BAB 4 Retak Yang Tersembunyi

1517 Words
Sore itu, cahaya matahari sudah mulai meredup, menyelinap masuk melalui celah tirai kantor yang mulai sepi. Hanya suara ketikan laptop dan kertas yang berdesir terdengar di ruangan itu. Leon duduk di balik meja, wajahnya serius menatap layar komputer. Sesekali ia melirik ke arah Dinda yang sibuk membereskan berkas. Tiba-tiba ponselnya bergetar. Sebuah pesan w******p masuk. Dari istrinya, Kiara. "Ayah tolong jemput aku sekarang di rumah papa, jangan lama. Semua keluarga sudah kumpul, jangan bikin malu." Leon menarik napas panjang. Ujung bibirnya sempat menegang, namun ia tetap berusaha menata ekspresi agar terlihat tenang. Sore ini ia ingin menuntaskan pekerjaan, tapi pesan itu bagai perintah yang tak bisa ditawar. “Din, aku pulang duluan, ya,” ucap Leon sambil menutup laptopnya. Suaranya terdengar biasa saja, meski di dalam d**a ada rasa berat. Dinda mendongak, mengangguk kecil. “Baik, Pak Leon. Hati-hati di jalan.” Leon sempat tersenyum tipis, lalu memberikan sedikit pengarahan tentang pekerjaan yang harus Dinda selesaikan besok. Setelah itu, ia beranjak pergi. Keluar dari gedung kantor, Leon langsung menuju parkiran. Mobil hitam milik orang tua Kiara—yang dipinjamkan padanya untuk bekerja—sudah menunggu di bawah temaram senja. Leon masuk, menghidupkan mesin, lalu melajukan mobil itu menuju rumah mertuanya. Begitu sampai, Leon melihat halaman rumah mertuanya yang megah sudah penuh dengan mobil-mobil mewah. Sedan-sedan berkilau, SUV terbaru, bahkan mobil sport yang entah berapa harganya. Semua milik ipar-iparnya yang sukses: ada yang bekerja sebagai pejabat, ada yang jadi pengusaha. Leon turun dari mobil, melangkah masuk. Ruang tamu sudah ramai dengan canda tawa keluarga besar. Aroma masakan syukuran menyeruak, bercampur dengan suara riuh obrolan. Di antara keramaian itu, Leon merasa dirinya seperti orang asing. “Leon, kamu baru datang?” suara Kiara menyambut, tapi bukannya hangat, justru terdengar dingin. “Ya, tadi masih di kantor,” jawab Leon pelan. Kiara tersenyum tipis, lalu dengan suara cukup keras—sengaja agar terdengar orang sekeliling—ia menoleh ke arah salah satu saudaranya. “Kalau kakakku kan beda, ya. Lihat tuh, mobilnya ada tiga. Belum rumahnya di kota. Kalau Leon… ya, kamu tahu lah. Kerja di kantor agen properti, gaji pas-pasan, bonus pun belum tentu. Mobil ini aja pinjaman dari Papa.” Beberapa keluarga yang mendengar ikut tertawa kecil, ada pula yang hanya terdiam canggung. Leon menunduk, menggenggam erat jemarinya. Urat di lehernya menegang, tapi bibirnya tetap terkunci rapat. “Jangankan beli mobil,” Kiara menambahkan, kali ini menatap Leon dengan tatapan menusuk, “motor aja nggak punya. Gimana mau banggain aku di depan keluarga?” Kalimat itu bagaikan belati. Menyobek harga dirinya yang selama ini sudah tergerus perlahan. Leon mencoba menahan diri. Di depan mertua dan ipar, ia tidak pernah bisa membela diri. Setiap kali membuka mulut, Kiara pasti memotongnya, seolah-olah semua yang keluar dari dirinya adalah kesalahan. “Kenapa diam saja? Aku bicara sama kamu, Leon,” bentak Kiara tiba-tiba, membuat beberapa orang menoleh. Leon hanya menghela napas panjang. Ia tahu, apa pun jawabannya, akan salah. Apa pun yang ia lakukan, akan dianggap kurang. Sejak awal pernikahan, beginilah hidupnya. Ia selalu ditempatkan di posisi rendah, selalu dibandingkan, selalu dianggap tak berguna. Di tengah sorak-sorai syukuran keluarga itu, Leon justru merasa paling sendirian. ------- Suara deru motor berhenti di depan rumah. Senja baru saja turun, langit sudah berwarna temaram keunguan. Dinda melepas helm perlahan, pundaknya terasa berat setelah seharian bekerja. Ia mendorong pagar kecil, lalu mematikan motor dengan gerakan lambat. Begitu pintu rumah dibuka, pemandangan yang sama selalu menyambutnya: lantai penuh debu, remahan biskuit berceceran di karpet, cucian piring menggunung di wastafel, dan tumpukan pakaian kotor masih teronggok begitu saja di sudut. Aroma masakan basi dari siang tadi masih tercium samar. Dinda menarik napas panjang. Astaghfirullah… sabar, Din. Sabar… bisiknya dalam hati. Ia berjalan ke arah kamar. Dari celah pintu yang terbuka, terlihat Arman—suaminya—terlentang di kasur, sibuk menatap layar HP. Di sampingnya, Nayla kecil duduk bersandar sambil asyik menonton TV, boneka Barbie di pangkuannya. “Pah…” suara Dinda pelan tapi sarat dengan letih. Arman tidak menoleh, hanya menggumam, “Hm?” “ Kenapa rumah masih kotor?,Dari pagi nggak disapu, nggak diberesin sama sekali?” tanya Dinda dengan nada setenang mungkin. Namun, bukannya mendapat jawaban, ia justru mendapat bentakan. “Ya nanti juga aku bersihin! Jangan sukanya cari-cari kesalahan terus!” suara Arman meninggi, matanya tak lepas dari HP. Dinda terdiam. Ujung matanya panas, tapi ia menahannya. Ia melangkah keluar kamar, lalu menjatuhkan tubuh ke sofa ruang tengah. Ia memejamkan mata sejenak, menengadah. Ya Allah, beri aku kesabaran, beri aku kekuatan… jangan biarkan aku hancur di depan anakku… Suasana hening sesaat, sampai suara kecil Nayla memecah kesunyian. “Mama capek ya? Baru pulang kerja…” tanyanya polos, menoleh dari boneka yang ia peluk. Dinda membuka mata, menatap wajah anaknya. Ada ketulusan di sana, bening seperti air. Belum sempat menjawab, Nayla sudah berlari kecil ke dispenser. Tangannya berusaha meraih gelas, menuangkan air putih dengan hati-hati, meski beberapa tetes tumpah di lantai. “Nih, Ma… aku ambilin minum buat Mama,” katanya sambil menyerahkan gelas dengan senyum lebar. Dinda menerima gelas itu, matanya berkaca-kaca. Ia menatap anaknya lama, seolah seluruh penat hari itu luruh seketika. Dengan lembut, ia mengusap rambut Nayla. “Anak Mama yang paling pintar… yang paling baik,” ucapnya, lalu mengecup pipi kiri dan kanan putrinya dengan penuh kasih sayang. Nayla terkikik kecil, memeluk pinggang ibunya. Sementara di kamar, Arman tetap terbaring, jari-jarinya sibuk menari di layar HP, seakan dunia di sekitarnya tak pernah ada. Di ruang tamu yang sederhana itu, cinta dan luka berdiri berdampingan. Dinda menemukan kebahagiaan kecil dalam senyuman anaknya, meski hatinya terus teriris oleh sikap suami yang tak kunjung berubah. Dinda menatap wajah Nayla yang tertidur di pangkuannya. Nafas kecil putrinya terdengar teratur, tenang, seolah dunia ini tidak pernah menyakitkan. Jemari mungil itu masih menggenggam boneka Barbie, sementara pipinya menempel di lengan Dinda. Senyum tipis tersungging di bibirnya, tapi hatinya getir. Anakku, hanya kamu alasan Mama masih kuat berdiri sampai hari ini… Matanya menerawang ke langit-langit rumah yang remang. Sunyi menyergap, hanya sesekali suara televisi dari kamar terdengar—suaminya masih asyik dengan dunianya sendiri. Dinda menarik napas panjang, dadanya sesak. Kenapa rasanya aku selalu sendirian? Kenapa setiap kali pulang, yang menunggu hanya rumah berantakan dan kata-kata dingin? Padahal aku berlari seharian, berjuang demi kita semua… Dalam hening itu, satu nama muncul di benaknya. Leon. Bukan sengaja, tapi bayangan itu selalu hadir ketika hatinya lelah. Ia teringat tatapan Leon di kantor—tatapan yang tak pernah menghakimi, yang seolah berkata: aku mengerti kamu, Din. Leon… kenapa justru kamu yang bisa mendengar keluhanku tanpa mengeluh balik? Kenapa kamu yang bisa membuatku merasa ada, merasa dihargai? Di rumah ini… ia hanya menjadi mesin: mesin pencari nafkah, mesin pengurus rumah, mesin yang tak pernah dianggap. Air mata jatuh pelan di pipinya. Ia cepat-cepat menyekanya, takut Nayla terbangun. Ya Allah, aku hanya manusia biasa. Aku rapuh. Aku ingin dimengerti, aku ingin dirangkul. Tapi kenapa orang yang mengerti itu bukan suamiku sendiri? Dinda menunduk, mengecup kening Nayla. “Maaf ya, Nak,” bisiknya nyaris tak terdengar, “Mama nggak boleh salah langkah. Mama harus kuat, demi kamu…”. Dinda masih menunduk di sofa, matanya menatap gelas air yang setengah kosong, ketika tiba-tiba ponselnya bergetar nyaring. Layar menyala, menampilkan nama adiknya. Dengan rasa penasaran yang bercampur cemas, Dinda menggeser layar untuk menjawab. “Mba…… Ibu sakit,” suara adiknya terdengar tergagap di ujung telepon. Jantung Dinda seakan berhenti berdetak sejenak. “Apa… apa yang terjadi? Kenapa, Dek? Bagaimana kondisi ibu?” Ia merasa dunia tiba-tiba runtuh di sekelilingnya. “Katanya sakitnya… pusing parah, muntah-muntah… kami khawatir, Din. Tolong… datanglah,” suara adiknya penuh panik, hampir menahan tangis. Dinda menelan ludah, dadanya terasa sesak. “Aku… aku berangkat sekarang!” gumamnya panik, suaranya hampir bergetar. Ia menatap Arman yang masih terbaring di kamar, sibuk dengan layar HP-nya sendiri. “Pah… cepat antar aku ke rumah ibu!” seru Dinda sambil berdiri, matanya menatap tajam ke arah Arman. “Ini darurat, Pah. Ibu sakit!” Namun Arman hanya mengangkat bahu, wajahnya tetap dingin. “Tidak. Nanti juga bisa besok pagi. Malam-malam gini, kamu mau pergi ke rumah orang tua sendirian? Nggak boleh!” Dinda terpaku. “Tapi… ini darurat, Pah! ibu sakit!” Arman mendesah, suaranya meninggi. “Aku bilang nggak boleh! Besok kan libur kerjamu, besok pagi kita ke sana. Jangan membuat masalah.” Hati Dinda berdebar kencang. Perasaan takut bercampur marah, campur frustasi. Ia menatap Arman, mencari sedikit pengertian, tapi yang ia temukan hanya ketegaran dan kekakuan. Dengan napas panjang, Dinda akhirnya menunduk. “Baik, Pah… kalau begitu, besok pagi kita pergi,” suaranya lirih, nyaris menyerah. Ia menatap ponsel dan berkata pada adiknya, “Aku baru bisa menjenguk ibu besok pagi. Tolong jaga Ibu sampai aku datang.” Ponsel di tangan terasa berat. Dinda menutup mata sejenak, menahan gemuruh emosi di dadanya. Di dalam hati, ia berbisik: Ya Allah, kuatkan aku… beri aku kesabaran… aku tak bisa memaksakan segalanya sekarang… Ia menurunkan kepala, memeluk diri sendiri sejenak, mencoba menenangkan diri. Malam itu terasa panjang dan sepi, meski di rumah ada Nayla yang tertidur pulas di sofa. Kesedihan, cemas, dan ketidakberdayaan bercampur menjadi satu, menorehkan luka yang tak terlihat, tapi sangat nyata di hati Dinda.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD