Spekulasi Arash dan Aresh ~~

1332 Words
Byurrr ….   Suara seorang gadis yang baru saja menceburkan diri ke dalam kolam renang berukuran empat meter kali sepuluh meter, yang berada dalam sebuah ruang tertutup di lantai satu apartemen mewah tersebut, terdengar begitu nyaring di setiap sudut ruangan. Gadis itu nampak berenang sangat cepat, dari selatan menuju utara, dan terus berulang, menggunakan gaya bebas. Dua orang pemuda, yang saat ini tengah duduk bersandar di atas sebuah kursi kolam, nampak memperhatikan gadis perenang yang sedang meluapkan amarahnya itu, sembari memakan cemilan yang mereka bawa dari apartemen sahabatnya. “Bikin ulah apalagi, si batang toge?” tanya Aresh, seraya memasukkan satu potong snack ringan ke dalam mulutnya. Arash yang tengah asyik bermain game online pada ponselnya, hanya melirik sesaat ke arah asal suara, lalu kembali fokus pada layar benda pipih di tangannya. Walau matanya tertuju pada permainan, tetapi tidak dengan pikirannya. Pemuda itu terus teringat, percakapan antara Zeira dan Bagas, saat di lapangan belakang sekolah. Ya … sebelum Arash menghampiri Zeira, rupanya pemuda itu sempat berdiri di balik dinding pembatas, ketika mendengar suara meninggi dari seorang Bagas ketika menanyakan sesuatu pada Zeira. Karena konsentrasi pada permainannya buyar, hingga membuat pertarungan game tersebut kalah, Arash tiba-tiba saja melempar benda pipih tersebut ke atas kursi kolam sisi kirinya, dengan d**a yang terlihat naik-turun, tak beraturan. “Aaarrrgghhh!! Sialan! Syetan! Kesel gue!” gerutu Arash, sesaat setelah teriakan kekesalannya, lepas, dan membuat Aresh seketika terperanjat. Pemuda tampan dengan mata membulat sempurna itu, tanpa sadar melempar snack ringan yang ia pegang, tepat pada wajah kakaknya. “Lu yang sialan, k*****t!” omel Aresh, seraya mendelik tajam pada pemuda di sampingnya. Arash yang nampak frustasi bangun dari posisi bersandarnya, lalu duduk di atas kursi, menghadap pada sang adik yang nampak kebingungan. “Lu kenapa sih, Rash?” tanya Aresh. “Soal putusnya Zezei sama Bagas … Lo yakin, Resh, si Zezei gak cerita, alasan dia putus?” tanya Arash. Pemuda yang tengah mengunyah makanan dalam mulutnya itu menggelengkan kepala, sembari menatap dengan serius pada sang kakak. “Gue gak tau. Lu, kan, lakinya. Lagian, Zezei sama si batang toge putus satu tahun yang lalu, kenapa lu masih bahas itu? Lu mau mengorek luka lama?” tanya Aresh, kebingungan. “Tadi … gue denger, si Bagas nuntut penjelasan sama Zezei,” ujar Arash, mulai menceritakan, apa yang ia dengar ketika berada di balik dinding belakang sekolah. Arash beritahukan, semua yang dibicarakan Zeira dan Bagas saat itu, tanpa terlewat satu katapun. Sedangkan Aresh, mendengarkan dengan seksama detail kejadian yang tengah diceritakan oleh kakaknya itu, sambil sesekali menganggukkan kepala. “Oke, jadi … sampai detik ini, Bagas sendiri pun gak tahu, alasan Zezei putusin dia?” tanya Aresh, menyimpulkan. Arash menganggukkan kepala. “Dan sampai sekarang pun, Zezei gak pernah cerita apa-apa sama kita. Lo tahu sendiri, kan, sebesar apa cinta Zezei sama Bagas. Bahkan, setiap kali mereka bertengkar, kalau si batang toge bilang maaf, dan ngasih gombalan-gombalan garingnya, Zezei langsung luluh, dan akhirnya mereka baikan,” sahut Arash. Aresh menjentikkan jarinya, tanda menyetujui, apa yang baru saja Arash katakan. “Lu inget, yang Zezei sampai nangis di kelas, gara-gara lihat Bagas jalan sama cewek lain?” Pemuda tampan berkaus hitam itu menganggukkan kepala. “Iya, gue inget. Gue yang nyuruh Zezei putusin si batang toge. Cowok kayak gitu, gak pantes dapetin cinta tulus dari Zezei!” “Tapi akhirnya? Tetep aja cewek lu balikan sama si batang toge!” sahut Aresh, kesal. “Nah itu! Setiap kali mereka berantem, atau bahkan putus … ujung-ujungnya, mereka pasti balikan, kan? Tapi, setelah kejadian saat itu, waktu kita nemuin Zezei pingsan di tengah jalan, Zezei bener-bener gak minta balikan lagi sama si toge. Sumpah, gue penasaran selama satu tahun ini. Dan ternyata …” Arash mengalihkan pandangannya ke arah Zeira yang tengah berenang tanpa henti di dalam kolam renang, dengan tatapan penuh selidik. “… Bagas sendiri gak tahu alasan, kenapa Zezei putusin dia? Gue yakin, Zezei nyembunyiin sesuatu dari kita, Resh. Entah kenapa, perasaan gue gak tenang setiap kali mikirin soal itu,” lanjut Arash. “Si toge selingkuh aja, Zezei masih mau balikan lagi sama cowok itu. Berarti … permasalahan yang saat ini Zezei sembunyiin dari kita, bisa jadi lebih parah dari pengkhianatan,” sahut Aresh seraya melahap sepotong snack di tangannya. “Kira-kira … apa, iya?” tanya Arash, mengawang. “Palingan, si toge buntingin anak orang,” celetuk Aresh dengan santai. Mendengar jawaban dari sang adik, Arash seketika menoleh ke sisi kanannya dengan mata membulat sempurna. “Lo dapet pikiran kaya gitu, darimana?” tanyanya. “Lu lupa?” Pemuda tampan berkaus navy itu memasukkan satu potong snack ringan yang ia pegang ke dalam mulut kakaknya, lalu bangkit dari posisinya dan duduk dengan tegap di atas kursi kolam. Dengan raut wajah yang terlihat sangat serius, Aresh mengedar tatapannya ke sisi kiri dan kanan, sembari sedikit mencondongkan tubuhnya ke depan, hendak membisikkan sebuah rahasia pada Arash. “Gue dukun,” bisik Aresh, sangat pelan. Tanpa banyak berkata apa-apa lagi, Arash layangkan sebuah tendangan yang sangat keras pada paha adiknya, dengan wajah yang sangat kesal. Sedangkan Aresh, justru tertawa terbahak-bahak, hingga hampir terjatuh dari atas kursi kolam, jika saja pria itu tidak berpegangan pada sebuah meja bulat kecil yang berada di sampingnya. “Anjir, si Arash ketipu! hahahaha ….” “Sialan lo, bocah sengklek!” gerutu Arash, sembari mendelik tajam pada pemuda di sampingnya. *** Sudah hampir dua jam, Zeira masih terus berenang dalam kolam renang. Entah sudah kali keberapa, Arash dan Aresh berdiri di tepi kolam tersebut, hanya untuk sekedar menghentikan, tindakan gila sahabatnya itu. Gerakan berenang gadis itu bahkan sudah terlihat semakin melemah, dan hal itu lah yang membuat Arash dan Aresh semakin khawatir dengan keadaan Zeira yang terlalu memaksakan dirinya. “Zei, lo jangan maksain gitu, dong. Kalau lo sakit, gimana?” teriak Arash. Pemuda yang tengah berjongkok di sisi kolam tersebut, tak henti-hentinya menyerukan nama Zeira, dan meminta gadis itu segera menghentikan kegiatan berenangnya. “Gak akan berhasil, Rash! Lu harus nyebur, dan hentikan sekarang juga! Zezei bisa terkena hipotermia kalau kelamaan di dalam air kaya gitu!” ujar Aresh memberi saran. Tanpa banyak berpikir panjang, Arash segera menceburkan diri ke dalam kolam renang, tepat saat Zeira sedang berenang ke arahnya, lalu menarik tangan gadis itu, dan memeluk Zeira untuk menghentikannya. “Zeira! Lo bisa berhenti sekarang!” ujar Arash setengah berbisik. Gadis dengan tubuh terasa bergetar itu, tiba-tiba memeluk tubuh Arash dengan erat, sembari membenamkan wajahnya di atas d**a bidang sahabatnya. Perlahan, tangis yang sejak tadi ia pendam akhirnya pecah, hingga Zeira terisak. “Kita naik ke atas dulu, iya?” ajak Arash. Pemuda itu segera menggendong tubuh kecil sahabatnya, dan segera membawanya keluar dari dalam kolam renang. Sedangkan Aresh yang sejak tadi berdiri di tepi kolam, segera berpamitan, untuk mengambil pakaian kering miliknya di dalam mobil, sebagai baju ganti untuk Arash, dan meninggalkan sang kakak dan Zeira berdua dalam ruang tersebut. Dengan hati-hati, Arash mendudukkan tubuh lemas gadis itu di atas kursi kolam, lalu menyampirkan handuk kering, pada kedua bahu Zeira.   Namun, tepat saat Arash hendak mendudukkan tubuhnya di kursi lain, lagi-lagi Zeira menarik pergelangan tangan pemuda itu agar duduk di sampingnya, lalu berhambur dan memeluk tubuh kekar sahabatnya itu dengan erat. “Z-Zei,” gumam Arash terbata-bata, ia cukup terkejut dengan tindakan yang baru saja dilakukan oleh Zeira. “Rash … gue bener-bener takut,” ujar Zeira, melirih. Perlahan-lahan, Arash membalas pelukan sahabatnya itu, lalu mengecup puncak kepala Zeira. “Lo gak perlu takut! Lo punya gue, yang akan selalu ada buat jagain lo. Lo punya kita, yang akan selalu bantu lo, dan lindungin lo dari mereka-mereka yang berniat jahat sama lo,” sahut Arash. “Gue merasa sangat beruntung, punya kalian berdua. Terlebih … lo, Rash. Gue gak tahu, bakal kaya gimana gue tanpa lo, Aresh dan Sasa. Kalian segalanya buat gue,” balas Zeira, seraya mengeratkan pelukannya pada tubuh sahabatnya itu. “Zei, jangan pernah menyembunyikan apapun dari gue, agar gue bisa lebih waspada dan lebih jagain lo,” bisik Arash, mencoba memancing sahabatnya, agar menceritakan kejadian sebenarnya. *** 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD