Prolog + Part 1

754 Words
"Apa harus dengan cara dingin lo bertahan? Ada cara lain buat lo bertahan dari kejaran masa lalu lo." Alvatha tersenyum sinis, "Udah semua cara gue lakuin, dan alhasil cara ini doang yang berhasil." "Cinta, Tha!" Lelaki itu maju mendekati Alvatha, kedua tangan besarnya menangkup pipi Alvatha. "Lo coba dengan cinta. Karena cinta yang ampuh buat lo bertahan dan melupakan masa lalu lo! Dan cinta itu bakal gue tanam mulai dari sekarang." *** GADIS itu menghela napasnya, waktu sudah semakin sore. Semburat jingga juga sudah terlihat dari ufuk barat. Namun, gadis itu masih setia duduk di taman yang membuat bekas tersendiri bagi Alvatha. Alvatha Alenta Rain Xavierra, anak kedua dari keluarga Xavierra. Memiliki rambut panjang sebatas pinggang yang berwarna blonde. Warna mata cokelat yang selalu menampilkan sorot dinginnya, wajah datarnya seakan tak pernah menunjukkan bahwa dia bahagia. Di sekolah, Alvatha terkenal dengan sosok dingin, judes, cuek, datar, dan tidak peduli dengan sekitar. Hanya berdiam di kelas dengan headphone putihnya, atau membaca novel dan pergi ke perpustakaan. Alvatha membenci keramaian, Alvatha benci bentakan, ia juga membenci kebohongan. Karena itu semua, Alvatha terjebak oleh masa lalu. Dia tak bisa bangkit, hanya terpendar dalam kerapuhan. Hati bekunya menunjukkan bahwa Alvatha tidak mempunyai jiwa kehangatan. Kedinginan. Hingga kebekuan mendinginkan segalanya bagi Alvatha. Alvatha mempunyai dua orang sahabat, juga seorang saudara kembar. Namun, itu semua masih membuat hati Alvatha gelap. Terang Alvatha habis ditelan masa lalu, dua tahun yang lalu. Adera Lucia Marlez dan Azkia Marianna Serinna, dua orang yang pernah membenci Alvatha dan juga Alvatha benci, bertransformasi kembali menjadi sahabatnya. Memastikan bahwa kejadian dulu tidak akan terjadi. Alvatha benci itu, tapi Alvatha juga terjebak dalam hal itu. Semua menyangkut hati Alvatha, dan itu menyakitinya. Alvatha menghela napas, ia bangkit dari bangku taman itu. Menghampiri motor ninja berwarna silver yang terparkir di pinggir taman. *** "Udah pulang, Tha?" Alvatha hanya meliriknya, mengabaikan pertanyaan itu dan langsung menaiki tangga menuju kamarnya. Alvatha terhenti saat ada yang mencekal tangannya. "Gue ngomong sama lo, Tha." Alvatha menoleh kearah Alvaga yang merupakan saudara kembarnya, "Gue capek," jawabnya singkat dan langsung melepaskan cengkraman Alvaga. "Hargain seseorang jika lo juga mau dihargain, Tha." Alvatha kembali berhenti, ia tersenyum sinis. "Hargai? Gue bahkan gak nyuruh orang buat hargain gue." "Tapi, lo juga harus jaga sikap Alvatha!" "Kenapa? Takut kalo image keluarga Xavierra ini buruk karena mempunyai anak perempuan yang sikapnya nggak punya sopan santun. Gue tau, Ga, dari dulu yang di anak emaskan itu cuma elo. Jauh sebelum dia gue bawa kesini. Dan juga, lo sama keluarga lo dulu gak pernah hargain gue waktu gue mau kasih penjelasan!" Alvaga menghela napas, mencoba tidak ikut emosi mendengar ucapan Alvatha. "Tha, itu udah dulu! Kenapa masih lo ungkit-ungkit?" tanya Alvaga dengan nada herannya. Alvatha mengangguk dengan senyum sinisnya, "Lo bener Ga, itu udah dulu. Kenapa juga masih gue ungkit? Tapi satu hal Ga, itu yang kalian lakuin dan berimbas ke masa sekarang!" "Tha...." "Lo gak tau seberapa menderitanya gue dulu? Sampe gue dipungut orang Alvaga! Lo sama keluarga lo cuma mikirin nasib orang yang gue bawa. Gue sendiri Ga! Gue kedinginan, gue butuh pelukan mama, tapi apa yang gue dapet. Gue bahkan harus bersyukur dulu karena orang yang mungut gue itu orang baik, gue bahkan gak tau jadinya kalo sampe itu orang jahat." "Alvatha maaf...." "Itu kata yang selalu lo, keluarga lo, dua temen cewek b******n lo yang selalu kalian sebut. Gue bahkan risih saat ada orang yang dateng ke rumah Ibu dan mohon-mohon supaya gue kembali ke keluarga berengsek ini! Gue gak bisa mikir! Kalian semua gak ngerasain apa sama perasaan gue. Bahkan dengan tampang memohon kalian, kalian minta maaf ke gue setelah dengar langsung omongan dari orang pungut itu?" "Jaga omongan lo, Tha!" sentak Alvaga marah. "Kenapa? Tampar gue, Ga! Tampar kayak dulu lagi, biar hati lo puas liat gue menderita. Gue gak percaya, kita dulu satu kandungan Ga, lo bagian dari diri gue. Dan perasaan? Lo kalah sama cinta sialan itu dari pada sama cinta saudara?" "Gue gak nyangka punya adik yang pendendam." Alvaga mengucapkan itu dengan nada tidak percaya. Alvatha mengangguk, "Oke, gue catet itu. Tapi sayang Alvaga, keluarga yang mungut gue nggak mengajarkan hal itu. Mereka bahkan lebih suci daripada keluarga ini, gue juga masih ingat Nabi! Gue bukan dendam Vaga, tapi gue kecewa. Kecewa yang sangat ada di dasar. Sekarang aja lo belum bisa bedain karakter dan sifat gue. Iyalah, fokus lo dulu kan sama orang pungut itu dan lupa kalau lo punya gadis rapuh yang ada dihadapan lo sekarang." Alvatha kembali berbalik, "Congrats Ga, lo buat hati gue sakit untuk kedua kalinya."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD