CHAPTER: 4

836 Words
Matahari tak akan selamanya di langit begitu pun bulan, sama seperti kau dan aku yang tak akan selamanya mencintai ~Artesha Christy Panggalila~ Lava hanya diam mengikuti langkah kaki Arsa karena tangannya digenggam erat oleh Arsa, bukan ini yang Lava mau, Lava tidak memerlukan tanggung jawab pria itu tapi Lava hanya butuh kehadiran Arsa di masa kehamilannya namun hari ini Arsa mengajaknya pergi ke rumah Angga Putra Wijaya, untuk meminta keadilan. Tak lupa Arsa sudah menelepon aparat kepolisian yang jumlahnya 10 polisi sekaligus dan ketua perlindungan wanita dan anak-anak, Arsa tak pernah main-main dengan kata-katanya kalau memang Angga tak ingin bertanggung jawab maka penjara adalah salah satu jalan terbaik. Dua mobil pribadi dan tiga mobil kepolisian masuk ke pekarangan mansion Angga, setelah ada perdebatan kecil antara polisi dan satpam karena satpam tersebut tidak memperbolehkan mereka memasuki kediaman Angga. Arsa keluar dari mobil sambil menatap kosong ke depan, bahkan tangannya gemetaran saat menutup pintu mobil. Mungkin mulut Arsa mengatakan benci pada Angga, namun berbeda dengan hatinya yang menolaknya melakukan hal ini pada Angga. "Kalau kau tak siap melakukan hal ini masih ada waktu untuk mengakhirinya," ucap Lava saat melihat tatapan dan raut wajah Arsa yang terlihat sangat berat melakukan hal ini. Arsa membalas dengan gelengan keras lalu menggenggam tangan Lava kembali. "Janji adalah hutang dan hutang harus dilunasi." Arsa kemudian masuk ke dalam rumah Angga, begitu pun dengan polisi dan ketua perlindungan wanita dan anak-anak. Arsa berteriak memanggil Angga hingga para pembantu mulai muncul berdatangan ke ruang tengah. "Angga!" "Angga keluar kamu!" "Kamu harus mempertanggung jawabkan perbuatan kamu!" Polisi pun hendak mencari Angga ke seluruh penjuru rumah namun Angga sudah lebih dulu muncul, terlihat raut wajah Angga sangat kaget melihat ada banyak polisi dan ada Arsa serta Lava, tak lupa ketua perlindungan wanita dan anak-anak. "Ada apa ini? Kenapa kalian semua datang ke rumah saya? Kalian masuk tanpa persetujuan saya, saya bisa menuntut... "TUTUP MULUT KAMU." Suasana di ruang tengah semakin terasa mencekam, terlebih lagi tatapan membunuh dari Arsa dan Angga. Sebenarnya polisi pun takut membawa Angga ke penjara, mengingat kedudukan Angga dan apa saja yang bisa seorang Angga Putra Wijaya lakukan jika marah, namun saat seorang Artesha Christy Panggalila yang merupakan lawan sepadan Angga ada di pihak mereka, maka mereka pun tak takut. Angga maju ke arah Arsa, lalu menunjuk Arsa dengan penuh amarah. Sedangkan Arsa malah terlihat bersikap menantang Angga. Lava hanya diam menyaksikan, hatinya takut dan khawatir bahwa Angga akan menyakiti Arsa mengingat bagaimana cara pria itu memperlakukannya dengan kasar layaknya binatang pada malam itu. "Berani sekali kau memotong ucapanku dan berteriak di depanku hah?!" "Kau pikir aku takut pada b******n sepertimu? Sudahlah tak perlu banyak bicara, sekarang ikut dengan polisi ini ke penjara." "Kau tak punya bukti apa pun untuk bisa melaporkanku ke... "Kau harus bertanggung jawab atas kehamilan Lava, atau aku akan melaporkanmu atas tuduhan pelecahan!" "Laporkan saja, tapi perlu kau tahu satu hal bahwa aku tak akan sudi bertanggung jawab, bisa saja itu bukan anakku... "PLAKKK." "Kau tak berhak menuduh sahabatku dengan mulut kotormu itu." "Perlu kau tahu dia tidak perawan saat aku melakukan hal itu, hal itu membuktikan bahwa dia bukan wanita baik-baik." Ucapan Angga terhenti saat sebuah video dirinya dan Arsa yang sedang bicara dua hari lalu diputar di depan matanya, Arsa hanya diam tersenyum puas saat melihat Angga bungkam dengan satu bukti yang ia tunjukkan. "Kalian semua dengar dengan jelas kan? Apa yang dikatakan oleh pria b******n ini padaku saat aku meminta pertanggung jawabannya. Jadi polisi langsung saja tangkap dia." Angga menggeleng, menolak saat polisi-polisi itu memborgol kedua tangannya lalu hendak membawanya keluar dari rumah tiga lantai yang sangat mewah ini. Namun Arsa meminta waktu sebentar untuk berbicara pada Angga. Arsa melangkah mendekat pada Angga, memajukan wajahnya pada wajah Angga. Arsa salah memilih langkah ini, karena menatap wajah tampan Angga dari dekat mampu membuat jantungnya berdetak kencang. Dengan cepat, Arsa mulai membisikkan sesuatu yang mampu membuat Angga semakin membenci wanita cantik di depannya. "Aku berjanji padamu bahwa hukuman yang kau dapat bukan satu atau dua bulan, namun seumur hidupmu. Kasus ini tidak akan pernah kau menangkan dengan mudah karena lawanmu sekarang adalah aku, Artesha Christy Panggalila yang tak akan pernah menyandang gelar kekalahan!" Angga memajukan wajahnya pada wajah Arsa bahkan hidung mancung keduanya saling menempel, jantung Arsa berdetak cepat saat posisinya dengan Angga sangat dekat bahkan ia bisa merasakan hembusan nafas hangat Angga. "Dan aku pun berjanji padamu Arsa, bahwa aku akan membalas perbuatanmu hari ini, Kau akan menderita setelah hari ini dan aku adalah orang pertama yang akan mentertawakan kekalahan dan kesedihanmu." Lava yang melihat kepalan tangan Angga dan tatapan penuh amarah, langsung mendorong Angga pelan agar menjaga jarak dengan Arsa. Lava tak berani menatap mata Angga yang menatap penuh hina dirinya, tatapan itu melukai harga dirinya sebagai wanita. "Pak polisi langsung saja bawa pria itu penjara, saya sudah muak melihat wajah bejatnya!" teriak Arsa saat melihat tatapan Angga kepada Lava, Arsa langsung merangkul pundak Lava berusaha menguatkan sahabatnya untuk melupakan semua yang terjadi dan melangkah pada masa depan yang cerah.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD