Di lorong sekolah yang lengang, langkah kaki Alvaro dan Dina terdengar bergetar halus, memantul di dinding-dinding tua yang dipenuhi poster tata tertib dan jadwal kegiatan. Lorong menuju ruang Kepala Sekolah selalu memiliki aura menekan; sepi, dingin, dan terasa seperti tempat di mana masa depan siswa bisa ditentukan hanya dengan satu keputusan.
Dina berjalan satu langkah di belakang kakaknya, kedua tangannya meremas tali ranselnya. Sesekali matanya menatap punggung Alvaro yang tegap, kokoh… berbeda dari yang ia ingat. “Sejak kapan kak Varo berubah seperti ini?” pikir Dina, heran sekaligus kagum.
Kakaknya dulu benci kekerasan, memilih diam daripada ribut. Tapi hari ini, sejak kejadian di lapangan tadi… ada sesuatu yang berubah darinya. Aura baru. Tatapan baru. Cara jalan yang baru.
Seolah Alvaro bukan lagi kakak yang selalu meminta maaf dan mengalah demi menghindari masalah. Kini ia berjalan dengan keyakinan — dengan wibawa yang tak pernah Dina lihat sejak kecil.
Mereka berhenti di depan pintu berlapis kayu dengan plakat emas bertuliskan Ruang Kepala Sekolah. Dina menarik napas dan mengetuk pelan.
“Permisi, Bu… saya datang bersama kakak saya untuk membicarakan soal SPP yang tertunggak,” ucap Dina sopan.
Seorang staf wanita, sekitar tiga puluh lima tahun, menoleh sambil memasang senyum kecil. Tapi itu bukan senyum ramah — lebih seperti senyum meremehkan, seperti seseorang yang menikmati posisi berkuasanya.
“Oh, Dina,” ujarnya dengan nada penuh sindiran. “Apa kamu sudah mendapatkan uangnya? Kamu tidak mencuri, kan?”
Dina langsung menunduk. Kata-kata itu menusuk seperti jarum dingin ke hatinya.
“Ibu tahu kamu dari keluarga tidak mampu dan terancam dikeluarkan,” lanjut wanita itu dengan senyum sinis, “tapi mencuri bukan solusi yang baik.”
Dina menggigit bibir, hatinya pedih namun tak tahu harus membalas apa.
Alvaro maju tanpa bicara. Satu langkah. Tegas. Suaranya tenang, tapi tajam seperti bilah.
“Saya wali Dina. Saya ingin bicara langsung dengan Kepala Sekolah.”
Staf itu mendengus. “Kau? Wali? Kau juga masih anak sekolah. Untuk apa bicara—”
Tatapan Alvaro menebas kata-katanya.
Dingin. Menekan. Tanpa suara, namun memiliki kekuatan yang membuat d**a orang lain serasa diremas.
“Lakukan saja,” ucap Alvaro datar. “Kecuali kalau Ibu ingin kehilangan pekerjaan.”
Wanita itu seketika pucat. Jantungnya seperti melonjak dua kali lipat. Entah mengapa, tatapan bocah ini membuatnya takut… sangat takut.
“Ba-baik… tunggu sebentar,” katanya buru-buru sebelum bergegas masuk.
Dina menatap kakaknya dengan tak percaya. “Apa yang terjadi dengan kak Varo…? Dia benar-benar berbeda. Seperti… bukan orang yang sama.”
Akan tetapi ada rasa bangga yang tumbuh di dadanya. Kakaknya berdiri untuknya. Tanpa ragu.
Wanita itu kembali, kini dengan sikap jauh lebih sopan. “Kepala Sekolah sudah menunggu.”
Alvaro mengangguk dan hendak masuk, namun Dina menahan lengan baju kakaknya. “Aku ikut.”
Alvaro menoleh, tersenyum kecil — senyum pertama sejak pagi. “Ini urusan orang dewasa. Tunggu di sini saja.” Ia mengusap rambut Dina dengan lembut sebelum masuk.
Dina memerah. “Dia benar-benar berubah… tapi entah kenapa aku suka versi kak Varo yang ini.”
Di Dalam Ruangan Kepala Sekolah
Ruangan itu beraroma kopi hitam dan parfum kayu cendana. Kepala Sekolah — pria gemuk berjas ketat — duduk di balik meja besar yang penuh dokumen. Ia hanya melirik sekilas pada Alvaro sebelum kembali menatap berkas, seolah Alvaro hanyalah gangguan kecil.
“Apa urusanmu sampai harus bertemu langsung denganku?” tanyanya malas.
Alvaro duduk dengan tenang. Tidak gugup. Tidak gelisah.
“Aku datang untuk melunasi tunggakan SPP adikku.”
Kepala Sekolah mengernyit. “Kalau hanya itu, kau bisa bayar di ruang staf.”
Alvaro menyilangkan kaki. “Aku tidak datang hanya untuk itu.”
Kepala Sekolah akhirnya menatapnya. “Lalu apa?”
“Aku ingin menyumbang.”
Keheningan panjang mengisi ruangan.
“…menyumbang?” ulang Kepala Sekolah, nyaris tidak percaya. “Kau?”
Alvaro hanya mengangguk.
“Berapa?” tanya Kepala Sekolah datar.
“Satu miliar rupiah.”
Kepala Sekolah terlonjak dari kursinya, wajahnya berubah seperti baru menelan batu es.
“S-satu… m-miliar?!”
Matanya naik-turun mengamati Alvaro — kaos lusuh, celana sederhana, dan sepatu yang jelas sudah dipakai bertahun-tahun. Semuanya tidak masuk akal.
“Anak seusiamu… dari keluarga seperti kalian… mana mungkin punya uang sebanyak itu?” serangnya.
Alvaro tersenyum tipis. “Menurut Bapak, aku datang kemari untuk bercanda?”
Ia membuka ponsel. Jemarinya bergerak cepat.
ting…
Notifikasi muncul di layar tablet Kepala Sekolah.
[Transfer masuk: Rp 1.000.000.000,-]
Kepala Sekolah mematung. Mulutnya terbuka, matanya membesar, napasnya tercekat.
“T-tidak mungkin… i-ini benar-benar… satu miliar?”
Alvaro berdiri perlahan, seolah tidak memedulikan kehebohan itu.
“Itu baru awal,” ucapnya dingin. “Tapi aku punya syarat.”
Kepala Sekolah menelan ludah. “S… syarat?”
“Nama adikku harus bersih. Tidak boleh ada lagi guru yang merendahkannya. Tidak ada lagi siswa yang mengganggunya. Jika itu terjadi… aku pindahkan Dina. Dan Bapak akan kehilangan lebih dari sekadar donatur.”
Kata-katanya lembut, tapi ancamannya nyata.
Kepala Sekolah langsung membungkuk — sesuatu yang tidak pernah dilakukan pada murid mana pun.
“B-baik, Tuan! Saya pastikan adik Anda dihormati!”
Alvaro hanya mengangguk, lalu berjalan keluar tanpa menoleh.
Di Luar Ruangan – Reaksi Semua Orang
Dina yang cemas langsung berdiri saat pintu terbuka.
Namun yang mengejutkan bukan Alvaro…
Melainkan Kepala Sekolah yang muncul di belakangnya — membungkuk hormat.
“Terima kasih atas kedatangannya, Tuan. Kami akan menjaga adik Anda sebaik mungkin.”
Dina membeku.
“Ka… kepala sekolah membungkuk pada kak Varo…?!”
Wanita staf tadi juga terbelalak, wajahnya pucat seperti kapur. Senyumnya tidak muncul lagi — digantikan ketakutan dan kebingungan.
Alvaro menoleh sekilas. “Ayo, Dina. Kita pulang.”
Dina mengejar cepat. Kakaknya tidak hanya berubah… ia seperti menjadi sosok yang benar-benar berbeda.
[+40 POIN]
Sebuah jendela transparan muncul di hadapan Alvaro — hanya bisa dilihat olehnya. Hologram biru itu melayang lembut.
+40 Poin Status
Alvaro tersenyum tipis.
“Poin tambahan. Bagus… aku bisa meningkatkan kekuatan lagi nanti.”
Sistem misterius itu — yang baru muncul kemarin — memberi Alvaro kekuatan yang tidak ia mengerti sepenuhnya. Namun perlahan, ia mulai memahami satu hal: poin bukan sekadar angka. Mereka adalah kekuatan, wibawa, dan… hak untuk melindungi orang-orang yang ia sayangi.
Di Gerbang Sekolah
Langit cerah, tapi atmosfer di depan gerbang justru penuh ketegangan. Suara burung sore bercampur dengan dengungan bisik siswa yang melihat keduanya keluar dari kantor Kepala Sekolah.
Beberapa mundur saat melihat Alvaro.
Beberapa berbisik, takut.
Dan beberapa… memandang dengan tidak senang.
Termasuk sekelompok siswa berbadan besar yang berdiri di dekat gerbang.
Mereka memakai seragam sama, tapi sikap mereka jauh dari kata “siswa biasa”. Mereka adalah geng Anton — kelompok paling ditakuti di sekolah.
Beberapa dari mereka berbisik sambil memperhatikan Alvaro dan Dina.
Seseorang meludah ke tanah sambil berkata pelan,
“Jadi… ini bocah yang tadi pagi bikin kacau?”
Alvaro menghentikan langkahnya.
Dina menatap kakaknya, bingung. “Kak… ada apa?”
Namun Alvaro tidak menjawab. Tatapannya mengarah ke kelompok itu.
“Bagus,” gumam Alvaro dalam hati. “Sepertinya babak berikutnya akan dimulai.”