Setelah berkeliling di lokasi proyek yang pertama, jam sudah menunjukkan pukul dua belas siang. Perut mulai keroncongan. Leon menutup map yang sejak tadi ia pegang, lalu menoleh ke arah Dinda yang masih sibuk mencatat di buku kecilnya.
“Din,” suara Leon tenang. “Kita istirahat dulu. Ayo makan siang. Ada warung favorit saya di dekat sini.”
Dinda sempat ragu, menatap sopan. “Wah… apa nggak apa-apa, Pak? Saya takut ganggu waktu Bapak.”
Leon tersenyum kecil. “Tenang saja. Anggap ini jam pelajaran tambahan, tapi di meja makan.”
Mereka akhirnya duduk di sebuah rumah makan sederhana. Aroma sop buntut mengepul dari meja sebelah, sementara suara sendok-garpu bercampur dengan musik dangdut pelan yang diputar dari radio tua di pojok ruangan.
Dinda yang awalnya canggung perlahan melepas tegang. Setelah suapan pertama, ia mulai bercerita, suaranya hangat.
“Pak, jujur… saya sebenarnya dulu bukan di dunia properti. Karier saya awalnya di perbankan. Bertahun-tahun saya jadi teller, lalu sempat pindah ke bagian kredit. Hehe, jadi kalau ada klien nanya soal KPR, bisa langsung saya jelasin tanpa lihat brosur.”
Leon menatapnya dengan ketertarikan baru. “Oh begitu? Bagus sekali. Jadi kamu sudah terbiasa menghadapi nasabah ya?”
“Iya, Pak,” jawab Dinda sambil tersenyum lebar. “Bedanya, dulu saya menawarkan pinjaman, sekarang saya menawarkan rumah. Sama-sama bikin orang mikir tujuh kali sebelum tanda tangan, cuma kalau dulu yang dikejar angsuran, sekarang yang dikejar cicilan rumah. Sama aja, ujung-ujungnya menguras dompet juga.”
Leon tertawa kecil, nadanya tulus. “Kamu ini bisa juga bikin hal serius jadi lucu.”
Dinda mengangkat bahunya sambil nyengir. “Ya… mungkin karena saya terbiasa menghadapi tekanan. Dari kecil, Pak, saya sudah bantu ekonomi keluarga. Di kampung, orang tua saya cuma jualan hasil kebun. Jadi saya ikut bantu jualan sayur keliling untuk biaya sekolah adik saya. Pernah juga jadi penjaga warung kecil, bahkan sempat jadi penyanyi hajatan. Hehe, jangan kaget kalau tiba-tiba saya nyanyi pas lagi marketing properti.”
Leon hampir tersedak mendengar kalimat terakhir. Ia tertawa terbahak, menutup mulut dengan serbet. “Serius kamu? Jadi penyanyi hajatan?”
“Serius, Pak!” Dinda menepuk dadanya. “Suara saya mungkin pas-pasan, tapi kalau sudah diiringi organ tunggal, semua orang di hajatan ikut joget. Kadang ada yang kasih saweran, kadang juga ada yang minta saya berhenti cepat-cepat. Jadi hasilnya tergantung penonton.”
Meja makan mereka mendadak jadi titik hangat. Beberapa orang di meja sebelah sampai ikut tersenyum melihat mereka.
Leon merasa heran pada dirinya sendiri—jarang sekali ia bisa tertawa lepas seperti ini di tengah jam kerja. Ada sesuatu pada Dinda yang membuat atmosfernya ringan: kejujuran, kepolosan yang dewasa, sekaligus keberanian untuk menertawakan masa lalunya sendiri.
Dinda melanjutkan dengan nada sedikit dramatis, tapi tetap diselingi humor.
“Pak tahu nggak, dulu saya pernah jadi gembala bebek waktu tinggal bareng sama kakekku yang pelihara bebek. Tiap hari aku jadi gembala bebek di sawah, jumlah bebeknya ada 50 ekor. Aku pernah jatuh terpeleset di sawah waktu ngejar bebek yang lari misah dari barisan"
Leon tertawa lagi, kali ini lebih keras. “Ya ampun, kamu ini… benar-benar paket lengkap. Bisa serius, bisa juga bikin suasana jadi absurd begini.”
Dinda hanya terkekeh, menunduk sebentar. “Hidup itu berat, Pak. Kalau nggak diselingi tawa, bisa-bisa saya sudah menyerah dari dulu. Jadi saya selalu mencoba lihat sisi lucunya, meskipun pahit.”
Suasana tiba-tiba hening beberapa detik. Kalimat itu sederhana, tapi menghunjam. Leon menatap Dinda lebih lama, matanya teduh. Ada rasa kagum sekaligus iba. Ia melihat bukan hanya karyawan baru yang canggung, tapi seorang perempuan tangguh—istri, ibu, sekaligus pekerja keras—yang memilih bertahan dengan senyum.
Senyap itu pecah ketika Dinda tiba-tiba menambahkan dengan polos, “Tapi tenang aja, Pak. Kalau di kantor saya nggak bakal nyanyi dangdut sambil nawarin rumah kok. Kecuali kalau kliennya emang suka dangdut, ya saya pertimbangkan.”
Leon menepuk meja sambil tertawa. “Astaga, kamu ini… bisa-bisa nanti iklan properti kita berubah jadi konser jalanan.”
Makan siang itu berakhir dengan tawa. Leon merasa ringan, seolah lelahnya hilang. Untuk pertama kalinya ia sadar, kehadiran Dinda membawa warna berbeda dalam kesehariannya—hangat, tulus, kadang absurd, tapi justru itulah yang membuatnya nyaman.
Setelah tawa mereka reda karena cerita absurd Dinda tentang masa kecilnya yang sering jadi "Gembala bebek", suasana meja makan siang itu perlahan melunak. Dinda menatap sendok di tangannya, lalu menunduk sebentar sebelum berkata dengan suara lembut,
“Pak, aku tuh sebenarnya dari kecil sudah terbiasa hidup prihatin. Kadang kalau lihat orang marah atau ngomel-ngomel karena hal kecil, aku suka heran. Soalnya bagiku, sepanjang bisa kita hadapi dengan sabar, hidup tuh jadi lebih ringan. Dulu, waktu bapak sakit dan bapak cuma kerja sebagai tukang pijat, aku harus belajar sabar. Kalau nggak, mungkin aku udah tumbang.”
Kata-kata itu diucapkan Dinda bukan untuk mencari simpati, melainkan seperti sebuah kejujuran polos. Mata Leon yang tadinya hanya memandang sambal di piring, kini berpindah menatap wajahnya. Ada kelembutan yang sulit ia jelaskan—seakan setiap kalimat Dinda membawa ketenangan.
Leon, yang biasanya kaku dan sulit membuka diri, kali ini justru merasa dadanya longgar. Ia mendengar, tanpa ingin menyela.
Dinda tersenyum kecil, menambahkan, “Aku percaya, orang itu diuji bukan biar jatuh, tapi biar jadi kuat. Kadang aku juga marah, kesal, ya wajar. Tapi aku selalu coba ingat, sabar itu nggak bikin rugi. Justru bikin kita bisa jalan lebih jauh.”
Leon terdiam lama, jemarinya tanpa sadar mengetuk pelan meja. Ada sesuatu yang menelusup, semacam rasa asing tapi hangat. Seumur hidupnya, ia bertemu banyak orang, banyak perempuan, tapi tak ada yang membuatnya ingin diam dan hanya mendengar, seperti saat ini bersama Dinda.
Ia menghela napas, lalu terkekeh lirih, mencoba menutupi kegugupannya.
“Kenapa kamu bisa ngomongnya setenang itu, Din? Aku aja kalau dengar orang ngerampas hakku sedikit, rasanya udah pengen meledak.”
Dinda tertawa kecil, matanya menatap Leon penuh pengertian.
“Ya, berarti kamu masih manusia, Pak Leon. Marah itu wajar. Tapi aku yakin, di balik marahmu, kamu orang baik. Cuma mungkin… belum nemu orang yang bisa bikin kamu merasa tenang.”
Kalimat itu menghantam Leon lebih keras dari apa pun. Bukan karena manisnya, tapi karena kejujuran dan kelembutan yang mengalir tanpa dibuat-buat.
Untuk pertama kalinya, Leon merasa ada seseorang yang tidak menilainya dari luarnya saja, tapi menyingkap sesuatu yang bahkan dirinya sendiri enggan akui. Hatinya berdesir aneh—bukan sekadar ketertarikan, melainkan perasaan seperti menemukan rumah.
Ia tersenyum tipis, hampir tidak sadar. “Mungkin kamu benar.”
Dinda menatapnya dalam, tapi tidak menuntut balasan apa-apa. Ia hanya tersenyum, lalu kembali menyuap makanannya dengan tenang. Sementara Leon, dalam hatinya mulai bergumam, wanita ini… berbeda. Beda sekali.
Tak lama , setelah mereka selesai makan siang, mereka melanjutkan ke lokasi proyek ke dua dan ke tiga
Mobil kembali melaju ke arah Jalan Diponegoro. Di kiri kanan jalan sudah tampak ramai pertokoan dan kafe-kafe baru yang sedang naik daun. Tak lama kemudian, mereka berhenti di sebuah gerbang besar bertuliskan “Diponegoro Business Residence”.
Dinda menatap kagum. Berbeda dengan Green Valley yang terasa asri, di sini nuansanya lebih modern, banyak unit ruko berdiri di depan kawasan hunian.
Leon menjelaskan sambil berjalan.
“Lokasi ini berbeda. Karena posisinya di jalur perdagangan, banyak pembeli yang mencari unit bukan hanya untuk tinggal, tapi juga untuk usaha. Ruko di depan harganya mulai dari 2,5 miliar, sedangkan unit rumah di dalam cluster sekitar 1,8 miliar.”
Dinda mencatat cepat.
“Berarti di sini target market kita lebih banyak pebisnis ya, Pak?”
“Tepat sekali,” Leon mengangguk. “Jadi kalau kamu presentasi, jangan bicara soal halaman atau suasana keluarga dulu. Fokus pada potensi usaha. Misalnya, ‘Lokasi ini hanya lima menit dari pusat kota, cocok untuk membuka kafe, klinik, atau kantor.’ Itu akan lebih menarik buat mereka.”
Leon berhenti sejenak, lalu menoleh ke Dinda.
“Coba, kamu praktek. Anggap saya pebisnis yang sedang mencari tempat usaha.”
Dinda tersenyum gugup, tapi mencoba.
“Selamat pagi, Pak. Di Diponegoro Business Residence, Bapak bisa mendapatkan lokasi strategis di jalur utama perdagangan. Ruko yang kami tawarkan memiliki parkir luas, akses mudah dari jalan raya, dan nilai investasi yang terus meningkat karena kawasan ini berkembang cepat. Jadi, sangat cocok untuk usaha kafe, kantor, atau bahkan showroom.”
Leon tersenyum, matanya berbinar.
“Bagus. Nada bicaramu mulai lebih percaya diri. Ingat, pembeli bisa merasakan keyakinan dari cara kita berbicara.”
Dinda tersenyum lega, merasa sedikit bangga pada dirinya.
Perjalanan berlanjut ke kawasan Soekarno Hatta. Kali ini nuansa berbeda lagi—jalan lebar, banyak gedung perkantoran, dan mall besar terlihat tak jauh dari sana. Mobil berhenti di sebuah kompleks perumahan baru bernama Central City Residence.
Gerbangnya megah dengan sistem keamanan digital. Begitu masuk, jalanan lebar dengan pepohonan tertata rapi menyambut mereka.
Leon membuka map dan menunjuk site plan.
“Ini proyek terbaru kita. Karena lokasinya di tengah kawasan bisnis, harga unitnya lebih tinggi—mulai dari 2,8 miliar. Yang dijual di sini bukan hanya rumah, tapi prestise. Jadi, pendekatan kita ke calon pembeli juga berbeda.”
Dinda mengerutkan kening, penasaran.
“Beda seperti apa, Pak?”
Leon menatapnya serius.
“Di sini, kamu tidak bisa sekadar bicara soal bahan bangunan atau keamanan. Kamu harus menekankan gaya hidup. Contohnya: dekat mall, dekat perkantoran, akses tol lima menit. Pembeli di sini biasanya eksekutif muda atau keluarga mapan yang ingin menunjukkan status mereka.”
Dinda mengangguk, lalu mencoba simulasi lagi.
“Selamat siang, Pak. Central City Residence menawarkan hunian bergengsi dengan akses langsung ke pusat bisnis dan hiburan. Dengan fasilitas clubhouse, kolam renang, dan keamanan 24 jam, rumah ini bukan hanya tempat tinggal—tapi simbol pencapaian.”
Leon terdiam sejenak, lalu tersenyum puas.
“Bagus, Dinda. Kamu sudah bisa menangkap intinya. Ingat, jualan properti itu bukan sekadar jual rumah—tapi jual mimpi, gaya hidup, dan masa depan.”
Dinda tersenyum malu, merasa lega. Meski keringat dingin masih membasahi telapak tangannya, ada semacam keyakinan baru yang tumbuh di dadanya. Ia mampu belajar. Ia mampu berkembang.