Bab 3. Di Ujung Kesabaran

1077 Words
“Duh, Mila. Mending lo cer ein aja tu si Akmal. Kebangetan banget dia muk ulin lo sampai bo n yok begini, Ya Allah.” Teman sekaligus tetangga Jamila yaitu Yani mengomel sekalian menekan lembut dengan kain pinggangnya pada lu ka-luk a leba m yang didapatkan Jamila dari hasil bog em mentah Akmal satu jam yang lalu. Yani datang tergopoh-gopoh, masuk menolong Jamila yang hampir ben gep diha jar. Jamila hanya bisa meringkuk kebingungan dan kesakitan di sudut dekat pintu kamar. Sedangkan Akmal pergi mengambil uang istrinya begitu saja. “Yan, tolong ambilin minum.” Aku meminta sekalian memelas. Yani sontak mengangguk. “Bentar.” Mata Jamila mengekori sejenak Yani yang bergegas ke dapur mengambil segelas air untuknya. Ia datang lagi tak lama dengan segelas air putih. “Ini, minum dulu.” Yani memberikan Jamila air dan membantunya minum. Aku mengangguk setelah beberapa teguk air melonggarkan tenggorokan. Yani kemudian membantunya berdiri dan memapah Jamila ke tempat salah satu bangku kayu yang menjadi kursi tamu. Rasanya tubuhnya seperti rem uk. Padahal hal ini sudah berkali-kali terjadi, tetap saja seperti pertama kali. Yani masih memelas kasihan melihat pada sahabatnya itu. Hanya dia teman yang Jamila punya sejak dibawa tinggal di kampung itu. Jadi Yani mengetahui nyaris semua masalah Jamila dan suaminya, Akmal. Apa lagi mereka juga tetangga. Yani mendengus kesal dari tadi dan Jamila hanya bisa menundukkan wajah setelah meminta bantuannya untuk yang ke sekian kalinya. “Kenapa dia muk ulin lu?” tanya Yani kali ini dengan nada lebih rendah dan lembut. Jamila menoleh lalu menunduk. “Dia minta uang buat modal kerja, Yan.” Jamila menjawab dengan suara kecil nyaris berbisik. Suara Jamila tidak meninggi dan hanya akan hilang ditelan kenyataan pahit. Kedua bahu Yani turun dan ia mendengkus kesal. Jamila hanya bisa diam saja seolah malu tak berani mengangkat wajah padanya. Dia tahu Yani pasti kesal padanya. “Tu orang bener-bener kebangetan. Terus uang lo diambil?” seru Yani kini lebih memekik. Lebih tinggi. Jamila mengangguk pelan dan tidak bersuara lagi. Ia hanya bisa menatap nanar tak sanggup lagi menangisi nasib yang tidak pernah bahagia. Dari kecil, ia sudah menderita ditinggalkan orang tua, lalu tinggal di rumah Bibi yang hanya menganggapnya sebagai beban sampai Jamila dititipkan di Pesantren tanpa pernah dijenguk. Sekarang setelah menikah pun, penderitaan seolah tidak mau lepas darinya. Di usianya yang masih 20 tahun, Jamila seperti sudah tua renta dan lelah memikul beban hidup. “Mil, lo harus berani ngomong sama Pak Min atau istrinya. Mereka kan mertua lu, harusnya mereka bisa bilangin sama anaknya. Gini amat jadi istri!” Yani kembali mengomel sekaligus miris melihat nasib Jamila. Aku bisa merasakan suaranya yang bergetar. Saat aku menoleh, matanya berkaca-kaca. Yani pasti merasakan penderitaan yang dialami sahabatnya selama ini. Seperti anak kucing yang tersiram air, Jamila hanya bisa mengigil sendirian sampai seka rat. Jamila hanya bisa menyunggingkan senyuman pahit lalu menggeleng. “Ibu bilang, aku harus bisa ngambil hatinya Bang Akmal. Dia bilang, aku harus sabar,” jawabnya dengan nada pasrah. Yani langsung mencebik kesal. Ia mengernyit sekaligus membuang muka ke samping. “Sabar ... mau sampai kapan sabar terus? Lo gak bilang dia main cewek di luar sana?” Yani seperti sedang mengomeli Jamila yang tidak bersalah. Tapi dia tahu jika sesungguhnya Yani kesal karena Jamila hanya diam saja. Jamila menoleh pada Yani lagi. Dulu Jamila tak percaya kata-kata Yani yang mengatakan jika Akmal punya selingkuhan seorang LC dan biduan dangdut. Ternyata hari ini Jamila mendengar sendiri saat Akmal keceplosan menyebut nama Mona. Jamila hanya bisa menunduk lagi lalu menyeka air mataku. “Gak apa-apa, Yan. Suatu saat Bang Akmal pasti tobat kok.” Jamila berujar seolah tahu masa depan. Padahal dalam hati, dia tahu jika suaminya tidak akan pernah berubah. Semakin hari, Akmal semakin membenci Jamila. Entah apa yang sudah dia lakukan membuatnya jadi mu ak tiap kali pulang dan bertemu istrinya. Di sebelahnya, Yani hanya bisa meringis lalu menggeleng mendengar bantahan itu sekali lagi. Jamila tahu jika Yani jenggah pada sikapnya, tapi ia tidak punya jalan keluar lain. memangnya Jamila mau ke mana jika meninggalkan Akmal? Ia tidak punya keluarga dan tidak mungkin pulang ke rumah bibinya lagi. Lagi pula Jamila tidak tahu dia tinggal di mana. Praktis hanya di sinilah rumahnya. “Terserah lo aja. Gue cuma gak mau lo celaka. Apa lagi kalo dia malah nikah lagi, mending lo pikirin diri lo sendiri, Jamila.” Yani menekankan lagi kata-katanya. Batin Jamila meringis pedih mendengar itu. Jika mengingat nama Mona, si biduan dangdut, Jamila hanya bisa menyusut seperti tisu terkena air. Seperti biasa, tanggapannya pada Yani hanya tersenyum getir. Jamila tidak mungkin membantah perkataannya. “Makasih uda bantuin aku, Yan. Tapi aku gak bisa pergi dari rumah ini. Aku mau ke mana lagi, aku gak punya keluarga,” jawab Jamila dengan perasaan malu serta getir bercampur. Dia menunduk lagi mendengar sekilas dengus napas kesal Yani. Yani kesal sekaligus kasihan pada Jamila. Mau menolong tapi bingung harus seperti apa. “Saran gue mending lu simpen uang buat nyari kos-kosan. Nanti kalo uang lo uda cukup, lo tinggal pergi dari sini. Ngapain sih ngurusin si Akmal? Biar saja dia hidup sendiri dan nyusahin orang tuanya.” Yani kembali mengomel. Yani sudah memberikan Jamila ide untuk meninggalkan Akmal dari dulu. Ia terus memperingatkan jika kekej aman Akmal yang tiada habisnya. Akmal terus membuat Jamila menderita dan dia suka main tangan. Ujung bibir Jamila sedikit terangkat lalu menunduk tanpa mengangkat kepala. Sangat sulit untuknya lepas dari pernikahan yang menyiksa ini. Jamila saja kadang bingung mengapa masih bertahan. Rasanya seperti bodoh tapi aku terus menjalaninya. Mungkin Yani benar jika aku memang tidak punya prinsip. Setelah lepas membantu Jamila sebisanya, Yani pun pamit pulang. ia berjalan keluar tanpa diantar sampai ke depan pintu. Rumahnya hanya berselang tak sampai lima meter dari halaman rumah Jamila yang sederhana. Sebelum pulang, Yani terus meyakinkan Jamila agar dia berteriak minta tolong saat Akmal melakukan kekera san lagi nanti. “Lu harus berani melawan, Mil. Jangan pasrah saja dipukulin ama si Akmal kayak gini!” Jamila hanya mengangguk saja. Ia pun tidak mau memperpanjang debat dengan Yani. Jamila lantas mengambil gelas yang tadi ia minum lalu kembali ke dapur. Dengan punggung berat, Jamila duduk di kursi seperti kehilangan tenaga. Pandangannya perlahan menoleh ke kiri melihat cucian yang tadi ia tinggalkan karena Akmal datang. Sesaat ia menoleh dan menatap cucian itu tergeletak di lantai. Air matanya perlahan jatuh begitu saja. “Apa kuhentikan saja? Aku sudah gak kuat, ya Allah.” Jamila menyebut dalam hati. entah sampai kapan penderitaan ini akan berakhir.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD