Minggu pagi itu, udara terasa sejuk. Dinda bersama Arman, suaminya, dan putri kecil mereka, Nayla, bergegas menuju rumah ibunya. Sejak semalam adik Dinda mengabarkan bahwa ibu sedang sakit. Hati Dinda langsung dipenuhi cemas, ia tidak bisa tenang sebelum melihat keadaan ibunya sendiri.
Begitu sampai, Dinda langsung berlari kecil menuju kamar. Ia mendapati ibunya terbaring lemah di atas ranjang kayu sederhana. Selimut menutupi tubuh ibunya, wajahnya pucat, namun masih menyunggingkan senyum begitu melihat anak sulungnya datang.
“Dinda… kamu datang juga,” suara ibunya lirih.
“Iya, Bu. Aku di sini,” Dinda duduk di tepi ranjang, menggenggam tangan ibunya yang terasa hangat. Arman dan Nayla ikut mendekat, berdiri dengan tatapan khawatir.
“Ibu sakit apa?” tanya Dinda lembut, menahan rasa panik di dadanya.
“Demam sama pusing, Din… mungkin ibu kecapekan,” jawab ibunya pelan.
Dinda mengusap kening ibunya yang terasa panas. “Bu, mau periksa ke rumah sakit? Nanti aku antar.”
Ibunya mengangguk pelan. “Iya, Dinda. Mungkin memang lebih baik diperiksa.”
Dinda menoleh ke suaminya. “Pah, tolong pesankan mobil Grab, ya.”
“Iya,” jawab Arman cepat, sambil mengeluarkan ponselnya.
Sementara itu, Dinda membantu ibunya bersiap: mengganti pakaian dengan baju yang lebih nyaman, menyelipkan kartu berobat dan identitas ke dalam tas kecil, lalu menyiapkan air minum. Hatinya terasa sesak, setiap melihat ibunya sakit, ia merasa dunia runtuh.
Tak lama, mobil Grab datang. Dinda dan Arman dengan hati-hati membantu ibunya naik. Nayla duduk manis di samping neneknya, sesekali menggenggam tangan sang nenek seolah memberi semangat.
---
Di ruang pemeriksaan, seorang dokter umum menyambut mereka dengan ramah. Lelaki paruh baya itu membaca cepat data pasien, lalu menoleh pada Dinda.
“Selamat pagi, Ibu. Ini ibunya, ya?”
“Iya, Dok. Saya anaknya. Tolong periksa ibu saya, sejak semalam demam dan pusing.”
Dokter tersenyum hangat, lalu memeriksa. Ia mengecek tensi, mendengar detak jantung dengan stetoskop, mengambil sampel darah kecil untuk cek gula, serta memeriksa kadar asam urat. Dinda tak lepas memandang wajah ibunya yang pasrah.
“Bagaimana, Dok?” tanya Dinda cemas, matanya berkaca-kaca.
Dokter menuliskan catatan, lalu menatap Dinda dengan tenang. “Tenang, Bu Dinda. Hasil pemeriksaan ibu normal. Gula darah bagus, tekanan darah stabil, asam urat juga aman. Tidak ada tanda bahaya.”
Dinda menarik napas lega, tapi masih gelisah. “Lalu kenapa ibu terlihat sangat lemah, Dok?”
“Ini hanya demam ringan, mungkin akibat kecapekan atau kurang istirahat. Saya sarankan cukup istirahat, perbanyak minum air hangat, dan minum obat yang saya resepkan. Tidak ada yang perlu terlalu dikhawatirkan.”
Mata Dinda berkaca. “Syukurlah… Terima kasih banyak, Dok.”
Dokter tersenyum bijak. “Ibu beruntung punya anak seperti Anda, yang sigap membawanya ke rumah sakit. Dukungan keluarga adalah obat terbaik.”
Dinda menunduk, menahan haru. Dalam hatinya ia berjanji, apapun yang terjadi, ia akan selalu menjaga ibunya.
----
Sampai di rumah, Dinda menyuruh ibunya langsung beristirahat di kamar. “Bu, jangan pikirkan pekerjaan rumah dulu, ya. Ibu istirahat saja, biar aku yang urus.”
Ibunya tersenyum lemah. “Iya, Dinda. Terima kasih.”
Setelah memastikan semua beres, Dinda mengajak Arman dan Nayla ke pemakaman. Seperti kebiasaannya setiap kali pulang, ia tak pernah lupa singgah di makam sahabat kecilnya, Adi. Sudah delapan tahun berlalu sejak Adi pergi, enam bulan setelah Dinda menikah, saat menjelang ulang tahun Adi yang ke 26. Namun, bagi Dinda, sampai kapan pun Adi akan tetap hidup di dalam hatinya.
Mereka membersihkan makam dengan sapu lidi kecil, menyiram bunga, lalu mengirim doa bersama-sama.
“Ma, ini makam siapa?” tanya Nayla polos, menatap nisan dengan penuh rasa ingin tahu.
Dinda tersenyum lirih, matanya basah. “Ini makam teman mama, Dek. Teman mama sejak mama pertama mengenal dunia, sampai sekarang… teman yang baik.” Jemarinya mengusap perlahan ukiran nama sahabat kecilnya itu, seakan sedang menyentuh wajah yang sudah lama tak ditemuinya.
Air matanya mengalir, tapi senyumnya juga terbit saat kenangan lama muncul begitu jelas.
“Din… ayo keluar, duduk di teras. Malam ini bintangnya banyak.”
Suara Adi kecil begitu nyata di telinga Dinda. Ia bisa membayangkan lagi, dua anak kecil bersarung duduk di dingklik kayu tua, menatap langit hitam penuh taburan bintang.
“Din, kalau ada bintang jatuh, tutup mata, terus minta satu permintaan,” kata Adi dulu, matanya berbinar seperti menaruh harapan besar.
“Emang bisa jadi kenyataan, Di?” tanya Dinda polos waktu itu.
Adi mengangguk mantap. “Bisa. Asal kamu percaya. Jangan lupa, rahasiakan doanya.”
Malam-malam sederhana itu tetap hangat dalam ingatannya. Ia merasa, di sanalah mereka belajar arti harapan—bahwa meski hidup tidak selalu mudah, masih ada bintang yang bisa membuat mereka bermimpi.
Dinda menatap nisan itu dengan tatapan sayang. “Adi… sampai sekarang aku masih sering menatap bintang dan teringat kamu. Permintaanku waktu itu sederhana: aku ingin sahabatku selalu bahagia. Semoga di alam sana, doa itu tetap menjagamu.”
Arman menatap istrinya dalam diam memahami betul arti sosok Adi dalam hidup Dinda. Mereka kemudian berjalan singgah sebentar di makam kakek dan nenek Dinda yang letaknya tak jauh dari makam Adi, untuk membersihkan makam dan mendoakannya.
----
Setelah selesai, mereka berjalan kaku menyusuri jalan desa. Arman menggandeng tangan mungilnya Nayla, Nayla berjalan disamping Arman sambil menenteng sapu lidi. Pohon-pohon bergoyang diterpa angin sore, dan suasana hening beberapa saat sebelum Dinda membuka suara.
“Pah, aku mau cerita." Dinda menghela nafas panjang "Dulu waktu Adi masih hidup, setiap kali aku dan dia ada masalah atau lagi pusing akut, kami selalu berdamai dengan cara yang aneh.”
Arman melirik penasaran. “Hmm? Cara apa, Mah?”
Dinda terkekeh kecil, menoleh sebentar ke suaminya. “Kami pergi ke warung, beli satu botol Fanta. Terus diminum berdua pakai gelas kecil, sedikit-sedikit. Kami pura-pura mabok.”
Arman terbelalak, lalu tertawa keras. “Hahaha!"
“Iya!” jawab Dinda sambil ikut tertawa, suaranya bercampur haru. “Padahal cuma Fanta, tapi kami serius banget, pura-pura sempoyongan. Itu cara kami melupakan masalah.”
Nayla langsung cekikikan sambil menutup mulutnya dengan tangan kirinya “Hahaha, Mama aneh banget! Masa maboknya pakai Fanta!”
Arman ikut menimpali sambil tersenyum hangat. “Eh, jangan salah, Dek. Mama kamu sampai sekarang masih suka ngajak Papa pura-pura mabok pakai Fanta kalau lagi ada masalah.”
Nayla makin tertawa keras, menepuk-nepuk pahanya. “Hahaha! Mama Papa lucu sekali!”
----
Sore itu, setelah urusan makam selesai, Dinda, Arman, dan Nayla kembali ke rumah orang tuanya lagi dan berpamitan.
Suasana di teras rumah terasa hangat: Dito masih memangku Nayla sambil bercanda, sementara bapak Dinda duduk di kursi bambu dengan tatapan teduh.
Dinda menyalami ayahnya. “Pak, kami pamit pulang, ya.”
Sang ayah mengangguk. “Iya, Din. Hati-hati di jalan.”
Lalu beliau menatap ke arah Arman. “Man…”
Arman segera merunduk, menyalami mertuanya. “Iya, Pak.”
Ayah Dinda menepuk bahunya pelan, tatapannya serius tapi penuh sayang. “Terima kasih sudah selalu ada buat Dinda dan Nayla. Jaga mereka baik-baik. Kalau ada apa-apa, jangan sungkan cerita ke Bapak."
Arman menunduk, hatinya hangat oleh kalimat sederhana itu. “Iya, Pak. InsyaAllah saya akan selalu menjaga mereka. Doakan kami sehat dan kuat.”
Sang ayah mengangguk mantap, lalu tersenyum kecil.
Dinda melihat adegan itu dengan mata berkaca-kaca. Baginya, hubungan ayah dan Arman seperti dua tiang yang menopang hidupnya.
Sebelum benar-benar berangkat, Dinda mengajak Arman dan Nayla masuk ke kamar ibu. Di sana, ibunya masih berbaring, selimut menutupi tubuh, wajahnya tampak lebih segar setelah beristirahat.
“Bu…” panggil Dinda lembut sambil duduk di sisi ranjang. “Kami mau pulang dulu, ya.”
Ibunya membuka mata, tersenyum meski lemah. “Iya, hati-hati di jalan, Nak. Jangan lupa sering-sering datang. Ibu senang kalau rumah ramai.”
Arman ikut mendekat, membungkuk hormat. “Saya pamit juga, Bu. Ibu istirahat yang tenang, jangan mikirin hal berat dulu.”
Ibunya menatap Arman dengan kasih. “Arman… terima kasih sudah jadi suami yang baik buat Dinda. Jagalah dia, karena dia anak sulung yang sering memikul banyak hal sendirian.”
Arman mengangguk dalam. “Iya, Bu"
Nayla maju ke tepi ranjang, memeluk neneknya yang terbaring. “mbah uti, cepat sembuh, ya. Biar kita bisa jalan-jalan bareng lagi.”
Air mata menetes dari sudut mata sang ibu. Ia mengusap rambut cucunya dengan penuh cinta. “Iya, Sayang. mbah uti sehat, ya.”
Dinda menatap pemandangan itu dengan d**a bergetar—sebuah potret sederhana yang penuh makna: tiga generasi dalam satu ruangan, diikat oleh kasih sayang yang tak terputus.
Setelah itu mereka keluar dari kamar, melangkah ke teras, lalu berpamitan sekali lagi dengan ayah dan Dito.
“Naylaaa… disini saja ya sama embah kakung” panggil ayah Dinda sambil merentangkan tangan.
Nayla menoleh, lalu tersenyum lebar. “Mbahhh…” Ia berjalan sambil melompat kecil menuju kakeknya, langsung dipeluk erat.
“Aduh, cucu kesayangan Mbah ini makin gede aja. Pintar ya kamu, Nak?” ucap sang kakek, mengusap rambut Nayla dengan penuh kasih.
“Iya, Mbah. Nayla udah bisa baca doa, lho!” jawab Nayla polos penuh semangat.
“Wahhh, pinter sekali cucu Mbah,” kata sang kakek, menepuk pelan pipi cucunya. “Nanti kalau Mbah uti udah sembuh, kita main bareng lagi, ya.”
Dito adik bungsunya Dinda ikut tersenyum, menatap kakaknya. “Nayla ini emang manja banget sama Mbah, kakung Mbak. Kalau datang ke sini, yang pertama dicari selalu mbah kakung.”
Dinda menatap adegan itu dengan mata berkaca, hatinya hangat. Kehadiran Nayla seakan jadi penyejuk untuk semua.
“Din, Arman” kata ayahnya lagi, “jaga kesehatan, ya. Kamu anak sulung, panutan adik-adikmu. Jangan capek-capek mikirin semua sendiri.”
Dinda mengangguk dengan senyum lirih. “Iya, Pak. Doakan Dinda selalu kuat.”
Suasana teras sore itu penuh tawa dan canda ringan, seakan rasa sakit ibu dan kesedihan yang tadi sempat menyelimuti hati Dinda sedikit terangkat oleh kehangatan keluarga.
setelah berpamitan pulang, Dinda, Arman, dan Nayla menaiki motornya. Dalam perjalanan pulang , Dinda menatap pohon-pohon di pinggir jalanan dan menikmati angin sore, hatinya dipenuhi rasa syukur. Bapak dan ibu maaih ada, keluarganya sehat, dan ia bisa menjadi penopang untuk mereka. Baginya, itu sudah lebih dari cukup.