PROLOGUE : WHO ARE YOU?

2601 Words
Queena Lalluna Ruby, gadis cantik bagaikan malaikat pelindung altar dari surga mempunyai mata merah jambu yang indah. Seorang gadis yang mengalami kepahitan hidup dan dengan segala kemurnian hatinya ia pun menerima semuanya hingga tiba saatnya semua berubah bagai dihempaskan angin yang datang. ❄️?️❄️?️ Di sebuah hutan, badai berhembus kencang, membawa salju hingga menutupi area sekitarnya. Tidak melihat itu berharga atau tidak, ia akan menutupi apapun yang telah di sentuhnya. Semuanya terlihat sama. Namun dari kejauhan, seorang gadis tampak kesulitan berjalan di antara salju tebal yang hampir menelannya. Matanya yang sendu menoleh cepat ke arah kanan dan kiri menyiratkan bahwa ia harus mampu melewati hutan ini dengan cepat bagaimana pun caranya agar bisa menghindari sesuatu. Jantung yang berdetak kencang, napas yang terengah menjadi bukti kalau yang mengejarnya bukanlah manusia biasa. Dalam hidup ini, sering kali semua yang kita harapkan di dunia ini, berjalan tidak sesuai dengan apa yang kita harapan. Semuanya pasti akan terasa sulit dan hal ini sering terjadi. Gadis itu memeluk erat tubuh kecilnya lalu menggosok kan kedua telapak tangannya berkali-kali. "Ru-Ruby.. Aku harap kamu akan bertahan hingga badai ini berakhir. A-aku tahu kamu adalah gadis yang kuat. Dan ayah.. " Air mata pun turun dengan sempurna dari mata merahnya. Bibir keringnya terlihat bergetar seolah ia tak sanggup untuk melanjutkan kalimatnya. Ia memejamkan matanya agak lama lalu menghirup udara sejenak. "A-ayah.. Maafkan aku. Aku menyesal! Aku menyesal meninggalkan mu sendirian. Seharusnya.. seharusnya kita melarikan diri bersama.. Maafkan aku." Ruby. Gadis cantik itu tampak sangat putus asa dengan takdir yang di milikinya. Di sepanjang jalan yang telah ia lalui, ia menangis tatkala kepingan-kepingan ingatannya terus berputar di dalam kepalanya. Ia kesal, marah juga merasa sangat sedih di saat yang bersamaan. "Ayah.. Ibu. Bagaimana aku bisa bertahan? Lebih baik jika aku mati." Ia ingin bersembunyi tak melawan badai seperti itu tetapi ia tidak punya pilihan lain selain harus melarikan diri dari seseorang yang mengejarnya. Sebab seseorang yang mengejarnya bukanlah manusia biasa. Namun, ia juga sadar bahwa melarikan diri di tengah-tengah badai seperti ini juga bukanlah pilihan yang bagus melainkan cara lain untuk mengakhiri hidupnya sendiri. Waktu terus berputar dengan sangat lambat, sedangkan tubuh gadis itu sudah pucat seolah darah yang mengalir di tubuhnya itu berhenti melakukan tugasnya. Bibir nya bergetar hebat dan kedua tangan Ruby tampak memilin gaun tipis miliknya dengan kuat. Jika dirinya mampu, ia ingin berteriak sekuatnya agar seseorang bisa menemukan dirinya. Tetapi, semua itu hanya angan-angan dalam benaknya. Ia terus memilin gaunnya sangat kuat berusaha mendapatkan sedikit kehangatan walau ia tahu hal itu hanya sia-sia. Tentu saja. Bagaimana mungkin gaun tipis berlengan pendek selutut itu bisa memberinya perlindungan? Gadis itu pun menghela napas beratnya dengan pelan. Ia meringis merasakan dadanya terasa sesak hingga ia sedikit sulit untuk menghirup udara masuk ke paru-parunya. "Aku ingin mati. Ya Tuhan, bagaimana caranya aku bisa bertahan?" Ruby pun benar-benar putus asa saat pandangannya mulai menjadi kabur. "Ya Tuhan, apa salah ku sehingga aku harus merasakan semuanya?!" Sering kali Ruby membenci Tuhannya karena Dia selalu saja membuat Ruby menderita bahkan hingga saat ini, saat semuanya akan benar-benar berakhir. Orang-orang selalu mengatakan bahwa Tuhan akan selalu ada di setiap hambanya tetapi itu mungkin sedikit keliru, sebab sampai sekarang Ruby tak pernah merasakan kehadiran-Nya sama sekali. Dan terakhir, Dia tak pernah mengabulkan apa yang gadis itu harapkan meski ia memohon dengan sangat. Itulah satu-satunya alasan mengapa Ruby membenci Tuhannya sendiri. Sebab dari awal, Gadis itu hanya ingin merasakan kebahagian meski tanpa sosok ibu. Namun, sepertinya dia tidak akan pernah mendapatkannya. Dan waktu .. tidak akan pernah berhenti berputar kecuali saat kita meninggalkan dunia ini. Pandangan Ruby pun semakin kabur dan terasa sangat berat. Kini gadis itu terlihat menyerah dan terbaring di atas salju yang menusuk kulitnya bagaikan benda tajam. Dia sudah menyerah dan tak peduli lagi dengan sekitarnya bagaikan orang yang sangat mengantuk. Bahkan saat darah mengalir dari hidungnya, dia tak menyadarinya. Karena gadis itu ... sudah menyerah dengan hidupnya. Samar-samar dari kejauhan, Serigala besar berbulu putih kebiruan tampak berlari menghampiri Ruby yang mulai tertutupi oleh salju. Serigala itu mengendus wajah bulat Ruby lalu membawanya naik ke atas punggung kokoh milik serigala besar tersebut. ****  "Ah!" Ruby memegang kepalanya yang terasa sangat berat. Sebuah kamar bernuansa putih abu abu di hadapannya pun menyambut gadis itu seolah-olah berusaha menyadarkan Ruby untuk segera menyadari keberadaannya. Ia memejamkan matanya sejenak, air matanya pun tampak lolos dari mata merah jambu ya. "Aku masih hidup." Setelah ia mulai beradaptasi, gadis itu bangun lalu menyapu pandangan ke setiap sudut kamar itu. Ia sedikit terkejut saat menyadari bahwa ini adalah kamar seorang pria. "Dimana aku?" Tanpa Ruby sadari, seorang pria yang memang bertelanjang d**a terbaring di sisinya kini telah bangun karena merasakan pergerakkan dari sisi kanannya. Dia pun mengerjapkan matanya, berusaha beradaptasi. Lalu melihat Ruby yang kebingungan. "Hey."  "Kau sudah sadar," Suaranya terdengar berat tapi juga lembut bersamaan. Namun nyatanya, suara itu berhasil membuat Ruby sangat terkejut hingga segera menoleh ke arah pria yang entah sejak kapan tersenyum begitu lebar dan manis padanya. Sontak, Ruby berlari ke arah pintu tetapi sayangnya pintu itu terkunci.  Pria itu pun terkekeh melihatnya. Melihat pria dihadapannya tertawa sekali lagi membuat gadis itu mengambil tindakan. Dengan cemas, ia mengambil gunting yang kebetulan ada di atas meja rias. "Apa yang kau lakukan disini?!" teriakan Ruby terdengar begitu menggema di kamar tersebut, membuat laki-laki yang ada di hadapannya pun segera menutupi telinganya ngilu. "Queen." "WHO ARE YOU?! Dan apa yang kau lakukan padaku! Dimana gaunku?!" Kali ini, Ruby tampak berteriak lebih keras dari sebelumnya membuat pria itu kian tertarik padanya. Ruby pun segera menarik selimut tebal yang berada di atas kasur hendak menutupi dirinya yang hanya memakai tanktop dan celana dalam. "Apa yang terjadi sebenarnya?" Dengan tenang, Pria tampan itu tersenyum dan berjalan menghampiri gadis itu. Tentu Ruby terlihat terkejut dan juga gugup dengan apa yang akan pria tersebut lakukan padanya. "Queen, tenanglah." "A-apa yang kau lakukan? Kenapa kau menghampiri ku dengan tatapan seperti itu?!" Ruby pun terus melangkah mundur, berusaha menjauhi pria tersebut yang entah bagaimana caranya kini sudah berada sekitar lima centimeter dari tempatnya berdiri. Mereka pun bertatapan. Tetapi Ruby lebih dulu menyadari situasinya saat itu. "Queen." "Apa kau sudah gila?!" Ruby pun berteriak tetapi suaranya terdengar seperti orang yang sedang di cekik. Kedua bola matanya tampak bergerak ke sana kemari berusaha menghindari tatapan tajam pria itu secara langsung. Hingga akhirnya, Ruby pun menyerah lalu membalas tatapan pria itu tepat ke arah mata emerald milik pria dihadapannya dengan tajam. Ia berusaha membunuh pria itu dengan matanya meski hanya halusinasinya. Melihat gadis di hadapannya mulai berani menatapnya, kali ini pria itu tersenyum lebih lebar. Ia terlihat senang. Lalu tangannya bergerak menyentuh anak rambut Ruby yang sedikit menutupi wajahnya. "Kamu sangat menggemaskan hingga aku .. ingin memakanmu, Queen." "Kau gi-" Belum sempat Ruby melanjutkan kalimatnya, pria itu semakin menghimpitkan tubuh mereka membuat Ruby jadi merasa sesak seketika. "Arrgh! Dasar pria m***m!". "Apa yang kau lakukan?! Lepaskan aku! Aku tidak bisa bernapas, Bodoh." Pria itu pun sedikit melonggarkan dekapannya kemudian ia menatap lurus tepat pada iris gadis itu. "Kamu benar-benar sangat cantik, Queen. Dahulu, pasti aku melakukan sesuatu yang baik hingga bisa mendapatkanmu sekarang." DEG. Ruby tampak terdiam, mematung bagaikan patung yang terhipnotis oleh pesona pria dihadapannya. Ia bahkan tidak terlihat berkedip barang sedikitpun, ia ingin berpaling tetapi sekarang ia benar-benar tak bisa mengontrol dirinya sendiri. "Apa kini aku sudah gila? Mengapa pria ini menjadi terlihat sangat sempurna seketika?" "Bahkan kini wajahnya tampak semakin dekat denganku, dan deruan napasnya terasa sangat menggelikan di bibirku.. Tetapi kenapa aku tak melakukan perlawanan? Apa yang sedang aku lakukan sebenarnya? " Pria yang sejak tadi memperhatikan Ruby pun kini tertawa melihat tingkah gadis dihadapannya. " Queen, aku rasa kamu menginginkan ku". Setelah mengatakan hal itu, pria itu pun pergi meninggalkan Ruby yang tampak terkejut dengan apa yang baru saja pria tersebut katakan dan tentu saja hal itu membuat Ruby sangat frustasi.  Gadis itu meringis. "Arrgh, aku pasti sudah GILA!" Di sisi lain, seorang pria tersenyum dengan lebarnya. "Apa dia pikir aku akan melakukan sesuatu yang buruk padanya? Atau dia memang menginginkan ciumanku?" Dia benar-benar membayangkan gadis-nya. Setelah kejadian itu, Ruby pun berusaha terlihat sibuk dengan memikirkan hal yang lain. "Entah sudah berapa lama aku ada disini. Tapi Kenapa juga laki laki itu bisa sekamar denganku? Apakah dia melakukan sesuatu padaku selama aku tak sadar? Bisa saja kan, hal itu terjadi. Pria itu kan mesum." Ruby menggaruk kepalanya yang tidak gatal. " Tapi jika iya, harusnya kan tadi dia menciumku tanpa ijin. Namun, dia tak melakukan hal itu. Arrrgh, jadi sebenarnya apa.. yang dia inginkan dariku dengan membawa ku kemarih huh? Atau sebenarnya apa--" Yang aku inginkan darinya? Apa aku telah berubah jadi m***m? "Aargh.. Tidak-tidak-tidak." Kemudian selang beberapa menit matanya membulat. "Tapi mengapa dia selalu menunjukkan senyum misteriusnya? Aku yakin ia telah melakukan sesuatu padaku saat aku pingsan belakangan ini." Dua puluh menit berlalu, ia pun menunggu pria itu dengan gemas berharap kalau laki-laki itu bisa memberinya penjelasan yang masuk di akal nantinya. Hingga akhirnya, pintu di depannya bergeser pelan, membuat perhatian Ruby pun teralihkan. Apa tidak apa, jika aku ada disini? Dia bahkan masih memakai handuk. Pria itu keluar dengan rambut basah yang acak-acakan membuat penampilannya sedikit terkesan badboy namun begitu tampan. Ah, tidak! Aku harus tetap disini untuk mendengar penjelasannya karena setelah itu aku harus lari keluar dari sini. Ya benar, aku harus melakukannya sekarang. Jadi aku masih gadis baik-baik kan? Melihat ekspresi aneh gadis di seberangnya, ia pun menghampiri gadis itu sambil tersenyum. Wolf pria itu yang sedari tadi hanya diam pun, kini mulai bersuara. 'Aiden, beri dia alasan yang bagus. Aku tebak sepertinya dia hendak lari setelah mendengar penjelasanmu.' Pria yang mempunyai nama Aiden pun hanya mengangguk kecil. Aiden memandang Ruby dengan intens membuat gadis itu tampak mati-matian bertahan dengan udara panas yang ada di sekitarnya. Karena demi apapun, tubuh Aiden terlihat sangat sexy dari pada sebelumnya. "Ok, jangan alihkan pandangan mu pada yang lain, Ruby." Dengan percaya diri, Aiden mendudukkan dirinya di kasur, dimana matenya duduk membusungkan d**a. la pun tersenyum lalu menjelaskan semuanya pada gadis itu. "Pertama, perkenalkan aku Aiden Nicholas Thompson. Mate-mu. I am yours. Raja dari seluruh klan di dunia ini. Terserah kamu akan memangggilku dengan sebutan apa tapi aku harap kau memanggilku 'Sayang." "Apa!" Aiden pun tertawa. "Sebentar, Queen." "Engh,Kemana dia?" "Aku disini. Dan kamu harus tahu bahwa aku adalah mate-mu, Baby." Bisiknya pelan tepat di telinga Ruby yang berhasil membuat gadis itu terkejut dan merinding seketika karena belum pernah ada seseorang yang melakukan hal seperti itu padanya. Dan Ruby masih merinding hingga ia terus mengusap-mengusap kulit lengannya. Belum sempat Ruby membuka suaranya hendak mengoceh, Aiden lebih dulu kembali meneruskan kalimatnya. "Kedua, pakailah dan jangan khawatir, Queen. Aku tidak menyentuhmu sama sekali selama 2 hari ini. meskipun sebenarnya aku juga menginginkannya," goda pria tampan itu seraya mengerlingkan matanya. Setelah melihat Aiden membelakanginya, Rubi pun mengerti lalu memakai gaun sutra yang diberikannya dengan cepat meski dirinya sempat ragu karena pria itu tetaplah seorang pria yang normal.Ia pun menghela nafas lalu meletakkan selimut ke tempatnya."Tetap waspada, Ruby." "Ok." "Oh! Kamu sudah selesai?Se-cepat itu?" Gadis itu pun mengangguk malas. Sedangkan pria di hadapannya tampak memperhatikan tubuh gadis itu dengan intens.Seketika Ruby membelalak lalu memukul kepala pria di hadapannya cukup keras."APA YANG KAU LIHAT?!" Pria itu tersenyum kecil. "Tidak ada, Queen." Balasan yang di lontarkan pria itu membuat Ruby sedikit tertawa dengan sarkatik. "Bullshit!" Hening.Suasana di sana pun kini terasa lebih canggung dari sebelumnya membuat Ruby semakin bosan berada hingga memori di kepalanya pun perlahan menyatu bak sebuah puzzle. "lalu bagaimana aku bisa berakhir bersama pria ini?" "Ok." Ruby pun menatap pria itu malas. "Aku benar-benar serius, Queen. Aku rasa .. aku harus memjelaskan semuanya pada mu dan kamu harus percaya. Kamu tahu metode orang yang menyembuhkan seseorang yang terkena hipotermia? Skin to skin. Aku hanya melakukan hal itu padamu, tidak lebih." Di samping itu, Ruby hanya menatap Aiden dengan pandangan sulit diartikan. "Maksud ku .. Pakaian mu tidak sepenuhnya terlepas begitu juga aku. Aku hanya memelukmu agar kamu bisa kembali. Dan hal itu murni hanya untuk menolongmu. Aku juga tidak menyentuhmu sama sekali,Queen." "Pembohong!Kau bahkan mencium mate-ku seolah-olah bibir mu itu tidak bisa di lepaskan dari Mate-ku.Apakah itu yang di sebut tidak menyentuhnya?!" "Diam, bodoh!" Aiden pun memutuskan mindlink nya dengan serigalanya, Dave. "Ok, Queen. Apa masih ada lagi?" Mendapat pertanyaan seperti itu Aiden menggeleng kecil. Ruby pun menarik napas panjang lalu memijat kepalanya yang tiba-tiba saja terasa sakit. "Pertama, kenapa kau mengklaim diriku ini adalah soulmatemu hm maksudku mate-mu? Bisa saja kan kau salah orang. Aku juga tidak percaya-" Ruby pun menajamkan tatapannya tepat di manik mata pria itu. "Karena aku bukanlah mate mu. Kamu tahu, hidup itu pilihan. Jadi aku berhak menentukan pasangan ku sendiri bukan karena hal-hal semacam ini." Aiden menghembuskan nafasnya kasar kemudian memandang lurus ke arah hutan didepannya. "Kamu tahu, Queen?" "QUEEN? SIAPA,AKU? KENAPA? " Ruby mengeryitkan dahinya bingung lalu menghampiri Aiden yang tiba-tiba saja sudah berada di balkon kamar. Apa dia baru sadar kalau sejak tadi Aiden memanggilnya dengan sebutan Queen? Gadis itu menatap Aiden dengan malas. "Moongoddes lah yang telah menciptakan semua ini. Setiap makhluk immortal yang ada didunia ini hanya diberikan satu mate yang akan menemaninya semasa hidup kekalnya. Entah itu berasal dari sesama klan atau pun berbeda, jika menyangkut urusan mate sejauh apapun mereka, dipastikan suatu saat mereka bertemu untuk memenuhi takdirnya masing-masing. Seperti halnya kau dan aku. Aku mengenalimu sebagai mate ku karena bau yang dikeluarkan oleh tubuhmu sendiri, karena jika kau bukan mateku maka aku tak kan bisa mencium bau bunga lili bercampur bunga lavender yang memabukkan seperti ini dari kejauhan. Maka dari itu aku yakin kau adalah mate ku, pasangan hidupku dan Luna ku," jelas Aiden seraya menghirup udara disekitarnya kemudian menatap Ruby dengan tatapan memuja. "Apa dia gila? Apa yang dia bicarakan?" Ruby terlihat menggelengkan kepalanya. "Sudah sejak lama aku menunggu kehadiranmu selama seratus tiga puluh tahun ini, hingga akhirnya aku pun berhasil menemukanmu sekarang. Kau tahu? Aku sangat bahagia telah bertemu denganmu dan ku harap kau bisa menerimaku juga cepat-cepatlah mencintaiku , Queen" Lanjutnya seraya menarik tangan Ruby lalu menciumnya. "Apa aku sudah mati? Immortal, makhluk abadi?" Ruby berdehem lalu menarik tangannya untuk di kibas-kibaskan karena entah bagaimana tiba-tiba udara disana terasa begitu panas. "Arrgh!" "Pertanyaan kedua, kau mengatakan bahwa setiap makhluk immortal hanya diberikan satu mate saja. Lalu makhluk immortal seperti apa dirimu?" "Werewolf." Napas Ruby tercekat."We-werewolf? Jadi kau adalah Raja serigala maksudmu?!" teriak Ruby histeris. "Ya" Hening. "Baiklah. Pertanyaan ketiga, kenapa aku bisa ada disini?" "Ruby, tenanglah. Ini mungkin hanya mimpi." "Aiden, dia sangat menggemaskan! Dia bahkan merubah ekspresinya dalam satu detik. Aiden, apa dia seorang face-" "Diamlah, Dave!" Terpaksa, Aiden pun menutupi kekesalannya dengan menundukkan kepalanya. "Ketika aku dan beta-ku hendak kembali ke pack ku ini, di perjalanan tiba-tiba saja aku mencium bau harum yang dikeluarkan tubuhmu hingga setelah beberapa lama mencari dimana asal wewangian tersebut, aku pun menemukanmu tergeletak diatas hamparan salju kemudian membawamu kesini." Alih-alih mendengarkan, Ruby malah menunduk dan bahunya sedikit bergetar. "Queen, kenapa kamu menangis?" Melihat Ruby seperti itu, naluri lelaki-nya pun muncul seketika. Ia memeluk Ruby membiarkan gadis itu menangis dalam dekapannya seraya mengelus kepala dengan kasih. "Apa yang membuatnya menangis seperti ini, Aiden?" Memangnya apa yang dipikirkannya? Bukankankah kamu bisa membaca pikiran? Bacalah pikirannya, Aiden. Aiden bodoh! Kenapa pikiran mu dikosongkan hah?!" Aiden tak menghiraukan perkataan Dave, padahal volume suara Dave di kepalanya bisa disebut diluar batas normalnya. Mungkin Aiden sendiri tengah sibuk dengan perasaan asing yang tiba-tiba melandanya? Aiden memejamkankan matanya erat. Berusaha menghilangkan perasaan asing yang begitu menyiksanya. "Queen, aku harap kau tak kan bersedih lagi setelah ini," Aiden membatin. **** Hehe.. itu revisinya guys.. Banyak yang aku tambahin dan dihapus, tapi semoga kalian tetap menikmati yaa
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD