Pagi itu kantor masih sepi. Hanya suara satpam yang sedang menyapu halaman depan terdengar sayup-sayup. Dinda melangkah masuk lebih awal, langkahnya ringan meski ada rasa lelah tersisa dari kemarin. Dia tak mau lagi hampir terlambat.
Setibanya di meja kerja, Dinda meletakkan tas dengan hati-hati. Tangannya refleks merapikan kertas-kertas yang berantakan, lalu pandangannya tak sengaja melirik meja kerja Pak Leon di sebelah. Entah kenapa, tangannya ikut terulur, merapikan map dan meluruskan pulpen yang seolah sengaja ditinggalkan miring. Hatinya berdegup—dia sendiri bingung, kenapa harus repot-repot merapikan meja milik atasan?
Tak lama kemudian, pintu kaca depan berderit. Fina muncul dengan wajah cerah, tangannya penuh dengan kantong plastik berisi makanan.
“Pagi, Din!” sapa Fina riang.
“Pagi, Fin,” jawab Dinda sambil tersenyum hangat.
Fina langsung menaruh makanan di meja pantry kecil lalu menoleh ke Dinda.
“Bantuin dong, biar cepet ditata. Hari ini aku masak banyak, biar kita bisa sarapan bareng sebelum kerja.”
Mereka pun sibuk menata makanan di piring. Ada pisang ambon yang ranum, serabi berlapis gula merah, pukis yang harum, dan tempe goreng hangat.
Sambil menyusun piring, Fina melirik Dinda.
“Din, betah nggak kamu kerja di sini?”
Dinda tersenyum singkat. “Betah, Fin.”
“Syukurlah kalau betah,” Fina menghela napas lega.
Tak lama, suasana kantor mulai ramai. Satu per satu karyawan masuk dengan gayanya masing-masing. Toni dengan style bad boy ala anak gaul; Rudi dengan batik tua yang bikin dia seperti bapak-bapak rapat RT; Shinta dengan dandanan mencolok—sepatu hak tinggi mengilap, rambut keriting panjang, kuku dikutek merah menyala; dan akhirnya, Leon datang dengan penampilannya yang selalu membuat ruangan terasa seperti adegan drama Korea.
Kemeja putih yang pas badan, dasi elegan, sepatu kulit yang mengilap, dan jam tangan mewah. Semua itu membuat Shinta langsung sigap memperbaiki rambutnya sambil tersenyum genit ke arahnya.
Setelah doa pagi, mereka berkumpul mengelilingi meja makan kecil. Piring-piring sudah siap. Bau gorengan dan kue tradisional memenuhi udara.
Shinta mengambil pisang ambon, mengangkatnya ke udara sambil melirik nakal.
“Pak Leon, punya Bapak sama ini besaran mana?” katanya sambil mengibaskan alis.
Tawa pecah. Suasana riuh. Leon hanya tertawa kaku, matanya sempat melirik Dinda yang diam saja tapi jelas terlihat menahan tawa.
Leon tidak mau kalah. Tangannya mengambil serabi, lalu dengan nada santai berkata,
“Kalau yang ini… pasti mirip punya Dinda…”
Mendadak ruangan riuh lagi. Semua karyawan bersorak, ada yang menepuk meja, ada yang sampai tersedak tempe.
Dinda sendiri kaget, jantungnya berdegup kencang. Ia berusaha tetap tenang, bibirnya hanya mampu melukis senyum tipis. Tapi tatapannya sempat tertumbuk pada mata Leon. Ada sesuatu yang aneh—hangat dan menekan di d**a.
Shinta tentu saja tak mau kalah. Dia berjalan mendekat, duduk persis di samping Leon. Tangannya langsung memijat leher Leon sambil menggigit pisang dengan gaya menggoda.
“Pak Leon… biar saya pijetin, biar nggak pegel mikirin kerjaan,” katanya centil.
Semua yang melihat tertawa geli, suasana semakin absurd. Leon ikut tertawa, tapi di balik itu matanya justru sekali-dua kali mencari Dinda.
Dari ujung meja, Toni menggenggam tempe goreng sambil bersuara keras.
“Wah, sudah lama aku nggak makan tempe. Tapi ini tempenya lebih buket, lebih gurih. Kayak… ehm, kayak cinta yang lama dipendam.”
Lagi-lagi semua meledak tertawa.
“Wih, kalau gitu jangan dimakan, Ton. Simpan aja di hati,” celetuk Rudi sok bijak, membuat semua karyawan terpingkal.
Di tengah canda tawa, Dinda merasa dadanya makin sesak. Ada sesuatu yang tak bisa dijelaskan ketika melihat Shinta terlalu dekat dengan Leon. Sesekali matanya terangkat, dan setiap kali itu terjadi, Leon juga sedang menatapnya.
Saling mencuri pandang.
Saling diam dalam bisingnya tawa absurd.
Dan Dinda tahu, ada sesuatu yang tak pernah berani ia akui—bahwa di antara senda gurau dan kejenakaan ada hati yang bergetar.
--
Setelah obrolan absurd di meja makan kecil itu mereda, satu per satu karyawan mulai kembali ke meja kerja masing-masing. Gelak tawa berganti dengan suara ketikan keyboard, suara mesin printer, dan desis AC yang mulai mengisi ruangan.
“Dinda.”
Suara itu membuatnya sedikit terlonjak.
Leon menyandarkan satu tangannya di meja kerja Dinda. Dasi biru tuanya terlihat rapi, wajahnya tenang tapi sorot matanya tajam.
“Iya, Pak?” Dinda menjawab dengan nada gugub."
“Siang ini aku ada jadwal ke rumah calon konsumen. Ada berkas syarat kredit perumahan yang harus kita ambil. Aku mau ajak kamu ikut.”
Dinda sedikit kaget. “Saya, Pak?”
“Ya. Kamu karena kamu kan orangnya rapih dan sangat teliti, biar langsung kamu yang periksa kelengkapan berkasnya. Biar nggak bolak-balik.”
Dinda mengangguk pelan. “Baik, Pak.”
Leon sempat melirik ke arah pintu kaca kantor, lalu kembali menatap Dinda.
“Tapi jalan menuju rumah nasabah itu sempit. Mobil nggak bisa masuk. Jadi… nanti kita ke sana nya pakai motor saja, nanti saya bonceng kamu"
Dinda membelalakkan mata. “Hah? Boncengan, Pak?”
Leon pura-pura serius. “Kenapa?"
Wajah Dinda langsung panas. “Bukan begitu, Pak… cuma…”
Leon terkekeh pelan, lalu menepuk bahu Dinda singkat. “Tenang aja. Aku nggak gigit, kok.”
Dinda terpaksa ikut tersenyum walau dalam hati masih berdebar.
“Jam satu ya. Siapkan berkas yang dibutuhkan, nanti kita berangkat setelah makan siang.” Setelah mengatakan itu, Leon melangkah pergi. Aroma parfum maskulin yang samar masih tertinggal di udara, membuat Dinda terdiam lebih lama di tempatnya.
---
Jam satu siang lewat sedikit, Dinda sudah berdiri di depan kantor dengan map berisi daftar berkas. Wajahnya canggung, apalagi ketika Leon keluar sambil membawa helm hitam polos. Ia mengenakan kemeja putih yang tadi dipakainya di kantor, lalu di luarnya kini ada jaket jeans biru tua. Jaket itu dibiarkan terbuka, tidak dikancing, membuat penampilannya makin santai sekaligus memikat.
“Yuk, Din.” Leon menepuk-nepuk jok motornya.
“Loh, Pak Leon yang bawa?” tanya Dinda sedikit heran.
“Tentu saja. Masa aku bonceng di belakang? Nanti imej CEO-nya hilang,” jawab Leon setengah bercanda.
Dinda hanya bisa tersenyum kecil, lalu duduk di jok belakang. Tangannya kaku, bingung harus meletakkan di mana. Leon menoleh sebentar, alisnya terangkat.
“Pegangan, Din. Jangan gengsi. Jalanan nanti sempit dan agak rusak. Kalau jatuh kan malu.”
Dengan wajah memerah, Dinda akhirnya memegang sisi belakang jok. Tapi saat motor mulai melaju dan jalannya berliku, ia terpaksa meraih jaket Leon. Jemarinya menyentuh permukaan jeans kasar itu, jantungnya langsung berdegup kencang.
“Gitu dong. Kalau pegangan di jok, nanti malah terlempar,” ujar Leon santai, suaranya nyaris tenggelam oleh deru angin.
Dinda hanya mengangguk kecil, meski dalam hati sudah terasa bergetar. Dari tempat duduknya, ia bisa melihat punggung Leon yang tegap, d**a bidangnya samar terlihat di balik jaket yang terbuka. Sesekali jaketnya berkibar tertiup angin, membuat Dinda makin salah tingkah.
Di tengah perjalanan, Leon tiba-tiba bersuara, “Din, kamu pakai parfum apa sih?”
“Ha? P-parfum, Pak? Nggak… cuma body lotion biasa.”
Leon terkekeh. “Wanginya enak. Nggak kayak tempe goreng tadi.”
Dinda spontan tertawa kecil. “Pak Leon masih aja ingat tempe…”
“Ya gimana, aku liat tadi kamu pas makan tempe diam aja seperti melamun. Aku kira kamu nggak suka.”
Obrolan itu membuat suasana tak terlalu tegang, tapi Dinda tak bisa mengelak—setiap kali motor oleng sedikit, genggamannya pada jaket Leon otomatis menguat. Dan setiap kali itu terjadi, Leon tersenyum tipis, seakan menikmati kedekatan yang tanpa sengaja tercipta.
Pada saat tiba dijalanan yang berlubang, motor harus pelan-pelan melajunya. Leon menoleh setengah, suaranya pelan, nyaris berbisik tertiup angin.
“Kalau gini, aku jadi kayak pacaran naik motor sama kamu.”
Dinda tercekat. “Pak… jangan ngomong gitu ah.”
“Kenapa? Malu? Kan orang-orang taunya kita cuma mau ke rumah konsumen.”
“Tapi…” Dinda menggantung kalimatnya.
Suasana di atas motor itu terasa hangat— bahkan terlalu hangat. Seakan jalanan yang mereka lewati menjadi saksi bisu kedekatan yang perlahan tercipta.
Tiba-tiba, di tengah obrolan, Leon sedikit menoleh ke arah Dinda. Suaranya rendah, nyaris berbaur dengan deru angin.
“Din… bisa tolongin aku nggak?”
Dinda mencondongkan tubuhnya, agak heran. “Tolong apa, Pak?”
Leon tersenyum tipis sambil menunjuk ke dadanya. “Itu… risleting jaketku kebuka. Aku nyetir, susah nutupinnya.”
Dinda spontan menelan ludah. Degup jantungnya seakan berpacu lebih cepat. Untuk sesaat, ia ragu. Tapi Leon tetap memandang ke depan, seolah-olah hal itu wajar saja, tanpa beban.
Dengan tangan sedikit gemetar, Dinda meraih risleting jaket Leon dan menariknya perlahan ke atas. Gerakan sederhana itu justru membuat wajahnya memerah, seolah ia baru saja melakukan sesuatu yang intim. Leon tersenyum tipis, matanya tak bisa dilihat karena fokus ke jalan, tapi Dinda bisa merasakan kehangatan yang berbeda dari caranya mengucap,
“Thanks, Din.”
Dinda terdiam, senyumnya samar, tapi hatinya bergetar hebat.
------
Begitu jari-jari Dinda meraih risleting jaketnya, Leon merasa ada sesuatu yang berbeda. Gerakan itu sederhana, tapi ada kelembutan yang tak biasa. Ia bisa merasakan kehangatan jemari Dinda yang singgah sebentar di dadanya, lalu menarik risleting dengan hati-hati, seolah takut membuatnya tak nyaman.
“Ya Tuhan… kenapa hatiku jadi bergetar begini?” batin Leon. Ia menunduk sedikit, memperhatikan wajah Dinda yang serius menutupkan jaketnya melalui spion. Senyumnya yang tipis, matanya yang penuh perhatian—semua itu membuat Leon merasa tak pernah sedekat ini dengan siapa pun sebelumnya.
Di antara deru angin yang menyapu jalanan itu, Leon justru merasakan ketenangan yang sulit dijelaskan. Kehadiran Dinda di belakangnya, tawa yang tadi pecah di antara mereka, lalu sentuhan kecil barusan—semua merangkai sebuah rasa yang perlahan tumbuh tanpa izin.
“Kenapa aku nyaman sekali kalau ada dia? Seolah semua capek hilang begitu saja. Seolah aku bisa percaya, menyerahkan punggungku, bahkan seluruh diriku pada perempuan ini…”
Leon menarik napas panjang, mencoba menyembunyikan degup jantungnya yang semakin cepat. Ia tahu, seharusnya hubungan mereka tak boleh terlalu jauh. Tapi di saat yang sama, ia tak bisa menolak kenyataan bahwa Dinda berhasil menumbuhkan ruang teduh di dalam hatinya.
Senyum kecil terbit di bibir Leon, meski ia tak berani menoleh. Cukuplah ia menikmati momen itu dalam diam, dalam rahasia suara hatinya sendiri.
Motor yang dikendarai Leon berhenti tepat di depan rumah sederhana dengan cat hijau muda. Halamannya dipenuhi pot bunga dan jemuran kain yang masih setengah kering. Seorang pria paruh baya keluar menyambut mereka dengan ramah, senyum lebarnya membuat keriput di sudut matanya semakin jelas.
“Pak Leon, ya? Wah… terima kasih sudah datang langsung. Silakan masuk, silakan masuk.”
Leon turun lebih dulu, membuka helm, lalu menoleh ke Dinda. “Yuk, Din.”
Begitu Dinda melepas helm, rambut panjangnya terurai rapi, berkilau terkena cahaya siang. Senyum manisnya membuat tuan rumah tertegun sejenak.
“Waduh… ini pasti istrinya, ya?” kata si konsumen spontan, matanya berbinar.
Dinda langsung tersedak udara. “Eh, b-bukan, Pak… saya—”
Tapi Leon cepat memotong, wajahnya mendadak serius namun memerah. “Oh… ini rekan kerja, Pak. Bukan istri.”
Namun si konsumen justru terkekeh. “Masa iya, Aduh..., cocok sekali, lho. Putih, manis, anggun. Pas banget jadi istri kalau sama Bapak. hehehe.”
Dinda buru-buru menunduk, wajahnya merona. Leon hanya bisa tersenyum kaku sambil mengusap tengkuknya. “Ehm, mari kita bahas berkas aja, Pak.”
Tapi sepanjang proses pemeriksaan dokumen, suasana jadi janggal. Setiap kali si konsumen menyodorkan kertas, matanya selalu menatap Dinda dengan tatapan “kagum”.
“Wah, Mbaknya telaten banget, cocok jadi pendamping Pak Leon."
Dinda makin salah tingkah, tangannya hampir salah menulis nomor dokumen. Leon, meski berusaha tetap tenang, beberapa kali tersenyum canggung. Sesekali ia melirik Dinda, lalu buru-buru mengalihkan pandangan.
Setelah selesai, mereka pamit. Si konsumen kembali menepuk bahu Leon. “Jagalah istri cantikmu, Pak. Jangan sampai direbut orang. Hehehe…”
Dinda nyaris tersandung di anak tangga saking malunya. Leon cepat-cepat menahan lengannya agar tidak jatuh. “Pelan, Din,” ucapnya pelan. Kontak singkat itu membuat keduanya makin salah tingkah.
---