Bayangan Ketiga

1280 Words
Aziel berlari menuruni undakan batu menuju halaman belakang rumah besar buyutnya. Kakinya menghantam rerumputan basah, melewati jalur kecil yang diapit tanaman kamboja dan perdu tua. Suara gemericik air kolam renang mulai terdengar lebih jelas, bercampur dengan desir angin dan teriakan burung-burung sore yang kembali ke sarangnya. Langkahnya terhenti tepat di balik semak tinggi yang memisahkan halaman utama dengan area kolam. Di sana, kolam renang tua milik Opa Adhiyaksa terhampar luas seperti cermin biru kehijauan, dikelilingi kursi rotan dan payung besar. Airnya tampak tenang, nyaris tak bergelombang. Namun pandangan Aziel langsung terpaku pada sosok di dalam kolam. Seseorang... seorang perempuan... sedang mengapung secara vertikal, tubuhnya tenggelam hampir seluruhnya, hanya helai-helai rambut panjangnya yang melayang-layang di permukaan. "Lara?" gumam Aziel, napasnya tercekat. Detik berikutnya ia melompat ke dalam kolam tanpa pikir panjang. Air dingin menerpa tubuhnya, dan dalam beberapa gerakan kuat, ia berenang mendekati sosok itu-yang ternyata memang Lara. Aziel menyelam, menarik lengan sepupunya itu dengan panik ke arah permukaan. "Lara! Hey, Lara, bangun! Jangan bercanda!" serunya, basah kuyup dan megap-megap. Namun alih-alih lemas atau terkejut, Lara malah muncul ke permukaan dengan ekspresi marah, wajahnya memerah karena campuran emosi dan kehabisan napas. "Aziel!!" bentaknya, setengah berteriak. "Ngapain sih elo narik gue?! Aku lagi latihan!" Aziel mengerutkan kening, masih mencengkeram lengan Lara. "Latihan? Lo hampir tenggelam! Gue kira elo... ya ampun, Lara, elo nggak gerak sama sekali!" Lara mendorong Aziel pelan dan berenang ke tepi kolam. Ia naik perlahan sambil mengibaskan air dari rambutnya yang basah, lalu duduk di pinggiran, membenahi napas. Aziel mengikutinya, masih tampak bingung dan khawatir. "Gue lagi praktik dari buku yang gue baca," ujar Lara setelah akhirnya bisa bicara. "Apa?" "Latihan tahan napas. Menyelam statis. Ini teknik freediving. Gue baca di bukunya Hanli Prinsloo, penyelam asal Afrika Selatan. Katanya bisa memperkuat paru-paru dan fokus mental. Gue baru nyampe dua menit lebih, tahu nggak? Dan elo malah ngerusak semuanya!" Aziel membelalak. "Elo... elo sengaja? Elo diem kayak gitu karena latihan?" "Iya, lah!" Lara menatapnya kesal. "Bukan berarti kalau ada cewek diem di air terus elo panik dan langsung jadi pahlawan." Aziel mengusap wajahnya dengan dua tangan, setengah kesal, setengah lega. "Gue kira elo tenggelam, sumpah. Gue hampir jantungan." Lara meliriknya, matanya sedikit melunak. Ia bisa melihat ketulusan di wajah Aziel. "Ya... makasih sih udah peduli," katanya pelan, meski nadanya masih agak gengsi. "Tapi lain kali... tanyain dulu, jangan langsung nyemplung." Aziel duduk di sebelahnya, baju seragam rumahnya kini berat karena basah. Mereka diam sejenak, hanya suara air menetes dari tubuh mereka dan angin sore yang meniup daun-daun tinggi. "Elo serius pengen bisa freediving?" tanya Aziel setelah beberapa saat. "Iya. Gur pengen belajar kontrol tubuhku. Pikiran juga. Kayaknya keren aja bisa menyatu sama air. Tenang, senyap. Kayak... bebas." Aziel mengangguk, menatap permukaan kolam yang kini beriak pelan karena mereka berdua. "Tapi elo bisa bikin gue panik banget, tahu nggak." "Ya, elo juga bisa bikin gue gagal latihan banget, tahu nggak." Lara membalas dengan nada menyindir. Mereka saling melirik, dan akhirnya tertawa kecil. Tegangan perlahan mencair, digantikan oleh kehangatan aneh yang muncul tanpa mereka sadari. Namun saat tawa mereka reda, mata Lara sempat melirik ke arah ujung kolam, di bawah kursi rotan kosong di tepi barat. "Elo tahu nggak," katanya pelan. "Dulu katanya ada anak kecil yang tenggelam di kolam ini, waktu belum direnovasi. Katanya arwahnya suka iseng bikin orang gagal latihan renang." Aziel menoleh cepat. "Serius?" Lara hanya mengangkat bahu sambil menyeka air dari pipinya. "Nggak tahu juga. Tapi tadi pas gue di bawah air, gue sempat ngerasa ada yang... nunggu." Aziel tertawa-tetapi tawa itu terdengar agak gugup. Tawa yang seharusnya terlepas bebas dan riang justru terperangkap di tenggorokan, seolah ia mencoba menutupi perasaan aneh yang mulai merayapi dirinya. Ada rasa cemas yang mengendap, sesuatu yang tak bisa ia jelaskan, sesuatu yang membuat perasaan di dalam dadanya terasa lebih berat dari biasanya. Tapi ia berusaha mengabaikannya. Lalu, dengan lincah ia berbalik ke Lara yang kini tampak sedikit lebih rileks, meskipun ekspresinya masih penuh dengan keseriusan. Bagaimanapun juga, Lara itu selalu terlihat seperti itu-penuh teka-teki, tenang di luar, tapi siapa yang tahu apa yang dia pikirkan di dalam? Aziel merasakan hal itu, dan seringkali, hal itulah yang membuatnya merasa tertarik sekaligus sedikit terintimidasi oleh sepupunya yang satu ini. Namun, meskipun begitu, ada saat-saat tertentu di mana Lara tampak begitu... manusiawi, begitu ringan. Mereka punya chemistry yang tak bisa dijelaskan, meski kadang Aziel merasa bingung sendiri dengan perasaan yang muncul ketika mereka bersama. Dalam diam, dia sering merenung, apakah dirinya menyukai Lara lebih dari sekadar sepupu? Atau apakah ini hanya perasaan kesal yang sering muncul karena sifat Lara yang sulit ditebak? Tapi sekarang, tawa yang gugup itu mulai terhenti. Saat Aziel menoleh ke arah kolam, matanya menangkap sesuatu yang membuat napasnya tercekat. Sebuah bayangan. Bayangan ketiga. Tepat di permukaan air, di balik riak air yang bergoyang-goyang kecil akibat gerakan mereka, bayangan mereka berdua terpantul dengan jelas. Aziel dan Lara, posisi mereka saling berdampingan, terpantul di air dengan sempurna. Namun, ada sesuatu yang aneh. Ada bayangan ketiga. Bayangan yang tidak seharusnya ada. Bayangan itu berdiri diam, tak bergerak, menghadap ke arah mereka. Bayangan itu tampak lebih kabur, lebih gelap daripada refleksi mereka, dan anehnya, posisi bayangan ketiga itu sedikit lebih tinggi. Seperti seseorang yang berdiri tepat di belakang mereka-padahal jelas mereka berdua berada sendirian di kolam. Aziel mengernyitkan dahi, merasa jantungnya berdetak lebih kencang. "Jangan bercanda! Lo bukan Lara!" serunya dengan suara sedikit lebih keras dari yang ia inginkan, mencoba untuk mengusir rasa takut yang mulai merayap. Lara yang tadinya santai menatap Aziel, kini ikut menoleh ke arah kolam, dan ekspresinya langsung berubah. Dia menatap cermin air itu, wajahnya tiba-tiba terlihat serius, seolah ia baru menyadari ada sesuatu yang berbeda. "Apa lo... apa yang lo lihat?" tanya Lara, suara dan nadanya tiba-tiba berbeda. Ia menajamkan pandangannya ke air, seolah mencari sesuatu yang tidak biasa, meskipun tak ada yang jelas terlihat. Bayangan itu sudah hilang, tak lagi tampak di permukaan air yang kini kembali tenang. Sebuah kilatan rasa takut melintas di matanya, dan Lara menyikut Aziel sedikit, dengan nada yang sedikit lebih keras dari sebelumnya. "Lo bercanda kan? Lo nggak bisa ngerasa kayak gitu, Aziel." Tapi Aziel tetap diam, matanya tak lepas dari permukaan kolam yang kini terlihat begitu tenang. Namun perasaan yang ia rasakan tidaklah tenang. Jantungnya masih berdetak cepat, dan tubuhnya terasa kaku. Lara mengalihkan pandangannya dari Aziel dan melirik ke sekeliling. "Elo serius ya? Nggak ada apa-apa di sini." Aziel menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. "Gue nggak tahu. Tadi ada... ada bayangan, Ra. Di air. Seperti orang berdiri di belakang kita." Lara terdiam. Wajahnya sempat memucat, namun segera ia rapikan ekspresinya. "Mungkin cuma bayangan lo, Ziel. Lo kan kadang suka khawatir berlebihan. Jangan terlalu dipikirin." Namun, ada ragu di matanya. Ada sesuatu yang tidak bisa Lara hilangkan begitu saja. Dia tahu, meskipun dirinya sering terlihat dingin dan rasional, ada satu bagian dirinya yang tak bisa mengabaikan rasa cemas yang melintas dalam dirinya setiap kali sesuatu yang aneh terjadi di sekitar mereka. Aziel menatap Lara, merasa sedikit ragu. Tapi dia tidak ingin terlalu banyak bicara soal ini. Mereka berdua memang sering terjebak dalam suasana bercanda, seperti ini. Lara seringkali bisa membuatnya merasa lebih ringan, seolah ia bisa menertawakan apa saja. Tapi ada kalanya, dia merasa, keanehan-keanehan itu tidak bisa sekadar ditertawakan begitu saja. "Gue cuma... ngerasa ada yang aneh," Aziel akhirnya menjawab, lebih pelan. "Lo nggak merasain apa-apa?" Lara diam sejenak. Matanya masih tertuju pada permukaan air yang tenang. Namun, entah kenapa, tatapannya sekarang seakan menyiratkan pemikiran yang lebih dalam. "Lo tahu kan... banyak hal yang nggak bisa dijelaskan di dunia ini." Aziel menatapnya dengan serius. "Apa maksud lo?" Lara kembali mengalihkan pandangannya ke Aziel, dan dalam sekejap, ekspresinya kembali tenang seperti semula. "Lo cuma khawatir terlalu banyak. Dan itu wajar." ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD