Bab 2. Tak Diinginkan

1133 Words
“Mila, lama banget sih lu! Lelet kayak kura-kura!” Suara Akmal terdengar sampai ke belakang membuat Jamila tersentak. Buru-buru ia menuangkan air panas ke dalam gelas berisi kopi sampai sedikit terpercik ke jari tapi Jamila tak peduli. “Ahk.” Jamila meringis perih dan langsung mengisap sesaat jemarinya yang terkena air panas sebelum mengambil sendok dan mengaduk kopinya. Ia hanya bisa meringis menahan perih. Tidak seberapa rasa sakitnya dibandingkan jika Akmal mengamuk dan malah memukulinya nanti. “Mila!” suara Akmal makin nyaring. “Iya, Bang, Iya ....” Ia menyahut dengan sontak kaget karena suaranya yang bergemuruh sampai ke belakang. Kalau Akmal marah, bisa kacau. Jamila harus cepat memberikan kopinya. Usai mengelap tangan ke daster, Jamila membawa kopi yang yang ia buat dalam gelas kecil bening berlapis piring kecil plastik agar tidak panas. “Lama banget sih lu? Ngapain saja sih di dalam!” bentak Akmal begitu kepala Jamila nongol di balik pintu. “Maaf, Bang. Tadi masak air dulu,” ucapnya seraya menunduk meletakkan gelas kopi. Jamila hanya bisa menyembunyikan wajah karena suaminya itu bahkan tak sudi melihat wajahnya. Akmal masih mendelik keras pada Jamila dan menegurnya lagi saat melihat hanya ada satu gelas yang dibawa. “Kok satu? Lu gak liat gue sama siapa?” Akmal kembali membentak. Jamila tersentak dan sedikit menoleh dan dua orang teman Akmal menyengir kuda pada. “Cepetan bikin!” hardik Akmal lagi membuat Jamila terkesiap sekali lagi. Jamila mengangguk cepat. Layaknya pembantu, Akmal sudah biasa memben tak di depan teman-temannya. Tak ayal, teman-teman nongkrongnya juga kadang mengolok atau menertawai Jamila seolah dia adalah badut. “Bini lo belum mandi ya? Jorok amat.” Somat menyeletuk bahkan sebelum Jamila benar-benar masuk ke dalam. Terang saja cemo ohan mereka langsung terdengar oleh Jamila. “Tau tuh, uda mandi aja masih jelek begitu. Ampun deh gue.” Akmal malah menimpali dengan gerutuan. Jamila hanya bisa memejamkan mata mendengarkan segala hin aan. Orang bilang dia beruntung bisa menikah dengan Akmal. Di kampungnya, dia anak juragan pukat. Sekarang, Jamila harus tinggal di salah satu kampung yang cukup dekat dengan pantai setelah menikah dengan Akmal. Sesungguhnya dia tidak punya kampung halaman. Baginya, inilah kampungnya sekarang. Sebagian besar masyarakat di sana dulunya adalah nelayan dan pemancing. Lalu mereka beralih ke pukat, kapal yang lebih besar. Sampai akhirnya, beberapa dari mereka yang bersekolah di kota akhirnya memilih untuk bekerja di sana dari pada kembali pulang. Dulunya Jamila hanya seorang anak yatim piatu. Ia dititipkan oleh bibinya yang tidak mau mengurusnya ke pesantren. Di Pesantren ia juga bersekolah di SMK, setelah tamat seorang juragan ikan datang melamar untuk anak laki-lakinya yaitu Akmal. Jamila yang pendiam hanya menurut apa kata Nyai Fatimah saat menyerahkannya untuk dinikahi oleh Akmal. Tanpa mengenal, ia menikah atas dasar perjodohan. Sekalipun dia anak juragan pukat, Akmal tidak mau bekerja. Akmal lebih senang meminta uang pada orang tuanya, Pak Min untuk hidupnya. Sedangkan Jamila? Dia harus mencari uang sendiri. Akmal tidak mau membeli beras apa lagi memenuhi kebutuhan Jamila. Yang dilakukannya adalah belajar menjalin jaring untuk nelayan. Dari sana, Jamila memperoleh sedikit uang untuk membeli kebutuhan hidup. Jari jemarinya sudah sering tergores dan terluka karena jaring, sehingga ujung-ujungnya menjadi kasar serta mengkerut. Tapi demi sesuap nasi dan bertahan hidup, Jamila harus melakukannya. Pernah suatu malam Akmal pulang dalam keadaan mab uk. Jamila tetap bangun, menyambutnya dan membawakan air hangat. “Abang uda makan?” tanya Jamila dengan perasaan sayang. Akmal malah balik menatap dengan mata mer ah, lalu menjatuhkan tubuhnya di kursi kayu. “Lo pikir gue bisa makan masakan lo itu? tol ol banget!” Jamila langsung terdiam. Akmal tidak akan berhenti mengu mpat jika dia sedang marah. “Gue mu ak liat lo, Mil. Setiap hari lo cuma di rumah. Lus uh, jo rok, kayak tuk ang cu ci! Apa sih kerjaan lo?” bentaknya lagi sambil ma buk. Jamila sudah biasa mendengar kalimat kasar dan menyakitkan darinya. Dengan sabar, ia mendekat dan hendak membawanya ke kamar. Tapi Akmal menepis tangannya dengan kasar. “Ah, minggir lo!” “A-Abang istirahat dulu saja.” Tanpa disangka, tangannya dengan cepat meng ay un ke pipik Jamila. Suaranya nyaring. Sakitnya menjalar hingga ke ubun-ubun. Jamila tidak menangis, ia hanya diam memegang sebelah pipinya. “Gak usah pegang-pegang. Gua bisa jalan sendiri!” Jamila pun hanya diam membiarkan Akmal terhuyung sendiri masuk ke dalam kamar. Jika sudah seperti itu, ia tidak berani masuk kamar dan tidur di sana. Jika tidak, Akmal akan menyakitinya lagi. Keesokan harinya, Akmal bangun siang seperti biasa. Bukannya membersihkan tubuhnya yang bau minu man semalam, ia malah mencari Mona. “Mana Mona?” tanyanya pada Jamila sambil menggaruk kepala. Saat itu, Jamila yang sedang mencuci pakaian jadi bingung. Mona yang mana? “Mona?” “Ah, lo lagi!” rutuknya begitu sadar melihat wajahku. Akmal kembali masuk ke dalam dan meninggalkannya kebingungan. Jamila lalu mengekorinya di belakang. “Siapa Mona, Bang? Abang nyaris siapa?” Jamila bertanya dengan hati curiga. Selentingan kabar dari tetangga jika Akmal punya pacar di luaran sana, sudah sampai ke telinga Jamila. “Bukan urusan lo.” Akmal menjawab dengan ketus seperti biasa. “Mona siapa, Bang?” tanya Jamila lagi belum menyerah. Sepertinya Jamila tidak kapok mencari masalah dengan Akmal. Masalahnya, ia tidak rela jika Akmal punya pacar di luar. Biar bagaimana pun mereka sudah menikah. “Diem lo!” Akmal berbalik dan menghardik Jamila. Jamila pun berhenti di belakangnya melihat dia menunjuk wajahnya. “Itu bukan urusan lo!” dia menekan lagi dengan suaranya yang tinggi. Rasanya Jamila ingin menangis, ia sudah tidak tahan lagi. “Bang .... Abang bener punya pacar namanya Mona? Bang ... ahk!” Akmal dengan cepat menam par Jamila. Akhirnya ia hanya bisa diam menunduk, menahan isak pada perlakuan kasar Akmal yang tidak kunjung mereda. “Heh, jangan ikut campur urusan gue! Gue mau pacaran sama siapa, itu bukan hak lo ngelarang-larang, paham?” bentaknya dengan suara tinggi. Tidak bisa berbuat apa pun. Ia hanya menahan isak sambil perlahan menaikkan kepala. Akmal lantas masuk ke kamar dan mulai membongkar lemari. Ia seperti mencari sesuatu. Jamila sadar sesuatu. Dengan mata terbelalak, Jamila buru-buru masuk kamar. Benar saja, dia akan mengambil uang simpanan terakhir Jamila. “Bang, Abang mau cari apa?” tanya Jamila masih dengan air mata bergantung di pelupuk mata. “Bawa sini uang lo, gue butuh buat modal kerja hari ini!” Akmal menarik beberapa pakaian yang terlipat rapi dan menghamburkannya di lantai. “Bang, jangan, Bang!” Jamila memohon mencoba menghentikannya. Sayangnya, ia menemukan lipatan uang 300 ribu di balik salah satu lipatan baju. Akmal berbalik dengan wajah garang, mengacungkan uang itu di depan Jamila. “Hhm, uda berani nyimpen duit banyak lo di sini ya? Nyol ong dari mana lo, heh!” “Akkh, itu uang Mila, Bang. Itu buat beli beras ... akh!” Akmal tidak mau mendengar dan langsung memukul.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD