Malam Zafaf

1043 Words
Asia duduk di ruang tamu dengan gaun pengantin yang masih melekat indah menutupi setiap inci auratnya. Tepat di arah samping kiri, ada Umi Nabila---ibu dari Arhab---sedang tersenyum-senyum bahagia sembari memegangi tangan Asia. Karena hunian mereka berhadap-hadapan, jadi, pernikahan sederhana pun setuju untuk diadakan di kediaman Asia. Dan malam ini, ia juga langsung diboyong ke rumah Arhab. Arhab sendiri sudah memasuki kamarnya sedari tadi, sementara Asia masih setia menempelkan p****t pada kursi ruang tamu. Ia benar-benar tidak ingin masuk pada kamar itu, laknat sekali. Kalau bisa, dirinya ingin pulang saja, dan tidur di kamarnya sendiri. "Kamu nggak mau masuk kamar?" Umi menaik turunkan alis matanya, ah, pasti dia tengah mengejek Asia. Seharusnya ini 'kan malam zafaf antara ia dan Arhab. Asia menggelengkan kepala, menatap Umi dengan mata cokelat besar yang ia miliki. "Asia mau tidur di sini aja. Nyaman. Nggak mau tidur sama Arhab." Umi tertawa renyah, menantunya ini ada-ada saja, lagian ia takan mengijinkan hal itu untuk terjadi. Mulai malam ini, mereka adalah suami-istri yang sah, rasanya aneh jika mereka tidur di tempat yang terpisah. "Nggak boleh Asia, sekarang 'kan malam zafafnya kamu sama Arhab. Masa mau sendiri-sendirian gitu tidurnya?" Asia berpikir ulang, jawaban apa yang harus ia lontarkan kepada umi. Meski dengan Arhab hubungannya tak pernah baik, tetapi dengan umi, Asia sudah menganggap beliau sebagai ibu sendiri. Masakan umi enak, seperti masakan bunda. Selain itu sifat umi juga lemah lembut dan pengertian. Umi juga sangat cantik, apalagi ketika tersenyum, beliau mempunyai dua bolongan lucu di pipinya. Kadang Asia pun cemburu dengan itu. Dan mungkin juga, Arhab mewarisi lesung pipi yang ia miliki dari uminya. Sehingga, Asia harus mengakui, jika Arhab sedang tersenyum, maka ketampanannya akan bertambah berkali-kali lipat. Maka dari itu, cukup banyak wanita yang mendekatinya. Apalagi, Arhab itu laki-laki gaul, meski masih ada dalam batasan-batasan Islam. Ia pandai mengaji, pintar dan hamble. Arhab terkenal di kampus dan banyak disukai oleh dosen maupun mahasiswa. Hanya saja, jika tengah bertemu dengan Asia, maka sifat nyebelin dan pendendam Arhab akan muncul. "Tapi Umi gimana ya ... Umi 'kan tau, kalau Asia dan Arhab sama-sama, pasti bawaanya adu mulut terus. Asia bener-bener nggak bisa sabar kalau ngadepin Arhab. Maaf Umi, tapi, anak Umi bener-bener nyebelin." "Oh, jadi sang istri tengah nikmat menggibahi suaminya," ujar seseorang. Lantas, Asia dan Umi pun langsung memalingkan wajah ke asal suara. Mereka menemui Arhab yang sudah memakai kaos hitam berlengan pendek, dipadu dengan celana tidur kain panjang. Handuk masih tersampir di pundak, sedikit menghalangi air-air yang menetes dari rambut hitamnya yang basah berantakan. "Bukan gitu Arhab." Sang Umi tersenyum. "Udah sana, Asia ke kamar Arhab, bersih-bersih. Baju Asia udah ada di sana kok, kemarin bundamu ngasih. Umi pamit dulu, sama, mau bersih-bersih juga." "Iya Umi." Asia menganggukan kepala, meratapi kepergian umi Nabila. "Ayo ke kamar." "Nggak mau! Lo aja sendiri!" "Yaudah, terserah. Emang lo mau tidur di sini? Lo 'kan belum mandi, bau. Wajah lo juga masih cemong kayak ondel-ondel." Benar-benar, Arhab menjengkelkan sekali. Padahal tadi, banyak orang yang memuji bahwa dirinya sangat cantik hari ini. Tapi, suaminya sendiri malah menghina dan menyebutnya seperti ondel-ondel. Istri mana yang tidak kesal ketika diperlakukan seperti itu oleh suami sendiri, terlebih di malam pertama mereka. "Terserah deh, bibir lo emang nggak bisa dikontrol. Celetuk sana-sini, nggak banget." "Ck, dasar, ambekan banget lo jadi cewek, lagi datang bulan lo ya?" "Diem!" Asia berdiri, kata bunda tadi, dia harus banyak mengalah terhadap Arhab. Mau tidak mau, sekarang status Arhab adalah suaminya. Asia tidak bisa lagi seenak jidat terhadap Arhab. Sebagaimanapun kesalnya Asia, kini ia harus menahannya. Ridha Allah, ada pada ridha suami. Kini, Arhab lah yang harus ia hormati, yang harus ia turuti. Arhab adalah imamnya, penyempurna agamanya. Lebih baik Asia menuruti perintah Arhab untuk masuk ke dalam kamar. Ia akan membersihkan wajahnya agar tidak terlihat seperti ondel-ondel lagi. "Dimana umi nyimpen baju gue?" tanya Asia ketika mereka sudah memasuki kamar. Sebenarnya Asia merasa canggung, begitupun dengan Arhab. Mereka sama-sama baru merasakan berada di ruangan yang sama, hanya berduaan, apalagi di kamar tidur. Tempat privasi bagi manusia, terlebih sepasang suami istri. Arhab menggelengkan kepalanya, berani sekali ia berpikir jauh-jauh tentang apa yang akan ia dan Asia lakukan malam ini. Bagaimanapun ia lelaki dewasa, berduaan di tempat yang sakral bersama istrinya membuat pikiran Arhab melanglang jauh. Lagipula, seharusnya itu tidak boleh terjadi. Tak ada yang bisa diharapkan dari malam pertamanya dengan Asia. Sudah Arhab bilang, jika ini bukan pernikan impian. "Tuh, di sana. Ambil aja. Handuk juga ada di sana." Arhab menggerling pada arah lemari putih. Asia pun mengangguk, mengambil baju dan handuk lalu pergi ke kamar mandi. Di depan cermin, dengan pelan ia membuka jilbab, membersihkan make up-nya juga. Sengaja, ia berlama-lama di sana, rasanya Asia tidak ingin keluar dari ruangan ini. Ia tak mau melihat Arhab, rasanya malu. Namun, sekitar 38 menit kemudian, ia memaksakan diri untuk melangkah keluar. Asia mengenakan baju tidur panjang dengan kaus kaki dan khimar. Ia ragu menunjukan aurat terhadap Arhab. Meski Arhab adalah suaminya. "Lama banget, ngapain aja lo di sana?" tanya Arhab yang tengah menyandarkan punggung pada kepala ranjang. "Mandi lah, ngapain lagi." Mengangguk Arhab pun berdiri. Memgambil kasur lantai dan selimut dari dalam lemari. "Lo mau tidur di bawah?" Asia memperhatikan Arhab yang menggelar kasur lantai tepat di bawah peraduan mewahnya. "Enak aja, ini kamar gue, jadi, lo kali yang tidur di bawah." Asia menelan salivanya, tega sekali, padahal dia perempuan. Astagfirullah, Asia harus menuruti apa keinginan Arhab, dia 'kan suaminya. Ingat itu Asia, ingat. Sekarang lo harus banyak sabar As, orang sabar disayang Allah. Monolog Asia di dalam hati. "Ok kalau itu maunya lo." "Tu-tumben nggak debat." "Sekarang bukan waktunya debat. Kata bunda, kewajiban seorang istri itu menuruti kemauan suami. Kalau lo maunya gitu, ya, sekarang gue turuti." Arhab mengangguk, lalu membaringkan diri di kasur empuknya yang nyaman dan hangat. Entah kenapa, tapi hatinya berkoar-koar merasa bersalah atas sikap yang barusan ia lakukan. Terlebih, Arhab tak menyangka jika Asia akan mudah menuruti keinginannya. Arhab menatap Asia yang mematikan lampu kamarnya, lalu berjalan kecil menuju kasur lantai yang tadi ia siapkan dan tertidur di sana. Ah! Sudahlah, apa pedulinya, toh ini yang dia inginkan. Sekali-kali Asia memang harus dikerjai.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD