BAB 1- Diputus Karena Miskin
Bandung.
Kota yang dari kejauhan tampak bagaikan lukisan—udara sejuk yang membelai pipi, kabut pagi yang menari di antara pepohonan, factory outlet yang berjejer penuh warna, serta kafe-kafe instagramable yang tak pernah sepi dari pengunjung. Di tengah gemerlap kampus-kampus megah yang berdiri layaknya istana ilmu, ada kisah manis tentang mimpi. Tapi juga ada kisah getir tentang kenyataan.
Karena di balik pesonanya, Bandung menyimpan jurang yang tak terlihat.
Jurang yang memisahkan mereka yang lahir dari kemewahan…
Dan mereka yang harus berjuang untuk sekadar bertahan hidup.
Alvaro Pratama berada di sisi yang kedua.
Seharusnya hari ini menjadi hari biasa baginya. Bangun pagi ditemani suara motor lewat di depan kosannya yang sempit. Mandi kilat karena air sering mati mendadak. Berangkat kuliah sambil berharap sepatu tipisnya tidak jebol di tengah jalan. Setelah itu, tugas kuliah yang menumpuk sampai membuat kepala migrain menjadi rutinitas yang bahkan tak perlu diperdebatkan lagi. Begitulah kehidupannya di Universitas Cakra Nusantara—kampus elit yang entah bagaimana bisa ia masuki berkat beasiswanya.
Kos Alvaro pun jauh dari kata nyaman. Kamar berukuran tiga kali tiga meter, cat dinding yang mengelupas di sana-sini, kipas angin tua yang merengek setiap kali dinyalakan, dan suara teriakan pasangan kos sebelah yang bertengkar hampir setiap malam—semuanya sudah menjadi bagian dari hidupnya. Makan siang? Nasi kucing dan air putih. Hiburan paling mewah? Scroll t****k sampai kuota habis. Disanalah Alvaro tinggal Bersama adik perempuannya, “Dina”.
Namun malam itu, hidup yang sudah cukup berat baginya ternyata masih punya kelanjutan dari kata sial.
“Selena! T-tunggu!”
Suara Alvaro parau saat ia berlari kecil menyusuri halaman parkir kampus yang mulai gelap. Lampu-lampu taman menyala samar, menyorotkan bayangan panjang tubuhnya.
Di depan sana, seorang gadis berjalan cepat seolah melarikan diri.
Selena Aulia.
Pacarnya sejak dua tahun lalu—sejak mereka masih memakai seragam SMA – abu-abu putih - yang lusuh. Gadis yang pernah berkata sambil memegang tangan Alvaro, “Aku nggak peduli kamu miskin. Aku sayang kamu apa adanya.”
Ucapan itu kini terasa seperti lelucon paling kejam.
Selena berhenti di dekat deretan mobil mewah mahasiswa kampus. Gadis tinggi berwajah cantik itu berbalik dengan ekspresi penuh kejengkelan. Rambut hitamnya berkilau tertiup angin, seolah alam semesta masih memujanya meski hatinya sudah membusuk.
“Apa lagi, Alvaro?”
Suaranya dingin. Datar. Menyayat.
Alvaro terengah, napasnya naik-turun. “Kita… bicara dulu. Aku masih belum ngerti. Aku salah apa? Kalau aku ada kurang, aku bisa memperbaiki semuanya. Aku bisa—”
Dengan kasar Selena menepis tangan Alvaro yang mencoba meraih lengannya.
“Cukup. Aku capek sama kamu.”
Beberapa mahasiswa yang lewat melambatkan langkah, memasang telinga penuh minat. Drama kehidupan orang miskin memang selalu menarik bagi mereka.
Alvaro menggeleng penuh putus asa. “Selena… kamu bicara apa sih? Kita udah bareng dua tahun, Sel. Kita punya mimpi. Kita—”
“Kamu nggak denger ya?” Selena mendengus keras, lalu menatapnya seolah melihat sampah mengotori lantai marmer.
“Aku ingin kita PUTUS.”
Kata itu menghantam d**a Alvaro seperti pukulan palu godam. Dunia seolah berhenti berputar. Semua suara hilang, menyisakan denyut jantungnya yang makin melemah.
“A… apa? Kenapa?” Alvaro tersengal.
“Aku selalu ada buat kamu. Aku selalu—”
Selena langsung memotong kalimatnya dengan tawa sinis.
“Dan itu masalahnya, Alvaro. Kamu cuma selalu ADA. Tapi kamu nggak akan PERNAH BISA MEMBERI apa-apa.”
Alvaro terdiam.
Tatapan Selena menelusuri dirinya dari atas sampai bawah.
“Kamu MISKIN.”
Kata itu meluncur tanpa empati. Membabi buta.
Beberapa mahasiswa lain berkedip cepat, saling pandang—lalu menertawakan.
Tawa kecil itu memantul di telinga Alvaro seperti cambuk.
“M-miskin?”
Ia masih berusaha menyangkal.
Meski hatinya tahu itu benar.
“Yes. Kamu miskin.” Selena melipat tangan di d**a.
“Kamu kuliah cuma karena BEASISWA belas kasihan itu. Kamu tinggal di kos kayak gudang tikus. Kamu nggak punya mobil, nggak punya status, nggak punya apa-apa.”
Alvaro merasakan tenggorokannya tercekat.
“Kamu nggak akan pernah sanggup kasih aku hidup yang layak.”
Selena melanjutkan tanpa rasa bersalah sedikit pun.
Ia mendekat, lalu berbisik kasar tepat di telinga Alvaro—cukup keras untuk seluruh parkiran mendengar.
“Kamu nggak akan jadi siapa-siapa.”
Deg.
Kata itu… membunuh.
Selena kemudian melangkah pergi tanpa menoleh.
Menuju seorang pria yang berdiri santai sambil menyandarkan diri pada motor sport merah menyala yang harganya bisa menghidupi satu kampung kecil.
Darren Wijaya.
Senior kampus. Kaya raya. Playboy terkenal.
Dan kini—laki-laki yang menggantikan posisi Alvaro dalam sekejap.
Selena memeluk pinggang Darren tanpa malu sedikit pun.
Sementara Darren menatap Alvaro dengan tatapan mengejek penuh superioritas.
Dengan gerakan bibir pelan yang jelas terbaca…
Darren berkata:
“Aku akan tidur dengannya.”
BRUAAAK!!
Motor itu melaju meninggalkan angin panas yang menyapu wajah Alvaro—dan meninggalkan hatinya yang hancur brutal di tempat yang sama.
Alvaro terduduk di trotoar. Lututnya terasa lemas.
Bahunya bergetar menahan tangis dan amarah.
“Sial…” gumamnya parau.
“Kenapa cuma karena miskin… cinta bisa se-kejam ini?”
Ia menendang kerikil kecil—tapi malah mengenai ujung sepatu bolongnya sendiri.
Perih terasa di jari kakinya. Sakit. Tapi tetap kalah dari sakit di dadanya.
Air mata mulai berkumpul, tapi ia usahakan tetap laki.
Namun justru pada saat itu…
DING!!!
Suara dentang metalik bergema di dalam kepalanya.
“Apa lagi ini… halusinasi?” Alvaro menggerutu, memegang kepala.
Tiba-tiba sesuatu muncul di depan matanya—melayang di udara seperti layar hologram canggih dari film-film sci-fi.
Tulisan emas berkilau terpampang jelas:
[Saldo Anda bertambah: Rp 999.000.000.000]
[999 Miliar telah ditambahkan ke rekening Anda untuk misi awal]
[Saldo tambahan akan diberikan setelah Anda menghabiskan dana ini]
Alvaro vakum. Wajahnya beku.
Mulutnya ternganga tanpa suara.
“W-what… apa ini?” ia berbisik ketakutan dan takjub sekaligus.
Dengan gemetar, ia merogoh ponselnya. Membuka aplikasi mobile banking-nya yang biasanya hanya menunjukkan saldo puluhan ribu… atau malah belasan ribu.
Dan kini…
Rp 999.000.000.000
Tertulis jelas.
Bukan mimpi. Bukan bug. Bukan halusinasi.
“G-GILA!!! NYATA!!”
Teriaknya hingga suara serak.
Jantungnya memacu cepat. Tangan dan kakinya bergetar.
Layar hologram muncul lagi:
[Setiap pengeluaran Rp25.000.000 → 1 Poin]
[Poin dapat digunakan untuk meningkatkan Status dan Kemampuan Khusus]
“Mampus… ini kayak sistem game! Kayak anime Isekai overpower itu!”
Alvaro terkekeh setengah gila.
Mungkin karena bahagia. Mungkin karena kewarasan mulai retak.
Layar berubah menampilkan status:
━━━━━━━━━━━━━━━━
📌 Profil Awal
Nama: Alvaro Alrenzo
Kekuatan Fisik: 35
Kecerdasan: 40
Kecepatan: 40
Kemampuan Khusus: Tidak Ada
Saldo: 999.000.000.000
Poin: 0
━━━━━━━━━━━━━━━━
“Ini… ini nyata…?”
Alvaro masih belum yakin sepenuhnya.
Tiba-tiba ada yang menepuk bahunya keras.
“Brooo… jangan bilang lo nangis gara-gara ditinggal cewek.”
Suara yang selalu penuh cengiran.
Alvaro menoleh. Rafael.
Sahabat sejatinya—meski lebih sering menjadikan hidup sebagai bahan stand-up komedi.
Alvaro buru-buru mengusap matanya. “Gue nggak nangis.”
Rafael mengangkat satu alis. “Yeee jelas nggak. Itu cuma keringat mata ya?”
Biasanya Alvaro akan melempar balik candaan pedas.
Tapi kali ini ia hanya diam, menatap kakinya.
Rafael menghela napas. “Denger ya, bro. Lo miskin, iya. Tapi lo punya otak. Dan gue tau lo bakal jadi orang suatu hari nanti. Jadi jangan nyerah Cuma gara-gara cewek ****** itu.”
Alvaro menatap Rafael sejenak.
Ada sedikit ketenangan di hatinya mendengar itu.
“Thanks, Raf.”
Tanpa banyak tanya lagi, Rafael pergi—mungkin sengaja memberi ruang untuk sahabatnya memperbaiki dirinya sendiri.
Kini hanya Alvaro dan…
angka 999 miliar yang masih membuatnya gemetar setengah mati.
Ia menatap hologram itu.
Kemudian menatap kampus besar di belakangnya.
Kemudian kembali menatap tangannya.
“Aku harus coba…” gumamnya.
Ia mendekat ke vending machine minuman dingin.
Menempelkan ponsel.
TAP — Pembayaran Berhasil.
Minuman favorit keluarnya.
Itu nyata.
Uang itu benar-benar miliknya.
Alvaro meneguk minumannya sambil tertawa kecil.
“Astaga… gila… aku kaya. AKU KAYA!”
Untuk pertama kalinya dalam hidup, dunia terasa seperti kubu yang bisa ia taklukkan.
Dan sebuah gagasan gila muncul di kepalanya.
Ia memandang ke arah seberang jalan.
Sebuah papan nama elegan berdiri megah:
GRAND VIOLA CITY
Kompleks perumahan elit dua lantai yang selama ini hanya ia tatap dari balik pagar. Rumah-rumah megah yang harga cicilannya saja cukup membuat kantongnya menangis.
“Kalau waktu ingin balas dendam atas semua hinaan barusan… ini saatnya.”
Ia melangkah masuk ke gerbang.
Satpam langsung menegakkan tubuh, menatap Alvaro dari ujung rambut hingga ujung kaki dengan pandangan meremehkan.
“Dek, kamu mau apa? Di sini bukan tempat numpang WiFi.”
“Aku mau beli rumah di sini.”
Alvaro menjawab santai.
Satpam hampir tersedak udara kosong.
“Sini komplek miliaran semua. Kamu kira—”
Namun sebelum kalimatnya selesai, seorang wanita elegan muncul dari dalam ruangan pemasaran.
Bianca Marcelline.
Agen properti terkenal.
Cantik, rapi, dan berwibawa.
“Selamat malam. Ada yang bisa saya bantu, Tuan?”
Suaranya ramah dan profesional.
Mereka duduk. Bianca menunjukkan berbagai tipe rumah.
Ada yang 800 juta, 1,2 miliar… dan satu yang paling mahal, dua miliar rupiah yang di dalamnya sudah dilengkapi dengan perabotan yang sudah lengkap.
Tanpa basa-basi. Alvaro berkata: “Yang dua miliar. Aku beli. Bayar Lunas.”
Satpam di belakangnya seperti melihat setan.
Bianca pun sempat terdiam sepersekian detik sebelum kembali berusaha bersikap normal.
“S-Saya kirim nomor rekeningnya ya, Pak…”
Alvaro mengangguk. Dan ia transfer.
Sekali klik.
Transaksi Berhasil.
Bianca mengecek ponselnya—dan wajahnya langsung pucat karena shock.
“Tuan Alvaro… rumah ini resmi menjadi milik Anda.”
Alvaro tersenyum puas. Menandatangani dokumen seolah hanya membeli ayam geprek.
Hologram muncul:
[Pengeluaran 2 Miliar → +80 Poin]
Alvaro mengepalkan tangan.
“Selena… lihat aku sekarang.”
Dalam perjalanan menuju kosnya yang kumuh, langkah Alvaro terhenti ketika terdengar suara ribut dari gang gelap.
“Aduh… t-tolong, Bang…”
Suara seorang anak.
Empat preman kampung sedang mengeroyok siswa SMA berseragam kusut. Wajah anak itu penuh lebam.
“Cepetan! Keluarin duit lo!”
Teriak salah satunya sambil menendang tubuh kurus si bocah.
Hati Alvaro mendidih.
Hologram muncul lagi—seolah membaca niatnya:
[Dengan 20 Poin → Anda dapat memperoleh Kemampuan Khusus Bela Diri, dan setiap kenaikan level dibutuhkan 10 poin Selain itu 5 poin dapat meningkatkan 1 kemampuan fisik/kecerdasan/kecepatan]
Alvaro mengepalkan tangan.
Ia tahu apa yang harus dilakukan.
“Sistem. Tambahkan kemampuan Karate.”
Katanya tanpa ragu.
[Konfirmasi? -20 Poin]
“Ya.”
Sekejap, tubuhnya terasa panas—lalu hawa kuat mengalir ke seluruh otot. Gerakan bertahan, teknik pukulan, refleks… seakan ia telah berlatih bertahun-tahun.
Tatapan Alvaro tajam saat melangkah ke dalam gang.
“Oy!”
Suaranya menggelegar.
Preman menoleh.
Wajah mereka terkejut melihat ada yang berani ikut campur.
“Hah? Anak kampus sok jagoan? Mau jadi sumbangan bonus?”
Alvaro memasang kuda-kuda.
Untuk pertama kalinya… ia tidak takut.
“Aku lawan kalian.”
Bukan lagi suara seorang miskin yang diinjak-injak.
Tapi suara seorang pria yang baru lahir kembali.
Karena malam itu…
Tekad baru telah bangkit.
Harga diri yang hancur telah menyala.
Dan seseorang yang diremehkan dunia bersiap bangkit.
Alvaro Alrenzo akan membuktikan:
Bahwa kemiskinan bukan alasan untuk diinjak.
Dan untuk pertama kalinya…
Ia tersenyum saat menghadapi bahaya.