Husein terdiam. Kata-kata itu seperti angin dingin yang masuk dari jendela yang lupa ditutup. Membekukan. Mengingatkan. Ia menggenggam tangan istrinya yang sejak tadi diam di pangkuan, mengeratkannya perlahan. “Aku nggak akan jatuh,” katanya. “Bukan sebelum semua ini selesai.” Rain tersenyum tipis, meski matanya masih menyimpan awan mendung. “Kalau Abang bilang begitu,” katanya, berdiri perlahan. Ia mengelus kepala suaminya sekilas, seperti membelai seseorang yang akan berangkat ke medan perang. “Sarapan jangan lupa. Aku titip Abang sama Allah, ya.” Lalu ia pun berjalan keluar, meninggalkan Husein sendiri dengan pikirannya, dengan laptop yang kini terasa seperti medan pertempuran, dan dengan janji dalam hati—bahwa apa pun yang terjadi, keluarganya tidak boleh terseret dalam bahaya ini.

