CHAPTER: 5

2813 Words
Suara dering teleponnya, Arsa pun mengambil teleponnya yang ada di meja kantornya lalu menatap nomor tidak dikenal yang tercantum di panggilan, keningnya mengerut karena bingung dengan panggilan dari nomor tak dikenal. Tak ada yang tahu nomor Arsa kecuali Arsa memberitahunya karena nomor sangat penting dan rahasia. Tak ingin terus bingung, akhirnya Arsa mengangkat panggilan tersebut dan terdengar suara pelan dan lirih, tak lupa isak tangis. Ia sangat yakin penelepon ini pasti sedang menangis. "Ar... Arsa, ini saya Faya istri Angga." Hati Arsa bergetar saat mendengar ucapan wanita itu, lalu memejamkan matanya berusaha bersikap biasa saja dan mengusir rasa tak nyaman dan tak suka di hatinya. "Iya, ada apa?" "Saya mau bicara soal tuntutan kamu ke Angga, bisa kamu datang ke sini sebentar saja, kondisi saya terlalu lemah untuk berpergian." Tanpa mengatakan apa pun atau membalas permintaan Faya, Arsa langsung mematikan panggilan dan tidak memperdulikan atau mengangkat kembali panggilan dari nomor istri mantan pacarnya. Pernahkah kalian membayangkan bahwa istri dari mantan pacarmu akan meneleponmu? Apalagi hatimu masih belum bisa move on. "Tidak, aku tidak akan menemuinya, buat apa aku menemui dia?" Arsa menggelengkan kepalanya, menolak untuk menemui Faya. Bahkan telepon yang terus berdering karena telepon dari Faya langsung ia matikan daya, namun lintasan kondisi Faya yang lemah dan sekarat membuat Arsa tak tega untuk menolak permintaan wanita itu. Arsa juga wanita, ia tahu apa yang dirasakan wanita lain saat tahu suaminya dipenjara karena melakukan tindak pemerkosaan pada wanita lain sampai wanita itu hamil. "Hanya sekali, hanya untuk menguatkannya setelah itu aku tidak akan menemuinya lagi." Namun Arsa tak pernah tahu bahwa ucapannya hari ini menjadi kenyataan untuk selamanya, dan akan membawa dampak besar dalam kehidupannya yang tenang. [] [] [] [] [] [] [] [] Arsa berjalan sambil menatap satu-persatu nomor ruang rawat VIP, langkahnya terhenti di nomor 190. Arsa masih ingat dengan jelas bahwa ini adalah ruang rawat istrinya Angga. Perlahan-lahan Arsa menekan knop pintu ke bawah hingga pintu itu terbuka, tatapan Arsa langsung tertuju pada Faya yang sedang berbaring di atas brankar dengan tangan diinfus dan hidung diberi masker oksigen. Faya sangat terkejut dengan kehadiran Arsa di ruangannya, tadinya ia mengira bahwa Arsa tak akan peduli pada dirinya yang notabene adalah istri dari pemerkosa sahabatnya, namun ternyata ia salah. "Ar... Arsa." "Ya, aku datang ke sini. Kau sudah tahu namaku?" Faya terdiam sebentar karena ia tak tahu harus menjawab apa, mana mungkin ia menjawab, "Jelas aku tahu namamu, suamiku selalu mengigau namamu di setiap malam tidur." atau "Suamiku memajang fotomu di setiap sisi rumah dan selalu menceritakan sosokmu padaku?" Faya terlalu malu kalau harus menjawab fakta sebenarnya dari mana ia mengetahui Arsa, Arsa yang dulu hanya anak Sma sekarang berubah menjadi wanita dewasa yang sempurna dan memukau siapa pun. Pantas saja Angga sampai saat ini masih mencintai Arsa, kalau ia dibandingkan dengan seorang Artesha Christy Panggalila maka ia bukan siapa-siapa bahkan tak pantas dibandingkan dengan Arsa. "Ingat posisimu Faya! Angga menikahimu hanya sebagai wasiat suamimu yang sudah meninggal, yang merupakan kakak Angga, dia tidak pernah mencintaimu, dia hanya menjagamu sampai akhir hayatmu yang sebentar lagi memanggilmu." "Pasti kau tahu namaku dari kasus yang menimpa suamimu." "I... Iya, aku ingin membicarakan tentang kasus itu padamu Arsa." "Baiklah bicara saja, tapi satu hal yang perlu kau tahu bahwa aku tak akan mencabut tuntutan kepada Angga apa pun alasannya." Kening Arsa mengerut bingung saat melihat Faya malah menggeleng dengan senyum tipis di bibirnya. Entah kenapa Arsa berpikir bahwa Faya tahu masa lalunya dengan Angga, karena cara wanita itu melihatnya terlihat sekali ada rasa sakit dan iri. Namun Arsa langsung menggelengkan kepalanya, menolak pemikiran bodoh itu. "Aku hanya ingin kau menjaga anak yang sedang dikandung sahabatmu saat ini, aku tahu yang dilakukan Angga adalah dosa yang sangat besar, tapi ketahuilah bahwa pasti dia memiliki alasan yang kuat untuk melakukan hal itu. Dan tugasmu setelah ini adalah melindungi sahabatmu dari kemarahan Angga." "Kenapa sahabatku? Aku yang melaporkannya seharusnya aku yang mendapat kemarahannya?" "Dia tak akan bisa membencimu karena dia mencintaimu." Arsa yakin pasti dia salah mendengar ucapan Faya, mana mungkin Angga masih mencintainya padahal sudah mempunyai suami namun tetap saja hatinya berkhianat dengan percaya pada pendengarannya dan seakan beribu bunga bertaburan di hatinya. Arsa yang menyadari perasaannya ini salah langsung menggelengkan kepalanya, berusaha mengusir pemikiran itu. "Apa maksudmu?" "Dia masih... Tiba-tiba saja Faya kejang-kejang, sambil memegang dadanya yang terasa sangat sesak, masker oksigen serasa tak berguna lagi. Arsa yang melihat kondisi Faya yang memburuk, langsung keluar dan memanggil dokter serta suster. Arsa berlari ke ruangan dokter yang terdekat di lorong VIP, tanpa permisi ia langsung membuka pintu dengan kasar. Dokter yang berada di dalam terlihat bingung dengan kehadiran Arsa. "Faya pasien ruangan 190 VIP kondisinya drop!" Dokter tersebut langsung menelepon suster lewat telepon kabel lalu berlari ke arah ruangan Faya, Arsa mengikuti dokter tersebut dari belakang. Sungguh Arsa sangat khawatir dengan kondisi Faya, meskipun bukan siapa-siapa Faya namun Arsa merasa bahwa Faya adalah wanita baik dan ia melakukan ini karena ia sama-sama wanita yang tahu bagaimana rasa sakit Faya atas penyakitnya dan kelakuan b***t suaminya. "Bagaimana Faya drop?" "Saya tidak tahu dokter, tadi kami masih berbicara lalu tiba-tiba saja Faya kejang-kejang." Dokter tersebut hanya mengangguk mengerti, lalu semakin cepat berlari dan setelah masuk ke dalam ruangan, namun yang dokter dan Arsa lihat adalah Faya yang sudah tak sadarkan diri dan mesin yang menunjukkan keadaan Faya sudah tidak bergerak lagi. "Faya, tidak mungkin." Arsa menggelengkan kepalanya, lalu mendekat ke arah Faya menatap Faya dengan mata berkaca-kaca, ia sedih melihat wanita sebaik Faya pergi setelah mendengar suaminya dipenjara karena kasus pelecehan. "Dokter lakukan sesuatu, saya mohon tolong Selamatkan Faya, saya mohon," pinta Arsa sambil melipat tangannya, memohon pada dokter tersebut untuk melakukan sesuatu agat Faya selamat. "Saya akan berusaha memacu jantung Faya agar kembali berdetak namun kemungkinan selamat mustahil." Arsa mengangguk dengan cepat, karena ia sudah tak mempunyai cara lain agar Faya selamat. Dokter itu pun mengambil alat Pacemaker untuk memacu detak jantung Faya. Percobaan pertama gagal. Arsa menatap Faya dan layar yang menunjukkan keadaan Faya berharap layar itu kembali bergerak, namun sampai percobaan ketiga layar itu tetap satu garis. Arsa menutup mulutnya tak percaya, lalu tangannya bertumpu di meja di sampingnya karena ia tak bisa menahan berat tubuhnya sendiri. "Maaf tapi saya sudah berusaha yang terbaik untuk menyelamatkan pasien namun takdir berkata lain." Dokter itu menatap kasihan pada Arsa yang menangis pilu melihat kematian Faya di depan matanya, lalu menutup tubuh Faya dari kaki sampai kepala dengan selimut putih. "Kenapa? Kenapa harus aku yang melihat kematianmu Faya? Dulu aku gagal menyelamatkan orang tuaku sekarang pun aku gagal... Aku gagal menyelamatkanmu, Tuhan sangat kejam padaku tidak cukup melihat kematian orang tuaku sekarang aku melihat kematian." Tangis Arsa pecah saat ingatan delapan belas tahun lalu, di mana ibunya meninggal di depan matanya karena menyelamatkannya lalu ayahnya menyusul ibunya dengan bunuh diri di depan matanya, kejadian ini membuatnya kembali mengingat luka lama itu. Lalu semuanya perlahan kabur dan gelap, tubuh Arsa jatuh di lantai dan terakhir yang ia dengar adalah suara teriakan dokter memanggilnya. [][][][][][][][][][][][][][][][][][][][][][][][][] Kau hanya mampu bermimpi indah saat kau tertidur, Namun saat kau terbangun hanya ada neraka yang menanti ~Angga Putra Wijaya~ Suasana sedih dan air mata menghiasi prosesi pemakaman mendiang Fayana Dwi Wijaya, tanah kuburan yang masih segar dengan berbagai warna-warni bunga, dan foto mendiang yang terpampang di depan nisan dengan senyuman menghiasi wajah manis itu. Faya hanya punya Angga di Dunia ini, jadi hanya Angga yang tetap bertahan di samping nisan istrinya setelah proses doa dan penguburan selesai, para pelayat sudah pulang sedari tadi. Angga tak menyangka bahwa istri yang sudah menemani perjalanan hidupnya selama dua tahun terakhir ini pergi meninggalkannya untuk selamanya. Angga sadar hari ini pasti sudah dekat, namun ia tak menyangka bahwa ia tak ada di sisi Faya di saat-saat terakhir wanita itu. "Maafkan aku Faya, aku gagal jadi suami yang baik untuk kamu, bahkan aku engga ada di sisimu saat-saat terakhirmu dan yang lebih parah aku engga pernah bisa mencintai kamu sampai akhir hayat kamu, maafkan aku Faya." Tak ada Isak tangis yang keluar dari bibir Angga, namun air mata terus saja mengalir di pipinya dan tatapan sendu penuh penyesalan dan rasa sakit terlihat jelas di mata tajam itu. "Dunia ini kejam ya Faya? Kita engga bisa bersatu dengan orang yang kita cintai, kamu mencintai kak Yasyah tapi kakak meninggal dengan sangat cepat, begitu pun aku yang engga akan pernah bisa mendapatkan cintaku." Angga mengusap nisan mendiang istrinya dengan lembut, karena terlalu larut dalam kesedihan akan kepergian Faya, Angga tak menyadari ada dua orang wanita berjalan mendekati makam istrinya. "A... Angga." Kepala Angga terangkat menatap dua orang wanita itu dengan tatapan tajam, dua orang wanita itu adalah Arsa dan Lava. Tak ada kebencian dan amarah di mata Arsa karena ia tulus datang ke pemakaman Faya untuk mendoakan mendiang Faya, sedangkan Lava menundukkan kepalanya dan mencengkram lengan Arsa saat tatapan Angga tertuju padanya. "Buat apa kalian datang ke pemakaman istri saya, apa tidak cukup kalian membuat saya tak bisa melihat akhir-akhir kehidupan istri saya?!" "Kami hanya ingin melayat dan mendoakan mendiang Faya." "Faya tidak butuh doa dari orang yang menjadi pembunuh Faya!" Arsa menatap tak percaya pada Angga yang menganggapnya pembunuh, padahal ia tak melakukan apa pun pada Faya dan kejadian itu terjadi terlalu cepat sehingga ia tak punya banyak waktu untuk menyelamatkan Faya. Lava menatap Arsa dan Angga bergantian, lalu tatapannya terhenti pada Arsa, ia butuh penjelasan dari Arsa tentang tuduhan Angga mengenai Arsa adalah pembunuh Faya. "Saya tidak membunuh mendiang istri kamu," ucap Arsa dengan nada tenang, ia berusaha tetap menjaga kendali dirinya karena ia tak ingin pemakaman Faya hari ini berujung dengan pertengkaran dan amarah. "Bohong! Kamu menemui istri saya di rumah sakit dan saya yakin kamu pasti mengatakan hal-hal yang menyakiti hati Faya kan hingga dia drop?!" "Saya memang menemui istri kamu tapi itu karena permintaan istri kamu sendiri!" "Saya engga peduli itu atas permintaan siapa, tapi yang saya tahu istri saya meninggal saat bersama kamu!" Arsa menggelengkan kepalanya, menolak tuduhan Angga. Ia hendak mengatakan hal lain untuk menolak tuduhan tanpa alasan Angga, namun Angga sudah lebih dulu menarik tangannya keluar dari pemakaman itu. Berbagai pukulan dan teriakan ia berikan pada Angga, namun Angga tetap menarik tangannya dan memaksanya masuk ke mob. Lava yang melihat hal itu langsung membantu Arsa dan berusaha melepaskan tangan Angga dari tangan Arsa. "Awwwhhhh!" Angga meringis kesakitan saat tangannya di gigit oleh Lava dengan sangat kuat, sedangkan Arsa langsung menarik tangan Lava dan mengajak Lava berlari ke arah mobil Lamborghini berwarna merah miliknya. "Lava, aku sangat takut. Bagaimana ini Lava? Pemakaman sepi, tidak ada yang bisa menolong kita," ucap Arsa setelah menoleh ke belakang dan melihat Angga sudah berada di belakang mereka dengan jarak yang cukup dekat. "A... Aku pun tak tahu, aku tak mau dia membawamu ke penjara... Awwhhh!" Angga berhasil menangkap tangan Lava dan menarik tangan Lava dengan kasar, namun bukannya menangkap tubuh Lava, Angga malah sengaja menghindar hingga Lava terjatuh di jalan aspal. Lava merintih kesakitan sambil memegang perutnya yang terasa sangat sakit, air mata sudah membasahi pipinya terlihat sekali bahwa Lava berusaha menahan rasa sakit di perutnya, darah turun membasahi kedua kaki jenjangnya. Jeritan dan tangisan Lava semakin keras saat melihat darah tersebut. Arsa berusaha membantu sahabatnya, ia berusaha mengangkat tubuh Lava namun ia tak cukup kuat untuk melakukannya. Arsa menatap kasihan Lava bahkan ia meneteskan air mata tanpa sadar saat melihat kesakitan di mata Lava. "Arsa tolong awwwhhh, sakit!" "Kau dan bayimu pasti selamat, bertahanlah Lava," pinta Arsa sambil menggenggam tangan Lava, berusaha menguatkan Lava namun sepertinya Lava sudah tak memiliki harapan lagi dan hanya bisa menggeleng sambil merintih kesakitan. Arsa mengambil handphone di kantong celananya lalu buru-buru menelepon kepala keamanannya untuk menolong Lava, karena Arsa yakin Angga tak akan mau membantunya namun sebelum panggilan tersambung handphone tersebut sudah lebih dulu berpindah tangan dan dilempar ke tanah hingga hancur berkeping-keping. "ANGGA!" "b******k KAU!" "b******n!" "ITU HANDPHONEKU BODOH! KENAPA KAU LEMPAR?!" Arsa berteriak sambil menarik kerah kemeja Angga dengan kuat, amarah dan rasa frustasi dalam diri Arsa ia luapkan dalam teriakannya. Arsa tak mampu menahan amarahnya dan menampar pipi Angga dengan keras, hingga sudut bibir pria itu berdarah. Angga menatap tajam Arsa, lalu mengusap tepi bibirnya yang berdarah, tangannya melayang di pipi Arsa dengan keras dan jauh lebih keras dari tamparan Arsa, mengingat perbedaan fisik di antara mereka yang sangat terlihat. Tubuh Arsa sampai terjatuh ke tanah karena tamparan Angga, air matanya semakin deras saja membasahi kedua pipinya, Arsa menoleh ke arah Lava dan kedua bola matanya melotot tak percaya melihat sahabatnya sudah tak sadarkan diri. Arsa langsung menyeret tubuhnya, dan berusaha membangunkan Lava yang sudah menutup mata, berbagai cara Arsa lakukan mulai menepuk pipi Lava, memanggil nama Lava, sambil mengguncang tubuh sahabatnya itu namun tetap saja Lava tak sadarkan diri. Arsa sudah tak bisa memikirkan cara membantu Lava, Handphone nya yang satu-satunya menjadi cara untuk menyelamatkan Lava sudah rusak dan tak bisa digunakan lagi, Lava pun tak membawa Handphone karena baterainya habis. Pikiran Arsa hanya tertuju pada satu orang yaitu Angga Arsa mengangkat pandangannya, berdiri menghampiri Angga lalu melipat tangannya, menatap Angga dengan mata berkaca-kaca dan tatapan memohon. Hanya Angga yang bisa membantu mereka saat ini, meskipun tanpa dijawab pun Arsa tahu apa jawaban Angga. "Angga, tolong bantu Lava hiks hiks, dia kesakitan, aku mohon." Angga mendekat ke arah Arsa dengan jarak yang sangat dekat lalu berbisik di telinga Arsa, air mata Arsa semakin deras mengalir di pipinya mendengar jawaban Angga atas permintaannya. Angga memang benar-benar sudah berubah menjadi iblis dalam tubuh manusia. "Dia sahabatmu bukan? Jadi bantu dia buat apa memohon padaku? Bukankah kau yang mengibarkan bendera perang padaku, dan tak mungkin bukan kalau aku akan membantu lawanku sendiri yaitu kau." "Ta... Tapi dia sedang anakmu, setidaknya kasihani dia, pikirkan bayi dalam kandungannya hiks, hiks." Angga tetap dengan tatapan datanya, bukannya menolong Angga malah hendak masuk ke dalam mobilnya kalau saja Arsa tidak berlutut di kaki Angga dengan berurai air mata dan Isak tangis yang semakin keras. Siapa pun yang melihat posisi Arsa saat ini dan mendengar Isak tangisnya, pasti bisa merasakan kesedihan dan ketakutan yang terlihat jelas. Namun Angga seperti tak punya hati, hanya diam membiarkan Arsa terus memohon. "Mohon bantu aku, di sini sepi dan tak ada satu orang pun, ke mana lagi aku harus mencari bantuan kalau tidak padamu?" "Dengan satu syarat." Arsa langsung berdiri dan menatap Angga dengan binar kebahagiaan karena memiliki harapan baru dari tiga kata yang diucapkan Angga. Dalam hati Angga tersenyum licik melihat perubahan raut wajah Arsa, Angga kenal betul siapa Arsa. Arsa adalah malaikat untuk orang yang ia cintai, namun iblis bagi orang yang ia benci. Pasti Arsa akan melakukan apa pun untuk membantu sahabatnya itu. "Apa itu syaratnya? Aku akan melakukan apa pun yang kau mau." "Cabut tuntutanmu atas diriku." Arsa tanpa sadar menggelengkan kepalanya saat mendengar ucapan Angga, sambil menatap tak percaya pada pria licik yang memanfaatkan keadaan genting untuk kepentingan pribadinya. Melihat reaksi spontan dari Arsa, membuat Angga tersenyum mengejek. Tadi Arsa langsung mengiyakan syaratnya tanpa mendengar namun setelah mendengar syaratnya, Arsa langsung menunjukkan tanda-tanda menolak. "Kalau kau tak mau, ya sudah bantu sendiri sahabatmu itu, kau lihat kan kondisinya setiap detik semakin memburuk. Kau akan menjadi pembunuh secara tidak langsung, karena tidak menyetujui syaratku sehingga dia keguguran!" Arsa diam menatap sendu Lava yang terbaring tak berdaya di aspal dengan darah mengalir di pahanya, lalu menatap Angga yang sudah menutup pintu mobilnya hendak mengemudi mobil sport berwarna hitam legam itu. "AKU SETUJU!" Angga tersenyum lebar, lalu keluar dari mobilnya dan berjalan ke arah Lava, menggendong Lava ke arah bangku belakang. Arsa hendak ikut masuk ke dalam mobil namun Angga menghalanginya dengan membentangkan tangannya. "Kau tak bermaksud meninggalkan aku sendirian di sini kan?" Tanya Arsa setelah Angga menghalangi dirinya, Arsa sangat takut dengan suasana kuburan lagi pula trauma masa lalunya belum bisa hilang sepenuhnya, ia tak bisa berada di tempat ini semakin lama. "Ulang perkataanmu dan aku rekam, sebagai bukti kepada polisi nanti." Arsa mengepalkan tangannya berusaha menahan amarahnya pada pria licik di depannya ini, lalu dengan terpaksa mengulang kembali ucapannya. "Aku Arsa Christy Panggalila setuju untuk menghapus tuntutan terhadap Angga Putra Wijaya atas tuduhan pelecehan seksual terhadap Lavanya Darmianta." "Oke, silahkan masuk." Arsa menatap penuh kebencian pada punggung Angga yang mulai menghilang di mobil, lalu melepas cincin di jarinya dan melemparnya sejauh mungkin, kemudian masuk ke dalam mobil dengan membanting pintu mobil tersebut. Angga terdiam sebentar menatap cincin yang tergeletak di aspal, dan menatap wajah Arsa dari kaca spion depan, terlihat Arsa yang sangat khawatir pada kondisi Lava dan tak memedulikan telah membuang cincin jadian mereka saat SMA. Angga menatap sekilas cincin yang sama di jarinya, lalu mengetik pesan pada salah satu anak buahnya. "Kau bisa cepat tidak?! Aku sudah menyetujui syaratmu, jadi cepat tolong sahabatku! Jalankan mobilnya!" Setelah mengirim pesan tersebut, Angga langsung menjalankan mobilnya dan meninggalkan jalanan di samping kuburan tanpa sepatah kata pun. Tangan Angga mengepal kuat mencengkeram setir mobil dengan kuat, saat melihat cincin di jari tengahnya. Tangerang, 03 Maret 2020
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD