"Nih, Pan, anakmu." Kalimat itu meluncur cepat dari mulut Fasha dengan nada setengah kesal, setengah lega, sambil membuka pintu mobilnya. Ia menunjuk ke kursi belakang, tempat Aziel duduk dengan wajah kusut seperti roti tawar basi yang kelamaan di kulkas. Remaja itu ogah-ogahan turun dari mobil, lengkap dengan hoodie ditarik sampai menutup separuh wajah dan tangan dimasukkan dalam kantong celana seolah dunia telah berkonspirasi untuk mengacaukannya. Mobil baru saja berhenti di depan rumah mereka yang megah namun terasa hangat. Pandu, yang sejak tadi berdiri santai di ambang pintu dengan lengan bersilang, hanya terkekeh saat melihat wajah anak tengilnya muncul. Senyumnya perlahan melebar, bukan karena pemandangan Aziel yang sedang dalam mode remaja merajuk, tapi karena rasa rindu yang sel

