Di sebuah ruangan yang remang dan tertutup rapat oleh tirai tebal warna kelabu tua, layar televisi masih menyala meski suara beritanya nyaris tak terdengar. Di layar itu, cuplikan pelantikan Gubernur Jakarta yang baru, Pandu Mahardika, terus diputar ulang dalam tayangan khusus recap akhir pekan. Potongan-potongan visual memperlihatkan sorak sorai massa, para pejabat yang berdiri memberi tepuk tangan, dan Pandu yang melambaikan tangan dengan penuh wibawa, didampingi istrinya, Fasha Adhiyaksa.
Seseorang duduk di depan televisi itu. Pria paruh baya, berusia sekitar akhir enam puluhan. Wajahnya tajam, rahangnya tegas, dengan rambut memutih di pelipis namun sisanya masih hitam legam, disisir rapi ke belakang. Ia mengenakan kemeja putih dengan dasi gelap yang sudah longgar, dan jasnya tersampir di sandaran kursi kulit mahal yang kini didudukinya.
Tangannya memegang segelas minuman berwarna amber—entah teh, entah sesuatu yang lebih kuat. Di sisi lain tangan kirinya, ia memegang ponsel yang menempel erat di telinganya. Suaranya terdengar pelan, namun tegas, nyaris seperti bisikan.
"Aku tonton ulang berkali-kali," katanya di telepon. "Dan setiap kali, aku makin yakin—Pandu bukan sekadar menang. Dia memukul telak. Dengan gaya. Dengan cara yang membuatnya dicintai publik."
Hening sesaat, lalu suara dari seberang telepon terdengar pelan tapi cukup jelas: “Dia memang menang telak. Tapi itu kan cuma gubernur Jakarta.”
Pria itu menyipitkan mata. "Gubernur Jakarta bukan sekadar gubernur biasa. Kau tahu sejarahnya. Dari kursi itu, orang bisa melihat Istana. Dari balkon rumah dinas, kau bisa membayangkan prosesi pelantikan presiden."
Ia berdiri, berjalan perlahan ke jendela, lalu menarik sedikit tirai. Di luar, lampu-lampu kota berkerlap-kerlip di kejauhan. Hening, tapi penuh detak ambisi.
"Keponakan kita sudah habis langkah. Kalah telak. Bukan hanya karena Pandu lebih siap, tapi karena dia lebih... disukai. Citra bersih. Rakyat Jakarta suka figur ayah. Mereka butuh harapan. Dan Pandu memberikannya. Dia punya paket lengkap: rekam jejak, keluarga, dan satu hal yang sulit dilawan—wajah publik yang bisa dipercaya."
Suara di telepon terdengar sedikit cemas, “Apa kamu pikir dia bisa sampai ke... sana?”
"Kalau tidak dijegal, iya." Suara pria itu kini lebih berat. "Lihat rekam jejaknya. Dua periode wali kota sukses. Dua kali jadi anggota DPR. Sekarang gubernur. Satu-dua tahun lagi, dia bisa menguasai panggung nasional. Partainya mungkin akan mencalonkan dia sebagai calon presiden berikutnya. Dan dengan koneksi istrinya di dunia bisnis, media, bahkan desain interior yang menyentuh kalangan elit—Pandu punya jaringan yang luas."
Ia menghela napas, lalu mengangkat gelasnya. Cairan di dalamnya bergetar karena genggamannya sedikit mengencang.
"Dan jangan lupa, istrinya itu anak dari Adhiyaksa. Konglomerat tua itu masih punya pengaruh diam-diam di beberapa sektor. Terutama properti dan perbankan. Jika Adhiyaksa mulai main di belakang Pandu... maka kita bicara tentang aliansi kekuatan lama dan baru."
Lalu ia tertawa pendek—bukan tawa bahagia, tapi tawa sinis yang menahan keresahan.
"Aku tidak percaya pada keberuntungan. Pandu ini bukan tokoh boneka. Dia tahu apa yang dia lakukan. Wajahnya mungkin ramah, tapi matanya tajam. Setiap langkahnya terencana. Bahkan ketika dia kalah beberapa tahun lalu, dia diam. Tapi dia tidak berhenti. Dia menyusun ulang peta kekuatannya. Dan lihat sekarang."
Suara di seberang menjadi panik, “Lalu, apa yang harus kita lakukan?”
"Belum saatnya bergerak. Tapi kita harus awasi dia. Siapkan orang-orang kita. Cari celah. Jika kita bisa dapat satu skandal kecil—cukup kecil untuk mengguncang reputasinya tapi tidak menghancurkannya seketika—kita bisa gunakan itu nanti. Kalau dia tetap melaju, kita... akan cari cara untuk menjatuhkannya di tengah jalan. Dengan cara apapun."
Ia menutup telepon perlahan, lalu kembali duduk, menatap layar televisi. Pandu tersenyum lebar di sana. Kamera menyorotnya sedang memeluk istrinya dan menyapa Aziel, anak semata wayangnya, di depan wartawan.
Tatapan pria itu menjadi dingin.
"Senang bertemu denganmu kembali, Pandu," gumamnya, seperti berbicara langsung ke layar. "Tapi kali ini... aku tidak akan membiarkanmu melangkah sejauh itu."
Dan dalam bayang remang ruangan, pria itu menyalakan satu batang cerutu. Asap putih mulai memenuhi ruang kecil itu, menyelimuti wajahnya yang setengah tertutup oleh bayangan.
***
Mobil dinas berpelat hitam meluncur mulus di sepanjang jalan tol menuju arah selatan, menembus kabut tipis yang mulai turun menjelang senja. Di dalamnya, Pandu Mahardika duduk dengan sikap tenang namun matanya tajam menatap layar ponsel di tangannya. Jemarinya bergerak perlahan, membuka ulang pesan suara yang baru saja dikirim oleh Farrel—kepala unit intelijen pribadi keluarga Adhiyaksa, sekaligus sepupu dari istrinya, Fasha.
"Saran aku, Bang... ganti semua staf pengawal yang ditugaskan untuk menjaga abang itu, atau abang bawa dua dari intel kita. Biar mereka jaga abang dan keluarga dari dekat. Diam-diam. Tanpa diketahui siapa pun."
Nada Farrel terdengar serius, sedikit mendesak, dan tidak seperti biasanya. Pandu sudah terbiasa menerima laporan, pengawasan berkala, bahkan informasi-informasi sensitif sejak ia masih menjabat sebagai anggota DPR. Tapi kali ini berbeda. Ini tentang rumahnya sendiri. Tentang lukisan tua yang secara misterius jatuh di rumah dinas gubernur Jakarta—sebuah lukisan kuno yang menurut riwayat disimpan turun-temurun sejak masa kolonial.
Beberapa jam sebelumnya, ia menerima laporan awal dari tim Farrel bahwa mereka mendapati anomali elektromagnetik pada bingkai belakang lukisan tersebut. Setelah dibongkar secara hati-hati oleh teknisi yang dipercaya, ditemukan sebuah chip kecil, hampir seukuran kancing jas, tersembunyi di balik lapisan kayu tua yang sudah keropos sebagian.
“Mikrochip. Kemungkinan besar alat penyadap atau pelacak. Belum tahu jenisnya, kami sedang identifikasi,” begitu laporan singkat yang ia terima.
Pandu mendesah panjang, memandang ke luar jendela. Lampu-lampu jalan berganti bagai kilatan bintang, sementara pikirannya berkelana ke segala arah. Rumah dinas itu seharusnya menjadi tempat paling aman. Tapi jika benar ada alat sadap di dalamnya—di balik lukisan yang mungkin sudah tergantung sejak gubernur sebelumnya—itu berarti dia dan keluarganya sudah diawasi sejak awal.
Dan lebih buruk lagi, bisa jadi, seseorang telah memanfaatkan kediaman resminya sebagai jebakan berdinding batu dan kamera tersembunyi.
Teleponnya berdering pelan. Ia melihat layar, lalu tersenyum tipis. “Ayah Fadli.” Nama itu muncul dalam huruf kapital.
Ia mengangkat. “Assalamu’alaikum, Yah.”
“Wa’alaikumussalam, Pandu,” suara di ujung sana terdengar dalam dan berat, suara seorang pria tua dengan aura karismatik yang masih kuat. “Kapan kamu sempat, mampir ke rumah, ya. Ayah mau ngobrol... soal beberapa hal.”
Nada suaranya tidak tergesa-gesa, tidak memaksa, tapi Pandu bisa membaca sinyal di baliknya. Ayah mertuanya, Fadli Adhiyaksa, bukan orang biasa. Bukan hanya pemilik salah satu grup bisnis properti dan tekstil terbesar di Asia Tenggara, tapi juga sosok di balik layar yang tahu terlalu banyak. Jika ia menelepon sendiri dan memintanya datang secara langsung, itu berarti ada sesuatu yang sangat penting. Sesuatu yang tidak pantas dibicarakan lewat telepon.
Pandu menanggapi cepat. “Insya Allah besok pagi saya mampir, Yah. Sekarang saya masih di perjalanan ke Bogor. Ada janji dengan Kepala Balai Konservasi.”
“Bagus. Tapi jangan tunda-tunda. Ayah nggak enak hati. Ada sinyal-sinyal yang... bikin Ayah nggak tenang,” ujar Fadli, lalu menutup panggilan dengan kalimat pendek yang mengandung makna panjang. “Bawa Farrel kalau perlu.”
Pandu terdiam sejenak setelah panggilan berakhir, lalu menyandarkan tubuhnya. Dalam benaknya, ia mengaitkan semuanya—lukisan tua, mikrochip, sinyal yang ditangkap intel, peringatan dari Fadli, dan saran Farrel untuk mengganti seluruh staf pengawal. Semuanya terasa seperti kepingan puzzle yang perlahan membentuk gambaran besar: seseorang sedang bermain dalam bayang-bayang, dan mereka menyusup ke wilayah paling pribadi dalam hidupnya.
Ia mengaktifkan mode rahasia di ponselnya, lalu mengetik satu instruksi singkat untuk Farrel:
“Kirim dua orang terbaikmu malam ini. Pastikan Fasha dan Aziel tetap dalam radar.”
Mobil terus melaju melewati rest area, menyisakan keheningan yang dipenuhi oleh kecemasan tak bernama. Di luar sana, langit mulai gelap, dan dalam kegelapan itu… mata-mata lain mungkin sedang mengawasi balik.
***