sentuhan seperti itu, sudah menjadi kebiasaan. Aku selalu membalas genggamannya seerat yang aku bisa. Ham butuh kekuatan agar bisa bicara normal dengan orang lain. Dan, aku adalah kekuatan itu. "Oh, baiklah," sahut Anis melirik skinskip kami dengan tatapan suram. Padahal, dia orang pertama yang menyarankan sebuah hubungan seperti itu. Heran, kenapa Allen juga Anis berubah hanya karena kami bertambah dewasa? "Aku tidak akan meminta apapun lagi. Sepertinya, kalian juga belum paham kenapa Allen dan aku ingin kalian terapi disfungsi seksual." "Kenapa? Kami bahagia dengan hubungan seperti ini." "Kalau begitu, coba kalian membuat rencana pernikahan. Hanya rencana saja. Besok di pertemuan berikutnya, ceritakan perasaan kalian masing-masing," pinta Anis mencatat sesuatu dalam buku kunjungan. Aku dan Ham saling tatap, kebingungan. "Jangan khawatir. Aku tidak memaksa kalian. Anggap ini tugas. Bagaimana?" Anis menunggu jawaban kami dengan tatapan penuh harap. "Baiklah, hanya rencana pernikahan, bukan?" Ham meletakkan tangannya pada pundakku. "Iya, hanya sebuah rencana pernikahan. Buat desain gaun hingga hal-hal paling kecil. Jangan buat alasan lagi seperti kemarin. Aku merasa bertanggung jawab kalau kalian tetap begini." Detik jarum jam di dinding ruang konsultasi terdengar lebih keras dari biasanya. Aku bergegas mengikuti Ham yang lebih dulu menarikku keluar. Tangan yang biasanya hangat, serasa dingin dan berkeringat.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD