Episode 2 | Bangunan Kuno di Tengah Hutan

2299 Words
Perjalanan menuju tempat penelitian yang berada di tengah hutan Forks mereka tempuh dengan dua buah mobil. Mobil pertama di kendarai Reno dengan Betris yang duduk di jok samping kemudi. Lalu Eca yang duduk di jok belakang, memandang keduanya bosan. Eca tak bisa abai pada tatapan Betris yang menyatakan perang padanya. Tau begini, lebih baik dirinya ikut bersama Milly, Davis dan Frans yang satu mobil di belakang mereka. Eca mengalihkan pandangannya pada luar jendela, tiga jam lebih Eca habiskan duduk di mobil tanpa bisa bergerak dengan leluasa. Kakinya mulai pegal dan kesemutan, tubuhnya mulai tak nyaman. "Berapa lama lagi sih?!" dumel Eca sendiri. Reno yang duduk di bangku melihat jok belakang lewat kaca spion. "Sebentar lagi." "Sejak satu jam yang lalu lo ngomong gitu terus!" Reno menghembuskan napas lelah, gadis di belakangnya duduk gelisah. Betris menoleh sinis, sebenarnya ia malas sekali bicara dengan gadis yang merebut pria yang di cintainya itu. Tapi, mungkin Betris bisa memanfaatkan situasi dengan memanasi dan membuat Eca kesal. "Lo cemburu ngeliat gue sama Reno?" pertanyaan mengejek dari Betris membuatnya muak. "Jangan mimpi lo! Buat apa gue cemburu sama cowok b******k kaya Reno." "Gue tau, lo iri. Karena gue yang bisa deket sama Reno, bukan lo!" ujar Betris kejam. Eca diam tanpa membalas, rasanya malas sekali jika meladeni sikap kekanakan Betris. Sedangkan Betris yang melihat Eca terdiam mengulas senyum miring. "Kasihan banget ya lo. Syukur-syukur lo sadar sama status lo yang miskin!" Betris berucap kelewat santai, "-Beda jauh sama Reno yang kaya, mapan dan idaman." "Lo tuh ya--" "Cukup!" Sela Reno. "Kalian bisa diam?!" Reno melirik Eca dari kaca spion depan, "-Eca! Tolong lo diem! Gue jadi gak fokus!" Betris mendengar Reno memarahi Eca tersenyum menang, namun hanya sementara. Sebelum suara dingin penuh amarah juga tertuju padanya. "Dan lo Betris! Berhenti gangguin Eca!" Betris mengernyitkan dahinya, "Kamu belain cewek penggoda itu, Sayang?" Reno yang kelewat batas pun menggeram marah. "Gue bilang berhenti! Lo paham omongan gue kan?! Jangan buat kesabaran gue habis dan buang lo ke hutan!" Seketika Betris diam. Hatinya di landa kekesalan dan kejengkelan pada gadis yang tengah menatap pemandangan dari kaca mobil. Suasana kembali senyap, hanya suara radio yang Reno hidupkan untuk menemani perjalanan mereka kali ini. Tak terasa dua jam telah mereka lewati, secara mendadak mobil Reno berhenti di pinggir jalan. Bersamaan mobil milik Frans yang ikut berhenti di belakang mobil Reno. "Apa kita sudah sampai?" tanya Eca. "Belum." Jawaban singkat dari Reno membuat Eca mengernyit heran. "Lalu kenapa kita berhenti?" pertanyaan Betris mewakili perasaan Eca saat ini. Reno mengalihkan pandangannya pada Betris, kemudian pada Eca. "Kita akan jalan kaki selama satu jam menuju lokasi. Sekarang bersiap!" Reno dengan gesit membuka pintu mobilnya, di susul Betris yang tampak kesal. "Maksudnya jalan kaki apa?! Aku nggak mau!" "Kaki ku bisa bengkak dan lecet! Sia-sia perawatan ku untuk cantik jika harus jalan kaki!" maki Betris. "Pokoknya aku gak mau!" "Kenapa sih kita gak naik mobil aja? Praktis juga kan?!" Melihat Reno yang mengacuhkannya, Betris semakin kesal. "Ihh Reno! Aku gak mau jalan kaki!" Betris menghentak kakinya ke tanah. "Terserah lo." Reno mengacuhkan Betris yang mencak-mencak tak jelas. Dirinya lelah duduk menyetir di bangku kemudi. Menanggapi Betris yang childish seperti sekarang membuat Reno semakin muak. Reno memang menyukai wanita cantik untuk ia kencani tapi ia tak menyukai wanita yang merepotkan. Seperti Betris misalnya, ia memang cantik dan modis. Dibandingkan dengan Eca, Betris jauh lebih cantik dan mulus dengan kulit putih bersihnya. Berbeda dengan Eca yang memiliki kulit kuning langsat khas gadis Asia. Tapi jika dalam keadaan seperti ini, Reno lebih memilih Eca yang mengikuti perintahnya dalam diam. Reno mengalihkan pandangannya pada Eca yang menghampiri mobil Frans yang ada di belakang mobilnya. Telinga Reno terasa berdengung karena ocehan dan rentetan keluhan Betris padanya. Jika saja Betris tau bahwa, Reno telah melakukan survei sebelum ini dan menemukan celah jalan terdekat, Betris akan sangat berterima kasih padanya. Menyanjung tinggi kehebatannya dalam organisasi pecinta alam yang Reno geluti. "Kita lanjut jalan nih?" tanya Frans pada Reno yang tengah mengeluarkan tas ransel dari dalam bagasi. Reno menoleh, "Satu jam. Gapapa kan? Lagian, ini udah jalan tercepat menurut gue." Frans mengangguk, "Gak masalah buat gue sama yang lain. Tapi, masalahnya ada sama cewek lo!" tunjuk Frans pada Betris yang masih mendumel, Frans terkekeh pelan. Di susul tawa renyah Milly dan Eca. Sedangkan Davis memandang Betris kasihan. "Biarin aja." jawab cuek Reno. Dengan kepayahan Betris membawa koper berwarna pink, warna yang paling mencolok di antara semuanya. Reno hanya melihat, Betris kembali uring-uringan karena tak mampu membawa barang bawaannya. "Udah gue bilang kan, bawa tas ransel aja. Malah bawa koper! Lo pikir kita liburan?!" marah Reno. Susah payah, Betris menyeret kopernya menghampiri Reno serta teman-temannya yang telah berkumpul di jalan setapak. "Ih! Capek! Reno, bantuin dong..." rengek Betris memegang lengan kekar Reno. Namun, pria tampan itu menepis tangan Betris, "Bawa sendiri! Kan udah gue bilang, jangan bawa koper!" "Sekarang tanggung sendiri akibatnya." celutuk Milly pedas. Betris menghentakkan kakinya kesal. Memang diantara mereka hanya Betris yang membawa koper dengan ukuran besar, entah apa yang wanita cantik itu bawa tapi yang pasti, Betris sangat menyusahkan di kelompok mereka. "Ini mobil tinggal di sini, aman?" tanya Frans. Reno mengangguk, "Tenang aja. Pasti aman kok, selesai penelitian kita langsung cabut dari hutan ini." Frans mengangguk, percaya perkataan Reno. "Kita berangkat sekarang?" tanya Frans. Reno mengalihkan pandangannya pada semua teman-temannya, "Persiapan semuanya, kita berangkat sekarang!" "Siap!" ujar Milly dan Eca bersamaan. "Oke!" timpal Davis. Reno melangkahkan kakinya, memimpin jalan di depan. Berbekal selembar kertas yang dulu pernah ia gambar. Di belakangnya Eca, Milly, Davis dan Frans mengikuti dari belakang. Sedangkan Betris masih menggerutu dan sesekali mengumpat. Tanah basah dan lembab menjadi rintangan. Bebatuan besar dan lumut yang menempel membuat jalan setapak menjadi licin. Mereka saling membantu dan mengeratkan genggaman tangan agar saling jaga satu sama lain. Pohon-pohon tumbuh menjulang tinggi, menutupi sinar matahari yang berusaha menembus dedaunan. Namun nihil, sinar panas sang mentari hanya mampu menembus pucuk pohon. Menyebabkan udara dingin dan sejuk yang menusuk kulit. "Arrgghh!!" "Pegang tangan gue erat Ca!" teriak Reno saat Eca akan terpeleset dari atas batuan berlumut. Reno masih memimpin di depan dengan satu tangan memegang tongkat kayu panjang dan satu tangannya memegang erat tangan Eca. "Lo gak papa?" Eca mengangguk, "Masih lama ya?" meski tak mengeluarkan keringat, Reno tau jika Eca kelelahan. "Sebentar lagi, kita bakal tiba di bangunan kuno itu. Lo masih kuat kan?" "Kayaknya masih kuat kalo lo gendong." Reno tertawa renyah, "Enak di lo, capek di gue." Eca ikut tertawa, Reno yang tadinya memimpin jalan di depan kini tertinggal beberapa langkah di belakang. Menemani Eca yang mulai kelelahan, Reno menyerahkan peta yang telah ia buat sebelumnya kepada Frans. Agar pria itu yang memimpin, sedangkan dirinya menemani Eca di belakang. Meski sebelumnya harus menghadapi Betris yang tidak menyukai Reno menemani Eca. Tapi sepertinya Betris mulai melupakan mengenai perasaanya meski sebentar, gadis itu masih terlihat kesusahan dengan koper besarnya. Menapaki dengan jalan licin dan bebatuan berlumut bukanlah hal yang menarik. "WUHUUUUU!!!" "Kita sampek Ren! Reno!" Seruan dari arah depan membuat Reno dan Eca serempak menoleh. Reno tersenyum sumringah, "Gue yakin. Perjuangan kita gak bakal sia-sia." "Sekarang gue percaya sama lo." "Harus!" Reno menuntun Eca agar mengikuti teman-temannya yang berada di depan. Senyum kepuasan tak luntur dari bibir pria berambut jambul itu. Eca yang berada di sebelahnya ikut merasakan aura kebahagiaan. Dalam pancaran kebahagiaan, keenam mahasiswa itu menatap takjub bangunan besar yang terlihat masih kokoh. Dinding tebal berlapis batuan alam, sinar hangat menerpa. Jatuh di atas bangunan yang berkilau bak emas. Situs kuno berbentuk persegi, dengan undakan tangga mengerucut ke atas. Hampir sama dengan piramida tetapi jauh lebih indah, keempat sisinya sama simetris. Di atas bangunan, berkilau seberkas cahaya bak berlian. Menyilaukan mata. "Wow." Satu kata yang mampu kelima orang itu ucapkan. Reno tersenyum bangga, mendengar kalimat kekaguman keluar dari mulut teman-temannya. "Ini indah banget," celutuk Milly. "Gila lo Ren! Nemuin berlian lo sembunyiin dari kita-kita. Coba kalo gak ada nih tugas penelitian, gak bakal lo kasih tau!" ujar Frans. "Wow! Kamu hebat banget Sayang! Aku makin cinta sama kamu!" Betris memeluk tubuh keras Reno di sampingnya. Sedangkan Eca, ia bahkan tak mampu berkata-kata. Bangunan kuno itu meski di dalam hutan, terasa hangat karena pantulan mentari menyelimuti tubuhnya. Ia menatap kagum bangunan persegi itu dengan mata berbinar. "Tempat sebagus ini tidak ada yang pernah mengunjungi?" tanya Davis tiba-tiba memecah kekaguman mereka akan bangunan di besar di hadapannya. "Aku yakin. Setidaknya ada beberapa orang yang pernah datang kemari." Lalu tatapan mata Davis menyorot Milly, "Kamu pernah bilang ke aku kan waktu itu. Jika tempat ini bisa jadi tempat makhluk immortal?" Kekaguman yang sempat terpancar, kini tergantikan tatapan keheranan. Secara rasional, memang pendapat Davis dapat di benarkan. Tidak mungkin tempat sebagus dan sekokoh itu tak ada yang mengunjungi. Apalagi di atas bangunan itu terpancar kilau cahaya yang begitu menyala. Dari kejauhan pun pasti akan terlihat. "Gu--gue emang pernah bilang ke Davis, ka-kalo bisa jadi bangunan itu adalah tempat persembunyian bahkan kerajaan makhluk immortal,--" Milly menatap teman-temannya, lalu kembali menatap ke arah bangunan itu berdiri dengan kokoh, "--Tapi gue sendiri belum tau, informasi itu bener atau enggaknya." "Lo tau dari mana? Gak mungkin kan tiba-tiba lo tau tentang bangunan kuno ini?" tanya Frans. "Mama gue yang cerita. Dulu Kakek dan Nenek salah satu mahasiswa bimbingan dalam penelitian artefak kuno. Dan bangunan ini adalah tempat dimana Nenek gue dulu hilang, tau-tau pas kembali di temukan, Nenek gue kaya orang linglung. Gak kenal siapapun, termasuk keluarganya sendiri." Penjelasan Milly membuat hati Eca ragu, ia pun tau jika sekarang pun Nenek Milly masih seperti orang linglung. Sebelumnya, Eca pernah berpikir, mungkin saja penyebab kepikunan Nenek Milly karena faktor umur tapi Eca salah besar. Hanya karena bangunan besar di hadapannya, Milly membuka rahasia atas nasib Neneknya di masa lalu. "--Untungnya Kakek gue cinta sama Nenek gue. Meski keadaan Nenek gue kaya gitu," sambung Milly. "Itu kenapa, gue keberatan kalo kita ngelakuin penelitian di bangunan ini." Milly berujar saat hening menimpa. "Untuk ikut serta dalam penelitian ini, gue harus bohongin Mama gue. Bangunan ini larangan terbesar dari Mama yang gue langgar demi kalian," tambah Milly. Eca mendekat, mengelus pundak Milly agar tenang. "Tenang Mil, kita hanya sebentar di bangunan itu. Setelah selesai kita segera pulang, lo jangan khawatir. Kita selalu bersama kan?" tanya dengan mengedarkan pandangannya kepada Reno, Frans, Davis dan Betris. Frans mengangguk, "Gue bakal jagain lo! Lo gak perlu takut lagi, kita bakal baik-baik aja, iya kan Ren?" Reno spontan mengangguk kaku. "Kita pasti aman. Karena Reno yang mengusulkan tempat ini, bukankah Reno sudah survei sebelumnya?" tanya Davis. "Iy--iya kok. Gu-gue udah survei, dan tempat ini aman." Reno menjawab terbata-bata. Senyum kaku terlukis di wajah tampannya. "Sayang, kamu jagain aku kan?" Betris mendekat dan menempel pada Reno. Reno menepis tak suka, "Lepas, Betris." Betris merengut tak suka. Wajah cantiknya memerah kesal dan bibir merahnya melipat tak suka. "Udah ah, kita langsung masuk ke bangunan itu. Jangan terlalu tegang, lagi pula itu kisah lama." Frans melangkah maju, memimpin di depan menuju bangunan berwarna kuning terang dengan pantulan cahaya matahari. "Bentar dulu Frans!" cegah Milly. "Jujur dari awal gue liat nih bangunan emang indah banget. Gue sampek terpesona, tapi kalian ngerasa aneh gak sih?" pertanyaan Milly membuat Eca dan yang lainnya bingung. "Maksudnya Mil?" Davis mewakili. "Di antara semua jalan yang kita lewati terasa dingin, cuma disini. Sinar matahari bisa masuk, anehnya cahaya ini terasa hangat menyentuh kulit. Terasa pas tanpa rasa terbakar." "Kalian ngerasain apa yang gue rasain kan?" Davis mengernyit sesaat, lalu mengatakan pendapatnya. "Menurutku, sinar matahari bisa masuk karena bangunan ini besar. Membutuhkan berhektar-hektar tanah hanya untuk mendirikan bangunan sebesar ini. Jadi sinar matahari bisa masuk dan memantul pada bebatuan menyebabkan sinar yang terpantul terasa hangat juga di tambah udara sekitar yang lembab. Jadi bangunan itu tidak ada yang aneh." "Setuju!" putus Frans. "Jadi, apa yang kita ragukan?" "Aku akan mengikuti mu dari belakang Frans!" ujar Davis. "Baiklah Tuan sok pintar. Gue pimpin jalan, nungguin Reno, keburu tua gue!" tanpa menunggu balasan, Frans berjalan memimpin memasuki bangunan kuno tersebut. Di ikuti Davis di belakangnya. Sedangkan Reno masih diam bergeming dengan Betris yang menarik lengannya, mengusik. Milly masih terlihat ragu, tercetak jelas pada tatapan matanya yang memandang ke depan, lebih tepatnya pada bangunan kuno tersebut. Eca menyentuh lengan atasnya pelan, "Mil... Masuk sekarang?" Milly menatap sahabatnya ragu, pertama kali menjumpai bangunan kuno yang tampak indah itu Milly memang merasa kagum luar biasa. Namun, saat kakinya akan menapaki jalan menuju pintu masuk, Milly di landa keraguan. "Mil!" Milly mengerjapkan matanya, Eca masih menunggu. "Ayo!" Terpaksa Milly mengangguk, mengikuti Eca yang menyeretnya masuk melalui pintu kecil. Berukuran satu setengah meter. Betris berlari menyusul, "Hei! Gue ikut!" Tanpa membalas, Milly dan Eca membiarkan Betris mengikuti keduanya. Mereka harus merangkak agar tubuhnya muat melewati pintu yang terbuat dari batuan alam. Mudah bagi para perempuan yang memiliki tubuh kecil, tapi sulit untuk Frans yang tubuhnya kekar dan besar. Sedangkan Davis, tubuh kurus tingginya mampu menyelinap masuk melewati pintu kecil tanpa bersusah payah seperti Frans. Disaat Frans, Davis, Milly, Eca dan Betris telah memasuki bangunan kuno tersebut. Reno masih diam di tempatnya berdiri. Pikirannya berkelana satu tahun yang lalu, tepat di saat dirinya menemukan bangunan kuno tanpa kerlipan cahaya di atas bangunan. Entah dari mana asalnya, namun Reno meyakini jika ada seseorang yang telah datang setelah dirinya menemukan tempat ini dulu. Entah mengapa, Reno ragu untuk memasuki bangunan kuno di hadapannya. Apalagi bangunan itu, kini tampak bersih dan berkilau dari pada satu tahun lalu. Apakah kisah yang di ceritakan Milly benar adanya? Tapi di jaman seperti ini, apakah ada makhluk immortal? Makhluk mitos yang banyak merajalela di stasiun televisi dengan legenda konyolnya. Seketika Reno tertawa pelan. "Bisa-bisanya gue percaya sama cerita khayalan Mama Milly. Udah gak beres nih otak!" Menghiraukan perasaanya yang tak nyaman, Reno memilih menggunakan akal logikanya. Bangunan kuno di hadapannya hanyalah bangunan tua dan akan menjadi berguna jika dapat memberikan keajaiban berupa penemuan artefak langka di dalamnya. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD