Bab 6 Kejutan di Pagi Hari

984 Words
Cahaya matahari pagi menyelinap melalui celah tirai kontrakan kecil mereka, membawa ketenangan rapuh setelah malam panjang penuh pertarungan. Alvaro sudah bangun sejak subuh, tubuhnya masih pegal setelah mengalahkan Boni dan anak buahnya, namun sistem di kepalanya bekerja memulihkan stamina yang hilang. Ia duduk sebentar di tepi kasur, menarik napas panjang, lalu memanggil panel sistem. [SISTEM AKTIF] Kekuatan Fisik: 49 Kecerdasan: 40 Kecepatan: 42 Kemampuan Khusus: Karate Mastery Lvl. 3 Poin Tersisa: 0 Saldo: Rp. 996.000.000.000,- Masih jauh dari cukup untuk menghadapi apa pun yang mungkin datang. Ia melirik Dina yang masih tidur pulas, wajahnya tenang meski semalam menyaksikan hal yang seharusnya tak pernah dilihat oleh gadis seusianya. Semua perjuangannya selalu kembali pada satu hal: melindunginya. Alvaro bangkit perlahan, menyiapkan sarapan sederhana. Aroma telur dan roti panggang membangunkan Dina yang terhuyung dengan mata sembap dan rambut berantakan. “Kak… sudah bangun?” “Sudah. Sarapan, lalu kita siap-siap. Kita pindah hari ini.” Dina sempat terdiam. “Hari ini?” Alvaro hanya tersenyum. “Kakak sudah putuskan.” Kontrakan kecil itu tak membutuhkan waktu lama untuk dikosongkan. Barang mereka sedikit—bukti hidup keras yang tak banyak memberi ruang untuk memiliki. Ketika mobil online tiba, Alvaro memasukkan tas ke bagasi dan membawa Dina pergi meninggalkan masa lalu yang sempit. Semakin jauh mobil melaju, semakin berubah pemandangan. Rumah-rumah lebih rapi, pepohonan teratur, trotoar bersih. Sampai akhirnya mereka memasuki perumahan elite dengan gerbang besar dan satpam tegas. “Kak… ini kawasan elite,” bisik Dina tak percaya. “Nanti kau lihat,” jawab Alvaro tenang. Mobil berhenti di depan rumah yang bahkan lebih megah dari bangunan lain di kompleks itu. Dina hendak turun, namun Alvaro menahan sambil mengeluarkan kain hitam. “Kak? Itu buat apa?” “Tutupi matamu. Ada kejutan.” Meski protes kecil, Dina menurut. Ia digandeng masuk melewati pagar dan berdiri di depan pintu rumah. Saat kain dibuka… dunia Dina seperti berhenti berputar. Rumah tiga lantai berdiri megah di hadapannya, dinding putih bersih, kaca lebar, taman kecil terawat, garasi besar. Interiornya tak kalah mewah: lantai marmer, lampu gantung kristal, ruang tamu luas, dapur elegan dengan granit hitam. “K… Kak… rumah siapa ini?” “Rumah kita,” jawab Alvaro. Air mata Dina langsung menggenang. Segala kemiskinan yang pernah mereka tempuh terasa seperti bayangan jauh. Ia berlari memeriksa kamar, memilih satu di lantai dua dengan balkon kecil, lalu kembali ke Alvaro yang tersenyum tipis melihat kebahagiaannya. “Apa Kakak yakin… kita bisa tinggal di sini?” “Yakin. Yang penting, kita aman.” Di balik ketenangan itu, Dina merasakan sesuatu—seolah badai besar sedang bergerak ke arah mereka. Sementara itu, SMA Satu Nusa dilanda kekacauan. Puluhan motor memenuhi gerbang sekolah, knalpot meraung, siswa-siswa ketakutan. Geng Cobra datang dengan kekuatan penuh. Bobby, pemimpin terkuat Cobra, berdiri di depan gerombolan itu. “Anak itu… mana?” suaranya dingin. Tidak ada yang berani menjawab. Semua tahu siapa “anak itu”—Alvaro. Pertempuran semalam tersebar cepat. Bobby marah besar melihat gengnya dipermalukan. “Cari dia,” perintah Bobby kepada anak buahnya. “Aku tidak peduli rumahnya di mana. Cari sampai ketemu.” Ratusan motor itu berputar mengelilingi sekolah, menciptakan intimidasi yang menyebabkan kegiatan belajar mengajar hampir dihentikan. Namun orang yang mereka cari justru berada di tempat lain, sama sekali tak terduga. Alvaro berdiri di depan Arion Plaza Prime, mal termewah di kota itu. Bangunan dengan interior berkilau dan toko-toko kelas atas. Ia datang untuk satu hal: menaikkan level dirinya. Sistem memberi poin besar dari pembelian mahal. Meski hanya memakai kaos lusuh dan sandal, ia berjalan tegak ke lantai dasar di mana sebuah pameran mobil mewah diadakan. Mercedes, Lexus, Porsche, Audi, BMW—semuanya dipamerkan dengan pencahayaan elegan. Saat Alvaro menuju area BMW, para sales memandang meremehkan. Beberapa mengalihkan tatapan, beberapa berbisik sinis. “Pelanggan begini lagi…” “Mana mungkin beli BMW pakai sandal begitu.” “Nyasar kayaknya.” Namun satu orang tidak ikut meremehkan. Seorang sales muda berwajah lembut dengan rambut cokelat panjang menghampiri dengan senyum tulus. Calya - Junior Sales BMW. “Halo Kak, ada yang ingin Kakak lihat?” “Ya. Semua mobil di sini,” jawab Alvaro. Calya tersenyum dan mengarahkannya. Tidak jauh dari sana, Maya - sales senior - mengolok Calya dari jauh. “Baru kerja ya? Pantas saja melayan orang kayak gitu.” “Lihat tuh, sandal! Mana mungkin beli mobil mewah.” Calya memilih diam dan tetap profesional. “Ini model yang paling terjangkau, Kak,” katanya menjelaskan. “Sekitar 1,5 M.” “Yang paling mahal ada?” tanya Alvaro. Calya terkejut, namun tetap mengangguk. Ia menunjukkan BMW XM—mobil mewah seharga 6 miliar. Alvaro memandangi mobil besar itu dengan mata berbinar. Tak lama kemudian ia menunjuk BMW M4 Coupé berwarna putih mutiara di sisi lain. “Yang ini dan yang itu.” Calya mematung. “Maksud Kakak… dua-duanya?” “Ya. Saya ambil keduanya.” Semua sales senior spontan tertawa keras. “Hahaha! Dua unit katanya!” “Calya ditipu!” “Lihat pakaiannya!” “Dia mau beli BMW XM?!” Maya bahkan menepuk meja, menertawakan Calya yang menurutnya mudah dibodohi. Namun Calya hanya menatap Alvaro, matanya ragu namun tetap hormat. “Kak… benar ingin membeli dua unit?” “Benar,” jawab Alvaro, mantap. “Tapi aku ingin bicara langsung dengan managermu.” Calya menelan ludah, lalu mengangguk cepat. Ia berlari kecil menuju ruangan manajer. Para sales lain masih tertawa, merasa paling benar. Sementara Alvaro berdiri tenang, bahkan tatapannya tidak terpengaruh satu pun oleh penghinaan mereka. Baginya, dua mobil itu bukan sekadar kendaraan. Dalam pikirannya, ia melihat angka, status, dan peningkatan sistem. Setiap pembelian—setiap keputusan—adalah langkah untuk memperkuat dirinya dalam menghadapi ancaman yang lebih besar dari geng Cobra, dari dunia sekolah, bahkan dari masa depannya sendiri. Ketika Calya membuka pintu ruangan untuk memanggil manajer… Badai baru dalam hidup Alvaro memang sudah menunggu. Namun kini ia tidak lagi hanya bertahan, ia mulai membangun kekuatan yang dapat mengguncang seluruh kota.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD