bc

Bestfriend And Enemy

book_age16+
216
FOLLOW
1K
READ
friends to lovers
goodgirl
brave
drama
tragedy
childhood crush
enimies to lovers
first love
friendship
illness
like
intro-logo
Blurb

Shabrina Elvariana dan Victor Daniel Pradipta sudah bersahabat semenjak keduanya duduk di bangku SMP. Keduanya sangat dekat sampai-sampai semua orang yang melihat mereka berdua akan menganggap mereka berpacaran. Tanpa disadari, Shabrina ternyata sudah menyukai Victor sejak lama. Victor sendiri baru menyadari bahwa sikap protektif dirinya kepada Shabrina karena dia menyayangi gadis itu lebih dari sekedar sahabat. Namun, keduanya gengsi untuk mengungkapkan perasaan masing-masing karena takut persahabatan mereka akan terganggu. Sampai kemudian, datanglah seseorang dari masa lalu mereka berdua, Anna dan Arsyad. Arsyad yang dicap musuh oleh Shabrina ternyata adalah sahabat masa kecil gadis itu, sementara Anna adalah teman kecil dari Victor. Akankah persahabatan yang berujung menjadi cinta itu akan menyatukan Shabrina dan Victor?

chap-preview
Free preview
Chapter 1
“Cuma orang b**o yang bisa kena demam di saat cuaca lagi panas-panasnya gini, Shab….”             Shabrina Elvariana, gadis manis dengan wajah yang menarik. Perpaduan Barat dari ayahnya yang asli Inggris dan ibunya yang asli Indonesia membuat wajahnya mudah diingat oleh orang lain. Rambutnya panjang sebahu. Hidungnya mancung dan kedua matanya besar. Besar namun memancarkan keramahan pemiliknya dengan manik mata berwarna cokelat terang. Bibirnya tipis dan kemerahan. Tubuhnya proporsional dengan tinggi mencapai 165 cm.             Nah, kalau yang barusan mencelanya adalah Victor Daniel Pradipta. Laki-laki dengan tinggi 173 cm. Tubuhnya tegap dan atletis, hasil dari olahraga yang selama ini selalu rutin dijalaninya. Rambutnya bergaya spike. Hidungnya juga mancung, sama seperti Shabrina. Sorot matanya tegas dan tajam namun juga memancarkan kelembutan dan keramahan. Matanya merupakan sumber kenakalan Victor. Victor memang terkenal playboy. Semua perempuan pasti tergoda dengan kedua matanya yang selalu mengedip nakal terutama dengan senyuman maut yang terpancar dari bibir tipisnya yang berwarna merah dan menggoda iman.             “Lo ngatain gue b**o, Vic?” tanya Shabrina dengan suara melengking sambil melirik sinis Victor. Gadis itu tengah berbaring di atas kasurnya dengan sebuah handuk kecil tersampir di atas keningnya. Wajah gadis itu sedikit memerah, mungkin karena suhu tubuhnya yang meninggi.             Victor menahan senyum dan mengangkat bahu. Laki-laki itu kemudian menjatuhkan tubuhnya di atas sofa yang berada di kamar Shabrina dan mengambil sebuah novel dari rak buku di sampingnya. “Lagian aneh, sih, masa lagi musim kemarau gini lo malah demam? Dimana-mana, orang kalau demam itu pas lagi musim hujan, tau.”             “Emangnya yang ngasih sakit, gue?” Shabrina kembali mengomel. Hal itu membuat napasnya sedikit sesak karena rasa lemas dan lelah yang dirasakannya akibat demamnya. Melihat itu, Victor melirik dari balik novel yang dibacanya dan mendesah berat.             “Lo tidur, deh, Shab. Gue jagain disini.”             Shabrina tidak membantah. Gadis itu terdiam dan menghembuskan napas panjang. Kepalanya semakin terasa pening. Gadis itu juga merasa tubuhnya semakin memanas. Dia juga sebenarnya heran kenapa dia bisa terkena demam seperti sekarang ini. Mungkin ini akibat dari aktivitas renang yang dilakukannya kemarin. Kemarin dia memang pergi berenang bersama kedua sahabat dekatnya, Ravina dan Amalina. Mereka bertiga berenang kurang lebih selama tiga jam! Bayangkan saja, tiga jam! Dari pukul empat sore sampai tujuh malam.             Kalau saja kemarin Victor tidak datang dan menyeretnya untuk keluar dari kolam renang, mungkin Shabrina masih akan berendam disana selama mungkin. Gadis itu memang senang sekali bermain dengan air. Bahkan gadis itu tidak pandai berenang. Yang dilakukannya hanyalah diam di dalam air, tertawa bersama Ravina dan Amalina, dan sesekali berenang ala kadarnya dia saja. Tahu-tahu, Victor datang dan merusak kesenangannya. Shabrina sebenarnya tidak mau mengikuti perintah Victor, namun laki-laki itu mengancamnya.             “Ngapain bengong, sih, lo? Gue suruh tidur, juga.”             Shabrina mendengus ketika mendengar perkataan Victor. Kadang Shabrina heran, kenapa sih, Victor itu tidak bisa berlaku manis padanya? Seperti ketika dia memperlakukan ribuan gadis yang pernah didekatinya dan dipacarinya? Padahal, kan, dia dan laki-laki itu sudah bersahabat sejak keduanya sama-sama duduk di bangku kelas satu SMP!             Victor memang tidak pernah memperlakukannya dengan manis, tapi Victor selalu baik padanya. Laki-laki itu menjaganya, melindunginya dan selalu ada setiap kali Shabrina membutuhkannya. Victor juga kadang terlalu protective terhadapnya kalau dia dekat dengan laki-laki lain.             “Vic…,” panggil Shabrina dengan suara seraknya.             “Hmm,” gumam Victor tanpa mengangkat kepalanya dari novel yang tengah dibacanya. Shabrina dan Victor memang sama-sama maniak dalam hal membaca novel.             “Mau es krim….”             “Dih.” Victor menutup novel yang dibacanya dengan keras dan menatap sahabatnya itu dengan jengkel. “Lagi demam gitu mau makan es krim? Ngimpi lo sono! Sekarang ini orangtua lo lagi nggak ada di rumah, mereka lagi dinas di luar kota sejak minggu lalu sampai lusa nanti. Selama itu juga gue dipesanin sama mereka buat jagain lo, ngawasin lo, dan lain semacamnya. Sekarang lo demam dan lo mau makan es krim?” suara Victor melengking. Tatapannya berubah menjadi tajam. Kalau menyangkut urusan Shabrina, Victor memang selalu seperti itu. Lebih cerewet ketimbang ibu gadis itu sendiri. “No way, girl! Sembuh dulu baru gue beliin es krim!”             Shabrina mencibir. Gadis itu menarik selimutnya sampai menutupi lehernya.             “Keluar lo, sana, gue mau tidur!” gerutu gadis itu kesal. Mendengar itu, Victor tersenyum kecil dan menggelengkan kepalanya. Shabrina memang sahabatnya yang paling manja.             “Ya udah, gue keluar. Kalau ada apa-apa atau perlu sesuatu, lo teriak aja, ya? Gue ada dibawah. Nanti gue bangunin lagi jam dua belas buat makan siang dan minum obat supaya demam lo cepat turun. Besok kan hari pertama kita di kelas tiga. Tahun depan, kita udah kuliah!”             Shabrina mengoceh mengikuti semua ucapan Victor dengan mulut berkomat-kamit tanpa mengeluarkan suara. Tahu apa yang dilakukan sahabatnya, Victor berjalan mendekati Shabrina dan mengacak rambut gadis itu. Kemudian, satu kecupan lembut mendarat di kening Shabrina, membuat gadis itu berhenti berkomat-kamit.             “Ciuman penyembuh dari gue, tuh. Biasanya cewek-cewek dan mantan-mantan gue kalau lagi sakit dan gue cium langsung pada sembuh. Nah, khusus buat lo, karena lo sahabat gue yang paling dekat sama gue, yang udah tau busuknya gue kayak apa, juga baiknya gue kayak apa, gue kasih ciuman penyembuh gue di kening lo. Jangan ngarep di bibir, ya, soalnya kalau di bibir cuma buat cewek-cewek yang gue taksir.”             “Cih, sampai dunia kiamat juga, gue nggak berharap ditaksir sama lo. Di dalam mimpi buruk gue pun nggak ada niatan itu sama sekali!”             Victor tertawa dan kembali mengacak rambut Shabrina dengan gemas. Kemudian, laki-laki itu berjalan menuju pintu dan keluar dari dalam kamar Shabrina. Hubungan persahabatan yang sangat dekat diantara keduanya membuat Shabrina dan Victor selalu seenak jidat mereka kalau bertamu di rumah masing-masing. Victor sudah menganggap rumah Shabrina sebagai rumahnya, juga menganggap orangtua Shabrina sebagai orangtuanya, begitu juga sebaliknya.             Hanya saja, bukankah selalu ada satu hal yang tidak perlu kalian ceritakan meskipun dengan sahabat terdekat kalian sekalipun? *** Victor berjalan dengan wajah ditekuk. Kedua tangannya dilipat di depan d**a. Bibirnya dikerucutkan. Meskipun begitu, Victor selalu menjadi pusat perhatian. Beberapa siswi secara terang-terangan menatap Victor dengan tatapan memuja. Di belakang Victor, Shabrina berjalan sambil menggelengkan kepalanya. Dengan satu gerakan cepat, gadis itu berjalan mendahului Victor dan memasang tubuhnya di depan laki-laki itu sambil merentangkan kedua tangannya.             “Victor Daniel Pradipta! Kenapa sih, lo? Gue kan udah bilang, gue baik-baik aja.”             Victor memutar kedua matanya. Laki-laki itu kemudian mengetuk kening Shabrina dengan jari telunjuknya.             “Apanya yang udah baik-baik, aja, hmm? Tuh, bahkan cuma dengan jari telunjuk gue aja, gue bisa ngerasain kalau suhu tubuh lo itu masih tinggi. Kenapa sih, lo bandel banget dan susah dibilangin?”             Shabrina menepis jari telunjuk Victor dari keningnya.             “Gue udah nggak apa-apa, Vic. Masa hari pertama di semester pertama kelas tiga gue malah nggak masuk? Nggak seru, tau!”             “Terus kalau lo pingsan, bakalan seru, gitu?”             Shabrina mencibir. Kini, ganti gadis itu mengerucutkan bibirnya. Tiba-tiba, Ravina dan Amalina datang menghampiri sepasang sahabat berbeda jenis kelamin itu. Kedua gadis itu berdiri di samping Shabrina dan menatap gadis itu dan Victor secara bergantian.             “Lo berdua kenapa, dah?” tanya Amalina dengan kening belipat karena heran. Soalnya Shabrina dan Victor hanya berdiri dalam diam, saling tatap dengan tajam, dan bibir yang dikerucutkan hampir menyaingi mulut monyongnya ikan mas koki yang lagi megap-megap.             “Nih, ya, tolong bilangin sama sohib kalian ini, suruh pulang aja sekarang!” gerutu Victor jengkel. Shabrina membalas ucapan sahabatnya itu dengan memeletkan lidahnya.             “Emang, kenapa Shabrina harus pulang, Vic?”             “Dia tuh lagi demam, dari kemarin. Tapi dia malah ngotot mau masuk sekolah. Katanya nggak seru banget kalau dia nggak masuk sekolah di hari pertama di kelas tiga. Sekarang gini, ya, kalau dia pingsan nanti, emangnya seru, apa?”             “Ya udah, sih, kalau gue pingsan, gue ini yang pingsan, bukan elo! Kenapa jadi lo yang sewot dan repot?!”             “Heh, kepala batu, gue itu cuma nggak mau terjadi sesuatu sama lo. Lo itu kan sahabat gue, wajar dong kalau gue khawatir?!”             “Tapi lo khawatirnya udah kelewatan, Vic. Lo liat sendiri, kan? Gue bisa berdiri tegak tanpa harus dibantu sama siapapun!”             Ravina dan Amalina memperhatikan perdebatan itu dengan kepala yang harus menoleh kesana kemari. Kalau Shabrina sedang mengomel, Ravina dan Amalina akan menoleh ke arah Shabrina, sedangkan kalau giliran Victor tiba, kedua gadis itu akan menoleh kepada laki-laki itu.             Murid-murid yang lewat juga tidak mau ketinggalan. Terlebih yang perempuan. Bahkan tatapan para murid perempuan itu seperti tatapan seseorang yang baru menemukan harta karun berupa ribuan emas ketika mereka menatap Victor. Menurut mereka, meskipun dalam keadaan sedang marah-marah seperti ini, Victor terlihat tambah keren, ganteng dan menarik!             “Heh, udah… udah… nggak malu apa diliatin sama anak-anak yang lain?” Ravina mencoba menengahi. Shabrina dan Victor sama-sama mengambil oksigen untuk mengisi paru-paru mereka. Keduanya saling lirik dengan sinis.             “Heran, deh, gue…. lo berdua itu udah sahabatan lama. Udah lima tahun terhitung semenjak kalian sama-sama masuk di SMP yang sama. Tapi, lo berdua lebih banyak debatnya dibandingkan sayang-sayangannya, deh!”             “Sayang-sayangan?! Lo pikir gue sama si tengil ini pacaran, apa?” Shabrina menunjuk Victor dengan dagunya. “Gue sama dia cuma sahabatan, tau!”             Ravina dan Amalina manggut-manggut dan melipat kedua tangan mereka di depan d**a mendengar bantahan dari mulut Shabrina.             Mendadak, Shabrina merasa kepalanya sedikit pening. Gadis itu memegang kepalanya pelan dan tubuhnya sedikit limbung. Dengan sigap, Victor langsung menangkap pinggang gadis itu dan menahan tubuh Shabrina agar tidak jatuh.             “Masih mau ngeyel?” tanya Victor sambil menatap Shabrina. Dekatnya jarak mereka saat ini membuat Victor bisa melumat kedua mata gadis itu dengan tatapan tajamnya.             Shabrina yang bisa merasakan helaan napas milik Victor hanya bisa mencibir dan menepis tangan Victor dari pinggangnya.             “Gue nggak apa-apa, cuma sedikit pusing aja tadi.”             Tanpa memedulikan Victor dan kedua sohibnya, Shabrina berjalan menuju kelasnya. Melihat itu, Victor menatap Ravina dan Amalin dengan kesal.             “Lo berdua liat sendiri, kan, tadi? Ckckck… untung gue nggak keburu gila karena udah sahabatan sama dia lima tahun!”             Ravina dan Amalina terkekeh geli dan mengikuti langkah Victor dari belakang. *** Shabrina melempar ranselnya ke atas meja begitu saja. Napasnya masih memburu. Dia sebenarnya senang diperhatikan seperti itu oleh Victor, tapi dia bukan anak kecil lagi. Dia sudah besar, sudah dewasa. Dia sendiri yang tahu bagaimana kondisi tubuhnya saat ini. Oke, tadi dia memang sedikit pusing, tapi hanya pusing biasa saja. Tidak perlu dibesar-besarkan dan tidak ada yang perlu dikhawatirkan.             Shabrina menghela napas panjang. Tiba-tiba, tatapannya terpaku pada seseorang yang duduk tak jauh dari tempatnya duduk. Matanya membulat. Mulutnya menganga. Ya Tuhan… cobaan apa lagi, ini?             “Ssst… Gio….”             Orang yang dipanggil Gio itu menoleh. Laki-laki bertubuh sedikit gemuk itu tersenyum kepada Shabrina.             “Kenapa, Shab? Kangen sama gue? Udah tiga tahun, nih, kita sekelas terus.”             Shabrina memukul bahu Gio pelan. “Kangen gigi lo peyang. Eh, ngapain tuh bocah disini?”             Gio mengerutkan keningnya mendengar ucapan Shabrina.             “Bocah siapa, maksud lo?” tanya laki-laki itu sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal.             “Itu….” Shabrina menunjuk seseorang yang tengah duduk di depan meja guru itu dengan dagunya. Gio mengikuti arah pandang Shabrina kemudian mengangguk sambil membulatkan mulutnya.             “Si Arsyad, maksud lo?”             Shabrina mengangguk malas. “Iya, si Arsyad. Ngapain itu bocah disini?”             “Lah, kan dia emang sekelas sama kita. Yang gue dengar sih, tadi pagi wali kelas kita, Bu Indah, menunjuk Arsyad untuk jadi ketua kelas.”             “WHAAAT?!”             Shabrina langsung menutup mulutnya erat-erat dengan kedua tangannya ketika sadar teriakannya barusan membuat seisi kelas menatapnya heran, termasuk sang topik yang sedang dibicarakan bersama Gio, Arsyad.             “Dia jadi ketua kelas?”             Gio mengangguk. Laki-laki itu mengambil sebuah roti dari dalam ranselnya, membuka bungkusnya dan menawari Shabrina.             “Mau, Shab?”             Shabrina menggeleng. Rasanya kepalanya semakin pening. Kenapa sih, dia harus sekelas sama orang seperti Arsyad? Bukannya apa-apa, tapi Shabrina dan Arsyad itu tidak pernah akur. Shabrina sudah menganggap Arsyad sebagai musuh bebuyutannya. Sewaktu kelas satu, Shabrina pernah sekelas dengan Arsyad. Shabrina mencoba ramah pada laki-laki itu, namun laki-laki itu meresponnya dengan dingin. Waktu itu juga, Arsyad yang memegang jabatan sebagai ketua kelas. Sama seperti saat ini. Sejak saat itu, Shabrina dan Arsyad tidak pernah bertegur sapa. Jangankan bertegur sapa, kalau ada guru yang mengharuskan Shabrina menyampaikan pesan pada Arsyad, atau begitu pun sebaliknya, kedua orang itu lebih memilih untuk meminta tolong orang lain yang menyampaikan pesan tersebut. Pernah sekali Shabrina dan Arsyad ribut karena berbeda pendapat dan argumen ketika pelajaran Sejarah sedang berlangsung.             Tiba-tiba, Arsyad menoleh dan bertemu pandang dengan Shabrina. Dengan malas, Shabrina langsung melengos ke arah pintu kelas. Dan detik itu juga, Shabrina melihat Victor memasuki kelas dengan Ravina dan Amalina yang mengekor di belakangnya.             Victor menaikkan satu alisnya ketika mendapati tampang bete Shabrina. Apalagi ketika laki-laki itu melihat Shabrina berdiri dari kursinya dan berjalan keluar kelas.             “Kenapa lagi, tuh, bocah?” *** Arsyad Prasetyo. Laki-laki dengan tinggi 170 cm itu menatap kepergian Shabrina dengan tatapan sinis. Senyum mengejek tercetak jelas di bibirnya. Ini sudah yang kedua kalinya dia sekelas dengan gadis itu. Gadis cerewet, keras kepala dan terjutek yang pernah dikenalnya. Arsyad masih ingat waktu dirinya masih duduk di bangku kelas satu dan pertama kali mengenal Shabrina, laki-laki itu dibuat kesal setengah mati oleh gadis itu. Bagaimana tidak? Baru masuk sekolah saja, masih menyandang status siswa baru, gadis itu cerewetnya sudah melebihi burung beo! Sedikit-sedikit ngoceh, sebentar-sebentar ngoceh. Bikin telinga panas, deh, pokoknya!             Arsyad ingat waktu itu tiba-tiba saja Shabrina mendekatinya dan mengajak berkenalan. Arsyad memang melihat gadis itu mengitari seluruh kelas untuk berkenalan dengan anak-anak yang lain. Ketika gadis itu mengulurkan tangan dan menyebutkan namanya, Arsyad hanya memandang dingin tangan gadis itu kemudian naik ke wajah Shabrina yang harus Arsyad akui bahwa wajah itu sangat manis dan menarik.             “Lo pasti udah tau nama gue, kan? Gue yakin lo pasti dengar waktu anak-anak teriak manggil gue, tadi.”             Jawaban yang dingin dan sinis itu membuat Shabrina mengerjapkan mata dan menarik kembali uluran tangannya. Senyum ramah yang tadinya bertengger manis di bibir tipis gadis itu lenyap seketika. Tatapan ramah itu juga kini berganti dengan tatapan kesal dan jengkel.             “Sombong banget jadi cowok!” cibir Shabrina, lalu pergi dari hadapan Arsyad.             Sejak saat itu, hubungan keduanya sangat jauh dari kata akrab. Sebisa mungkin, keduanya akan menolak apabila disatukan dalam sebuah kelompok.             “Dari dulu sampai sekarang nggak pernah berubah. Selalu ngeliat gue kayak gue ini setan!” desis Arsyad sambil kembali tenggelam dalam buku yang tengah dibacanya. *** Karena hari ini hari pertama masuk sekolah di semester awal kelas tiga, maka guru-guru masih belum mengajar dengan efektif. Hasilnya, jam sepuluh tepat, sekolah sudah dibubarkan. Sejak dibubarkan, Shabrina langsung menghilang dari pandangan Victor. Biasanya, gadis itu akan menunggu Victor untuk pulang bersama karena Victor selalu memberikan tumpangan untuk sahabatnya itu.             “Ra, Lin, lo berdua tau nggak, si Shabrina kenapa buru-buru pulang?”             Ravina dan Amalina yang sedang merapihkan alat tulis mereka menoleh dan mengangkat bahu.             “Katanya sih, dia kesal banget hari ini. Pertama karena masalah sama lo tadi pagi, kedua karena… dia.”             Victor mengikuti arah yang ditunjuk Ravina. Matanya beradu pandang dengan mata Arsyad. Arsyad memberi Victor sebuah senyum sinis, kemudian laki-laki itu pergi meninggalkan kelas.             “Gue sih bukannya nggak tau kalau Shabrina sama Arsyad itu musuh bebuyutan, tapi, kenapa, sih, Shabrina harus ngindar? Ketauan banget kalahnya kalau kayak gitu, mah!” gerutu Victor sambil berdecak.             Ya, Victor memang mengetahui kalau Shabrina dan Arsyad bermusuhan semenjak kelas satu. Shabrina menumpahkan semua kekesalannya waktu itu pada Victor. Shabrina dan Victor memang selalu terbuka seperti itu. Semua masalah yang sedang mereka hadapi tidak pernah ada yang ditutup-tutupi.             “Lo kayak nggak kenal Shabrina, aja, Vic… dia itu kan kalau udah jengkel dan benci sama orang nggak bakal bisa diapa-apain lagi.” Ravina tersenyum geli sambil menggelengkan kepalanya kalau mengingat tentang sifat Shabrina itu.             Victor berdecak kesal dan meraih ponselnya yang diletakkan di saku celana abu-abunya. Dia menekan angka satu yang akan langsung menghubungkannya dengan nomor ponsel Shabrina. Tidak diangkat. Gadis itu sama sekali tidak menjawab panggilan ponselnya. Victor mencoba beberapa kali dan hasilnya masih sama.             “s**t!” umpat Victor sambil menatap kesal layar ponselnya. “Gue goreng juga tuh cewek di rumahnya nanti, liat aja!”             Ravina dan Amalina hanya tertawa pelan melihat Victor yang sedang senewen karena ulah Shabrina. Sebenarnya sudah sejak lama Ravina dan Amalina memikirkan persahabatan yang dijalani oleh kedua orang tersebut. Ravina dan Amalina memang sudah mengenal Shabrina dan Victor sejak kelas satu karena mereka satu kelas. Hubungan yang terlalu dekat diantara keduanya membuat Ravina dan Amalina memberanikan diri bertanya pada Shabrina apakah gadis itu berpacaran dengan Victor. Sebagai jawaban, Shabrina hanya tertawa keras dan berkata bahwa dirinya hanyalah sahabat dekat dari Victor.             Victor berdecak kesal dan memasukkan ponselnya kembali ke dalam saku celana abu-abunya. Lewat ekor matanya, Victor melihat Arsyad sedang berjalan menuju pintu kelas. Merasa diperhatikan, Arsyad menoleh dan melirik Victor dengan sinis dan tajam. Untuk beberapa detik, kedua laki-laki itu saling tatap dan suasana berubah mencekam.             “Vic… udah deh, ngapain, sih, elo sama Arsyad lirik-lirikkan sinis kayak gitu? Kayak anak kecil, tau!”             Victor melirik Amalina sekilas dan kembali menatap tajam Arsyad. Laki-laki itu kembali memberikan senyuman dingin untuk Victor kemudian melangkah keluar kelas.             “Emang benar-benar ngeselin tuh orang! Pantesan aja si Shabrina nganggap dia musuh bebuyutannya!” *** Shabrina berjalan menyusuri jalan raya dengan kepala yang ditundukkan. Ujung sepatunya menendang kerikil-kerikil yang berada di depannya. Sesekali gadis itu menarik napas panjang dan membuangnya kembali. Shabrina merasa sangat lelah. Tubuhnya lemas dan kepalanya pusing. Matanya terasa panas dan suhu tubuhnya makin meninggi.             “Aaaah, bete! Kayaknya gue kualat deh ke si Victor.” Shabrina berkata pelan untuk dirinya sendiri. Jalan raya itu tidak terlalu ramai oleh kendaraan. Mungkin karena gadis itu mengambil rute yang berbeda dari biasanya agar Victor tidak berhasil mengejarnya.             Shabrina memang masih kesal dengan sahabatnya itu. Shabrina merasa Victor lebih tahu tentang dirinya, ketimbang dirinya sendiri. Victor tahu tentang kondisi tubuh Shabrina, melebihi gadis itu sendiri. Victor tahu tentang masalah yang dihadapi oleh Shabrina, melebihi gadis itu sendiri. Itulah yang membuat Shabrina langsung ngacir pulang tanpa menunggu Victor seperti biasanya. Kalau Victor tahu bahwa kondisi tubuhnya sekarang semakin parah, laki-laki itu pasti dengan sangat senang hati akan mengomelinya. Membayangkan Victor tengah menceramahinya panjang lebar dengan petuah-petuah menyebalkannya saja sudah membuat Shabrina bergidik dan memeluk tubuhnya sendiri.             “Gila… bisa sinting mendadak gue kalau diceramahin si Victor!”             Tiba-tiba, Shabrina berhenti melangkah. Rasanya dunia sedang berputar-putar. Sial, kepalanya semakin pusing saja. Tahu akan begini kejadiannya, mungkin tadi sebaiknya gadis itu menunggu sahabatnya saja dan ikut motor Victor seperti biasanya. Tapi… gengsi, dong! Selama di sekolah tadi saja, Shabrina puasa ngomong. Gadis itu tidak mengeluarkan sepatah katapun kepada Victor, meskipun laki-laki itu berusaha untuk mengajaknya bicara. Dasar playboy cap ikan mas koki! Dikira rayuan gombalnya itu bakalan mempan, apa?             Shabrina memejamkan kedua matanya pelan dan menarik napas. Ketika kedua matanya kembali terbuka, Shabrina tersenyum kecil karena kepalanya sudah tidak terlalu pusing lagi dan tidak berputar-putar seperti beberapa saat yang lalu.             “Wah, ada cewek cakep, nih!”             Shabrina langsung menoleh ketika mendengar sebuah suara berat yang terdengar sedikit menakutkan. Gadis itu terpaku di tempatnya ketika melihat tiga orang laki-laki berseragam SMA seperti dirinya sedang mengisap rokok sambil menatap nakal ke arahnya. Ketiga laki-laki itu bersandar di dinding yang penuh dengan coretan tak jauh dari tempat Shabrina berdiri. Gadis itu menelan ludah susah payah dan memutar kepalanya ke kiri dan ke kanan. Berharap ada pejalan kaki yang bisa menolongnya. Namun, tidak dia temukan satu orang pun yang sedang melintas melewati tempat itu.             “Sorry, gue nggak mau nyari ribut!” seru Shabrina keras dan lantang. Gadis itu kembali berjalan meninggalkan tempat tersebut namun tiba-tiba saja dia merasa lengannya ditarik paksa sehingga tubuhnya berputar. Di depannya kini berdiri salah satu dari tiga murid SMA berandalan itu dan tengah tersenyum licik ke arahnya.             “Sok jual mahal lo, jadi, cewek! Ayolah, gabung aja sama kita bertiga! Pasti bakalan seru, kok!”             Sial!             Napas laki-laki di depannya ini sangat bau akan nikotin. Shabrina mulai ketakutan. Dia ingin teriak, tetapi suaranya seakan tercekat di tenggorokan. Aduh, apa yang harus gue lakukan? Victor, tolongin gue!             Mendadak, Shabrina menangkap satu sosok berjalan tak jauh dari tempatnya. Sosok itu menoleh dan menatap Shabrina. Keduanya terkejut dan saling tatap dalam diam. Sebenarnya, Shabrina enggan melakukan hal ini karena gadis itu menilai ini akan sangat menjatuhkan harga dirinya. Tapi, karena sudah terjebak dalam situasi berbahaya dan mencekam, Shabrina akhirnya menekan egonya, dan memberikan tatapan memohon dan meminta tolong pada orang tersebut.             “Apa lo liat-liat?! Mau ikut campur, hah?!” bentak laki-laki yang mencekal lengan Shabrina. Orang yang dibentak itu mengalihkan pandangannya dari Shabrina ke arah laki-laki berandal tersebut. Matanya sangat tajam ketika menatap laki-laki itu.             “Nggak. Silahkan aja lo lanjutin apa yang mau lo lakuin sama cewek itu. Gue nggak peduli sama sekali!”             Shabrina kontan melongo dan menganga maksimal. Ya Tuhan, benar-benar minta dikutuk banget manusia bernama Arsyad Praseto itu! Shabrina tahu bahwa hubungannya dengan Arsyad memang tidak baik, bahwa keduanya bermusuhan. Tapi, masa iya dia tega melihat teman sekolahnya diperlakukan seperti ini?             Laki-laki berandal itu tersenyum puas dan mengusir Arsyad dengan tangannya. Arsyad hanya mendengus dan kembali berjalan, meninggalkan tempat itu. Shabrina kontan panik. Gadis itu merasa keringat dingin mulai membasahi pelipisnya. Dia merasa demamnya makin tinggi tapi dia juga menggigil dengan hebat. Aneh, bukan?             Tiba-tiba, dengan satu dorongan keras, laki-laki berandal itu mendorong tubuh Shabrina sampai membentur dinding. Benturan yang keras di punggungnya membuat Shabrina meringis menahan sakit. Kepalanya yang ikut terbentur juga membuat pandangan Shabrina kembali berputar.             “Nah, mari kita mulai acaranya, ya, cantik!” seringai laki-laki itu dengan senyum sinisnya. Kedua temannya hanya tertawa sambil saling pandang satu dengan yang lain. Shabrina yang berusaha memberontak tidak bisa melakukan apa-apa karena kedua tangannya ditahan dengan kuat di dinding yang penuh dengan coretan itu. Gadis itu hanya bisa menutup matanya kuat-kuat ketika melihat wajah si laki-laki berandal itu makin mendekat ke arahnya.             Ya Tuhan… tolonglah hamba-Mu ini…             Victor Daniel Pradipta… tolong sahabat lo ini…             Mendadak, bahu si laki-laki berandal itu dicekal dari belakang dengan paksa sampai tubuhnya berputar. Kemudian, satu pukulan keras diterima olehnya. Shabrina yang mendengar keributan itu kontan membuka kedua matanya dan terperangah. Si laki-laki yang berniat menciumnya itu sudah terkapar di aspal dengan sudut bibir yang mengeluarkan darah, begitu juga dengan kedua temannya. Shabrina mengerjapkan mata dan kembali terperangah ketika melihat sosok yang berdiri tepat di depan tubuhnya, membelakanginya, memberikan perlindungan untuknya.             “Gue emang nggak peduli sama lo, tapi gue nggak suka kalau ada cewek dikasari kayak tadi. Apalagi gue kenal sama cewek itu, meskipun dia itu nyebelin dan jutek abis!”             Shabrina menelan ludah susah payah ketika sosok itu menoleh melewati bahunya dan tersenyum ke arah gadis itu.             Arsyad?! ***  

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Cici BenCi Uncle (Benar-benar Cinta)

read
204.5K
bc

Suamiku Bocah SMA

read
2.6M
bc

Mrs. Fashionable vs Mr. Farmer

read
440.2K
bc

Sak Wijining Dino

read
162.0K
bc

Mendadak Jadi Istri CEO

read
1.6M
bc

Stuck With You

read
75.7K
bc

I Love You Dad

read
293.2K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook