“Bawa semua kumpul ya di rumah Bunda, Ras.” “Ya, Bun.” Farras mengangguk setuju meski nada suaranya datar. Telepon dari sang ibu bukanlah hal yang asing, bahkan bisa dibilang lumrah. Tapi akhir-akhir ini, sejak anak-anaknya sendiri sudah masuk sekolah, momen seperti ini sudah semakin jarang terjadi. Ibunya jarang menelepon di jam-jam sekolah, kecuali memang ada sesuatu yang dianggap penting, atau bisa jadi, sebenarnya tujuan telepon itu bukan untuk para cucu, melainkan untuknya sendiri. Ia menarik napas perlahan, mencoba meredam riuh pikirannya yang langsung berlari ke mana-mana. Ajakan itu tidak main-main. Ibunya ingin semua cucu perempuan—dan juga cucu menantu perempuan—berkumpul di rumah besar mereka, rumah Bunda, begitu mereka biasa menyebutnya. Rumah yang kini menjadi pusat dari se

