BAB 5 Nada Dalam Sunyi

1730 Words
Malam itu, Dinda terjaga di tengah hening kamarnya. Suara angin yang menembus jendela seolah membisikkan kegelisahannya, tapi ia tak bisa tidur. Pikirannya kacau, hatinya panas karena kabar tentang ibunya yang sedang sakit. Ia ingin sekali menceritakan semua perasaannya—tapi pada siapa? Matanya menatap layar ponsel, dan tiba-tiba satu nama muncul di pikirannya. Leon. Ia belum pernah terlalu dekat dengan Leon, tapi ada sesuatu yang membuatnya merasa nyaman untuk curhat malam ini. Tanpa ragu, Dinda membuka w******p dan mengetik pesan. “Pak Leon, sedang apa?” Di sisi kota lain, Leon duduk di sofa ruang tamunya, menatap kosong langit malam dari jendela. Pikirannya masih tertahan pada kata-kata istrinya tadi sore di rumah mertuanya. Setiap kalimat Kiara yang membandingkannya dengan saudara-saudaranya yang lebih kaya terasa menusuk hatinya. Ia menundukkan kepala, tak sadar air mata menetes di pipinya. Getaran ponsel memecah lamunannya. Pesan dari Dinda muncul di layar. “Pak Leon, sedang apa?” Leon terkejut. Dinda… mengiriminya pesan. Ia membalas cepat. “Sedang melamun,” ketiknya. Tak lama, balasan Dinda muncul: “Sama dong.” Hatinya bergetar. “Sama dong…?” batinnya. “Apa maksudmu?” Leon penasaran. “Kamu melamunin apa, Din?” Dinda tak ragu. Kata-katanya mengalir begitu saja, menumpahkan semua beban hati yang selama ini dipendam. “Ibuku sakit, tapi aku belum bisa menjenguknya sekarang,” tulis Dinda. Leon mengetik balasan dengan cepat, sedikit tegang: “Kenapa, Din?” Dinda membalas, suara hatinya hampir terdengar lewat kata-kata itu: “Suamiku tidak mengizinkan, dan aku harus patuh dengan suamiku.” Leon diam sejenak, menatap ponselnya. Hatinya merasakan campuran kesedihan dan empati. Dengan lembut, ia membalas: “Iya, betul… istri memang harus menuruti kata-kata suami.” Dinda hanya membalas dengan emoticon tersenyum, tapi senyuman itu terasa penuh arti bagi Leon. Ada sesuatu yang hangat dan menenangkan. Beberapa detik hening kemudian, Dinda menulis lagi: “Pak Leon, tadi lagi melamunin apa?” Leon menatap layar, menarik napas panjang. Tanpa ragu, ia membuka isi hatinya untuk Dinda. “Aku… sedang sakit hati, Din. Istriku tadi membanding-bandingkanku dengan saudara-saudaranya yang kaya semua. Rasanya… rasanya seperti aku tidak pernah cukup untuknya,” ketiknya, seakan setiap kata yang ia tulis membuat dadanya lebih ringan. Dinda membalas cepat, seakan mengerti, dan mengirimkan sebuah lagu yang selama ini menjadi penyemangatnya: “Melukis Senja” feat Doremi. Leon membuka link itu, dan perlahan alunan musik mengalir di telinganya. Nada-nada lembut itu menembus hati, seolah berkata: “Tenanglah, semua akan baik-baik saja.” Leon menutup mata, membiarkan musik itu meresap ke dalam hatinya. Ia merasa lebih ringan, lebih damai, dan entah mengapa, wajah Dinda terbayang di benaknya—wajah yang selalu mampu menenangkan setiap kegelisahan hati. Dinda menulis lagi: “Aku selalu mendengarkan lagu-lagu yang bisa membuat hatiku tenang setiap kali sedih. Aku ingin pak Leon juga merasakannya.” Leon tersenyum, meski sendirian di ruang tamunya. Kata-kata itu sederhana, tapi mengandung pelajaran yang dalam. Satu lagu, satu pesan, dan satu hati yang memahami—itu sudah cukup untuk membuat malam yang gelap menjadi terang. Hening menyelimuti mereka sejenak, hanya diisi oleh bunyi notasi musik yang lembut dan getar ponsel di tangan masing-masing. Tanpa sadar, jarak antara mereka terasa semakin dekat, meski kota membentang di antara mereka. Leon tersenyum lagi, dan kali ini, hatinya terasa hangat. Ia membalas: “Terima kasih, Din… untuk malam ini. Aku… merasa tidak sendirian lagi.” Dinda membalas hanya dengan satu kata yang sederhana, namun penuh makna: “Sama-sama, Pak Leon. Semoga esok lebih baik.” Lagu Melukis Senja masih berputar di telinga Leon. Ia menutup mata, meresapi setiap kata, seolah lagu itu sedang berbicara langsung padanya. Hatinya terasa jauh lebih ringan. Senyum tipis muncul di wajahnya, sebuah senyum yang sudah lama tak ia rasakan. Leon menatap layar ponselnya lagi. Jemarinya ragu sejenak, sebelum akhirnya mengetik sebuah pesan. “Din… terima kasih sudah kirim lagu itu. Boleh aku gantian kirim lagu juga?” Tak lama, balasan muncul: “Tentu boleh, Pak Leon 😊 aku senang mendengarkan lagu-lagu.” Leon menarik napas panjang. Ia membuka playlist lama di ponselnya, koleksi lagu-lagu dari masa mudanya dulu. Jemarinya berhenti pada satu judul yang begitu berarti baginya—“Akhirnya Ku Menemukanmu” dari Naff. Lagu itu dulu sering ia dengarkan saat masih muda, saat hatinya penuh dengan impian tentang cinta yang sederhana dan tulus. Dengan sedikit degup di d**a, ia mengirimkan link lagu itu pada Dinda, menambahkan satu kalimat pendek: “Din… lagu ini dulu sering jadi penyemangatku. Malam ini… aku ingin mempersembahkannya untukmu.” Dinda membaca pesan itu. Seketika dadanya bergetar. Ia menekan tombol play, dan alunan suara lirih nan emosional dari Naff mengalun lembut di telinganya. Kata-kata dalam lagu itu terasa menyusup masuk ke hatinya, membuatnya tersanjung sekaligus baper. Dinda menutup mata, membiarkan bait demi bait membawa hatinya hanyut. Akhirnya ku menemukanmu… begitu syahdu, begitu personal, seolah-olah Leon benar-benar menyanyikannya untuk dirinya. Jantungnya berdetak lebih cepat. Ada rasa hangat yang tak bisa ia jelaskan. Ia tahu, seharusnya ia menjaga jarak. Tapi malam itu, dalam ruang sunyi, pesan sederhana dari Leon, dan sebuah lagu lama, membuat batas-batas itu melebur. Tangannya gemetar ketika ia mengetik balasan: “Pak Leon… lagu ini indah sekali. Aku… tersanjung, benar-benar tersanjung kamu memperuntukkannya untukku.” Leon membaca, lalu tersenyum samar. Ia menatap layar ponsel, lalu membalas dengan hati-hati, tapi penuh kejujuran: “Aku tidak tahu kenapa, Din… tapi waktu dengar lagu ini, wajahmu yang terlintas di kepalaku. Seperti… kamu yang membuatku menemukan ketenangan yang selama ini hilang.” Pesan itu membuat hati Dinda makin bergetar. Ia menggigit bibir bawahnya, menahan senyum sekaligus perasaan yang sulit ia definisikan. Ia tahu, ada sesuatu yang mulai tumbuh dalam diam. Dinda membalas pelan, seolah takut kata-katanya terlalu jauh: “Mungkin… malam ini memang Tuhan sedang mengizinkan kita saling menemukan. Dalam bentuk yang sederhana, lewat sebuah lagu.” Lama mereka terdiam, hanya mendengarkan lagu masing-masing. Namun keheningan itu bukan jarak, melainkan jembatan yang mendekatkan hati mereka. Di tengah malam yang sepi, Leon dan Dinda sama-sama menyadari—ada sesuatu yang mulai bersemi. Bukan cinta yang gegap gempita, melainkan rasa yang halus, hangat, dan perlahan menyatukan mereka dalam cara yang tak pernah mereka duga. Malam semakin larut. Di luar jendela, langit pekat tanpa bintang, hanya suara jangkrik yang mengisi kesunyian. Namun, bagi Leon dan Dinda, malam itu terasa hidup—seakan dunia hanya milik mereka berdua, dihubungkan oleh kata-kata dan lagu. Lagu Akhirnya Ku Menemukanmu masih berputar di telinga Dinda. Setiap baitnya ia resapi, seolah kata-kata itu adalah ungkapan hati Leon yang tak pernah terucapkan. Senyumnya muncul pelan, lalu ia mengetik: “Pak Leon… lagu ini benar-benar menyentuh hati. Rasanya seperti aku sedang diberi hadiah paling indah malam ini.” Leon membaca pesan itu, dadanya hangat. Jemarinya bergerak cepat, seolah takut rasa ini menguap begitu saja. “Din… aku cuma ingin kamu tahu, lagu ini bukan sekadar kenangan bagiku. Tapi juga doa… doa untuk bisa menemukan ketulusan dalam hidup. Dan malam ini, aku merasa doa itu terkabul lewat kehadiranmu.” Pesan itu membuat Dinda terdiam. Hatinya bergetar hebat, wajahnya merona meski tak ada yang melihat. Ada sesuatu dalam kata-kata Leon yang tulus, yang membuatnya merasa dihargai dan dimengerti. Ia mengetik pelan, dengan tangan sedikit gemetar: “Pak Leon… suatu saat nanti, kalau ada kesempatan… aku akan menyanyikan lagu ini untukmu." Leon terhenyak membaca kalimat itu. Matanya memanas, senyum dan air mata bercampur di wajahnya. Kata-kata Dinda seperti menembus setiap lapisan luka yang ia simpan selama ini. Ia menutup mata sejenak, membiarkan perasaan itu meresap dalam-dalam. Tangannya lalu bergerak, menuliskan balasan dengan jujur: “Din… aku tidak tahu harus berkata apa. Tapi malam ini, kamu membuatku merasa benar-benar dihargai. Kamu membuatku percaya… kalau cinta yang tulus itu masih ada. Terima kasih… sudah hadir.” Bagi Leon, malam itu bukan hanya tentang lagu. Itu adalah malam ketika ia benar-benar merasa menemukan cinta yang tulus—dari seseorang yang hadir tanpa diminta, namun begitu berarti. ---- Ponsel Leon kembali bergetar. Nama Shinta muncul lagi di layar, kali ini dengan notifikasi foto. Leon sempat menarik napas panjang sebelum membukanya. Foto itu memperlihatkan Shinta berpose manja, wajahnya setengah tersenyum dengan bibir sedikit manyun, jelas-jelas sengaja dibuat menggoda. “Pak Leon… jangan pura-pura nggak suka, deh. Aku tahu, di balik wajah seriusmu itu ada sisi nakal juga,” tulisnya, lengkap dengan emotikon nakal. Leon spontan tertawa terbahak, bukan karena terpesona, melainkan karena gaya Shinta yang kelewat percaya diri. Tawa itu membuat Kiara yang duduk di sampingnya melirik tajam. “Kamu ketawa apaan, Mas?” Kiara menatap dengan curiga. Leon buru-buru mengangkat ponsel, menggeser layar ke bagian chat yang netral. “Teman kerja, Bun. Ngirim foto konyol. Lucu banget, makanya aku ketawa.” Kiara masih memicingkan mata, tapi tidak banyak bicara. “Hmm… jangan aneh-aneh, Mas,” katanya ketus, sebelum kembali sibuk dengan ponselnya sendiri. Leon menunduk lagi ke layar. Shinta masih belum berhenti. “Kalau aku bilang kangen sama Pak Leon, boleh nggak?” tulisnya. Leon mengetik cepat: “Shin, kamu ini… jangan aneh-aneh. Temenin suamimu aja.” Balasan datang kilat: “Suamiku jauh, Mas Leon. Aku butuh teman ngobrol. Dan jujur aja, aku lebih suka ngobrol sama kamu. Kamu itu… bikin aku deg-degan.” Leon kembali hanya mengirim emotikon ketawa 😂, berusaha tidak memancing lebih jauh. Tapi Shinta semakin menjadi-jadi. “Jangan ketawa doang dong, mas. Aku serius. Kalau nanti kita ketemu, aku janji bikin malamnya nggak ngebosenin. Kamu pasti betah sama aku.” Leon menggeleng sambil menahan tawa. Ia bahkan menepuk dahinya sendiri. “Ya ampun, Shinta…” gumamnya lirih. Pesan berikutnya masuk lagi, lebih frontal: “Eh, jangan bilang-bilang Kiara ya. Cukup kita aja. Aku yakin kamu juga kadang butuh hiburan.” Leon sampai tersedak minumannya sendiri membaca kalimat itu. Ia buru-buru menahan tawanya agar tidak menarik perhatian Kiara lagi. Namun wajahnya jelas menunjukkan ia sedang menahan sesuatu. Kiara melirik lagi, kali ini lebih tajam. “Kamu itu kenapa sih, Mas? Dari tadi cekikikan sendiri. Ada yang lucu banget?” Leon cepat-cepat menjawab, mencoba terdengar santai. “Ini loh, Bun, grup kantor rame banget. Pada bercandaan aneh-aneh. Hahaha…” Kiara masih menatapnya dengan penuh kecurigaan, tapi memilih tidak memperpanjang. Leon kembali menunduk ke layar. Ia mengetik singkat ke Shinta: “Shin, aku serius. Jangan bikin masalah. Aku cuma bisa ketawa lihat tingkahmu. Udah ya.” Tapi Shinta membalas lagi dengan nada manja: “Ketawa aja udah cukup, Pak. Itu tandanya aku berhasil bikin kamu mikirin aku.” Leon akhirnya meletakkan ponsel di meja, menghela napas panjang. Dalam hati, ia bergumam: “Astagfirullah, perempuan ini… bisa bikin hidupku runyam kalau diturutin.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD