Part 2

722 Words
ALVATHA turun dari tangga dengan tergesa-gesa, pakaiannya belum rapi, dasi masih berada di pundak kirinya. Sementara tasnya tersampir di pundak kanannya. Di anak tangga paling bawah Alvatha duduk untuk memakai sepatu yang dia tenteng di tangannya tadi. Sedikit merapikan rok dan membiarkan salah satu sisi bajunya keluar. "Tha...." Alvatha mengabaikan panggilan itu, dia berjalan menuju nakas di dekat meja makan lalu mengambil kunci motornya. Ia berjalan menuju meja makan, mengambil selembar roti, dan mengoleskan selai kacang di roti itu. "Tha, maaf. Gue semalem gak bermaksud bikin lo marah," ucap Alvaga yang duduk di depan Alvatha. Alvatha memandangnya dingin, "Gue lupa bilang apa semalem." Alvatha berbalik menjauhi meja makan dan juga Alvaga yang masih ada disana. "Alvatha...." "Ga, stop it. Jangan buat mood gue turun!" Alvaga menghembuskan napas keras, membiarkan Alvatha yang berjalan sambil memakan roti itu. *** Setelah memarkirkan motor ninja silvernya, Alvatha berjalan melangkah ke koridor kelas. Mengabaikan segala tatapan yang mengarah kearahnya. SMA Xavra, sekolah menengah atas yang dibangun oleh Rian Xavierra menjadi sekolahan Alvatha saat ini. Berada di kelas XI IPA 3, dan juga sekelas dengan dua teman cewek b******n Alvaga, membuat dia bosan setengah mati. "Alvatha!" Langkah Alvatha terhenti, ia menyeringai. Muncul juga dua teman cewek b******n Alvaga itu. Adera dan Azkia. Alvatha berbalik, sedikit menaikkan sebelah alisnya. "Pagi, Tha," sapa mereka berdua dengan riang. Alvatha hanya tersenyum dingin, ia kembali berbalik untuk melangkah menuju kelasnya. Namun baru dua langkah, Alvatha kembali terhenti. Di depan sana, ada tiga senior yang menghadang jalan Alvatha. Alvatha menatap mereka malas, sedikit menyamping untuk berjalan kembali. Alvatha harus menghela napasnya, mencoba sabar saat tangannya ditahan oleh salah satu senior itu. "Apa?" tanya Alvatha malas. Senior yang tadi mencekal tangan Alvatha ternyata bernama Tifa, ia langsung menatapnya marah. "Songong banget sih lo jadi junior!" "Apa hubungannya?" Murid-murid yang mendengar itu langsung mengerubungi mereka. "Seharusnya lo itu hormat! Gue senior di sini!" Alvatha terkekeh sinis, "Lo bukan anak presiden atau anak raja di sini. Buat apa dihormatin? Lagian yang hormatin lo juga dua kacung lo itu berarti orang yang paling bego sepanjang masa." Alvatha membenci sikap senioritas ketiga kakak kelas yang ada dihadapannya. Tifa menggeram mendengar jawaban Alvatha, tangannya terangkat untuk menampar pipi Alvatha. Mata Alvatha sontak terpejam, walau dia bisa mengantisipasi itu, tapi hal itu mendadak. Tidak ada rasa panas atau apapun yang menjalar ke pipi Alvatha, mata Alvatha terbuka. Menatap seorang cowok yang menahan tangan Tifa. "Jangan buat ulah lagi, Tif!" geram cowok itu. "Lepasin!" Tifa memberontak. Cowok itu menghempaskan tangan Tifa, Tifa sedikit mengaduh, tangan putihnya kini memerah akibat cengkraman cowok itu. "Sebagai senior lo seharusnya bangga, bangga buat contohin hal yang baik buat adik kelas lo. Bukan kayak gini, apa lo gak bisa mikir, Tif? Udah berapa kali lo ngebully orang? Lo percaya karma, kan? Jangan pakai gelar senior lo buat nindas orang sembarangan!" Tifa mendengus, merasa malu karena acara pembullyannya gagal karena kedua adik kelasnya itu. Dengan sedikit geram, Tifa berjalan menjauh setelah memberi tatapan peringatan untuk Alvatha. Setelah Tifa menjauh dan kerumunan sudah mulai membubarkan diri, Alvatha melirik cowok yang membantunya tadi. Hanya sekedar melirik, tanpa mengucapkan terima kasih atau apapun. Dan itulah sifat Alvatha sekarang. *** "Tha." Alvatha mendongak, menatap Alvaga yang sedang melongokkan kepalanya. Suasana kelas sepi saat ini, hanya ada Alvatha di kelas ini. Alvaga berjalan menuju Alvatha. "Lo diapain sama Tifa, Tha? Gak kenapa-kenapa, kan?" Alvatha menggeleng menjawab ucapan Alvaga. "Nih, gue bawa cilok kesukaan lo. Gue tau lo gak bakal keluar istirahat ini. Makan yang banyak, gue gak mau lo sakit perut." Alvatha tersenyum tipis, sangat tipis. Ia meraih bungkusan yang diberikan Alvaga. Meletakkan novel yang tadi dibacanya. Ada sebotol air mineral dan sebungkus cilok di dalam plastik itu. Alvatha mengeluarkannya, lalu memakannya. Alvaga tersenyum, ia bangkit lalu mengacak-acak rambut Alvatha. "Gue keluar ya? Nanti curiga kalau gue ada di sini." Alvatha mengangguk, membiarkan Alvaga pergi. Tidak ada yang mengetahui bahwa Alvatha adalah adik kembar Alvaga, itu adalah permintaan Alvatha. Ia tidak mau bertemu dengan para fake friend yang berkeliaran di luar sana dan mendekatinya, biar saja ia tetap berteman dengan dua orang b******n itu dari pada memperoleh teman palsu. Alvatha menghela napas, begitu sulit melupakan segala yang mereka-mereka lakukan padanya. Padahal mereka-mereka yang melakukan itu pada Alvatha saja sudah bisa melupakannya. Hanya waktu dan niat yang dapat membantu Alvatha. Jika niat tidak bisa melakukan itu, jadi harapan Alvatha hanya terarah pada waktu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD