Trapped 1 : Walk Talk

1310 Words
Aku mengerjap beberapa kali karena merasakan sesuatu membelenggu pinggangku. Keadaan masih gelap ketika kedua mataku terbuka. Jam di atas meja kamera menunjukkan pukul setengah empat pagi. Bawah sadarku mencoba memberi tahu jika Arjun—ya, bisa dipanggil pacarku—tidak pulang. Jadi tangan yang membelenggu pinggangku ini sudah pasti bukan pria yang sedang berada di India saat ini. Lalu, siapa? Dengan keadaan setengah sadar, aku berbalik pelan. Aku membekap mulutku agar tidak berteriak. Semakin pelan aku mencoba menuruni kasur. Giandra? Dia tidur di sampingku? Astaga! Apa yang ter—Tunggu, kan semalam memang aku mengajak dia pulang ke apartemen. Tetapi... bukankah aku semalam memilih tidur di ruang tengah? Hey, dan lihat itu! Gian bertelanjang d**a? Aku lantas melirik pakaianku. Masih lengkap. Hembusan napas lega itu lolos dari mulutku. Setidaknya aku dan Gian tidak melakukan apapun, kan? Aku melirik pada celana panjang yang dipakai Gian, masih lengkap dengan gesper. Lagi, hembusan napas lega itu lolos. Berjalan berjingkat keluar dari kamar, aku segera meneguk air putih sebanyak mungkin. Mungkin saja aku mengingat semuanya. ** Nyatanya, aku masih tidak ingat apapun. Yang kuingat hanya, semalam menyelesaikan katalog untuk Oldies Club di ruang tengah, menunggu proses render, dan mungkin saja ketiduran. Mengapa aku bisa satu kasur sama Giandra, itu yang masih menggangguku. Oh ya, aku memang memiliki kebiasaan sleep walking. Beberapa kali aku pernah mendapati diriku tidak berada di tempat aku terlelap. Tapi— Suara pintu kamarku yang terbuka pelan membuatku tersentak. Aku mencoba bersikap biasa pada lelaki yang baru saja keluar dari kamarku itu. Wajahnya masih tertekuk, kantuk masih kentara di wajah putih bersih lelaki blasteran itu. Giandra mengacak rambutnya, berjalan malas ke arah meja makan, ke arahku. “Lo semalam yang narik tangan gue sampe gue jatuh. Lo pegangin terus tangan gue, karena gue ngantuk, jadinya gue ketiduran di sana.” Aku membelalak mendengar ucapan lelaki yang kini duduk di seberangku itu. “Eumm... kita tapi nggak.. aku nggak—” Aduh, kenapa aku jadi tergagap? “Nggak.” sahutnya mantap. “Lo cuma pegangin tangan gue. Ngigau nama pacar lo. Sebenarnya gue yang mindahin lo dari ruang tengah ke kamar lo. Tidur di bawah pasti nggak nyaman. Pas lo udah rebahan, lo malah narik gue.” pemilik iris biru itu kembali menjelaskan padaku. “Aku sebenarnya udah biasa sih, tidur di ruang tengah.” “Nggak takut masuk angin?” “Aku lebih takut nggak bisa bangun karena keenakan sembunyi di balik selimut.” jawabku. Kedua sudut bibirku tertarik ke atas melihat cowok di depanku ini menguap. Ia merebahkan kepalanya pada meja makan. “Sumpah, gue deg-degan semalam sampai ketiduran.” ujarnya, dan tawaku pecah seketika. Lelaki ini benar-benar menggemaskan. *** Aku menutup pintu apartemen, memilih opsi locked, dan memasukkan access card ke dalam tas setelahnya. Menoleh pada lelaki di sampingku yang menyilangkan tangannya di depan d**a, aku mengangguk pada pertanyaannya tadi. Tentang harga apartemen ini yang lumayan mahal. “Kita jalan kaki, apa pesen taksi?” tanyaku. Kami sudah berada di depan lift, menunggu lift. “Jalan kaki aja.” sahutnya, bersamaan dengan pintu lift yang terbuka. Kami terdiam beberapa saat. Hingga Giandra kembali bertanya, “Udah berapa lama lo pacaran sama dia?” Kepalaku secara otomatis meneleng padanya. Giandra menatap lurus refleksinya pada dinding lift. Rautnya datar. “Kami nggak pernah menyebut hubungan kami seperti pacaran, sih.” Aku menjawab. Barulah dia menoleh padaku, “Okey, lo nyebutnya apa? Vanila relationship, kayak Tuan Grey dan Anastasia?” Kudengar tawa mengejeknya dengan jelas. “Ehm... just in relationship.” “Lo sayang sama dia?” Okey, pertanyaan Gian mulai kelewatan. Tapi mulut silanku malah tertarik untuk menanggapi. “Sayang. Dia satu-satunya yang aku punya di dunia ini.” Aku menghela napas, berpaling dari tatapan Giandra. Karena tak kunjung ada respon dari pemuda di sampingku ini, aku melanjutkan, “Orang tuaku udah meninggal—” “I’m sorry about your parents.” Giandra menyela. “I’m not.” Aku kembali menoleh padanya. “They deserved death. Sepuluh tahun yang lalu, mereka mengajakku ke rumah temannya. Aku masih SMA kelas satu. Di tengah perjalanan, aku baru tahu bahwa aku akan dijual ke tempat...” “Pelacuran?” terka Giandra. Aku mengangguk. “Yap. Mereka bukan orang tua terbaik. Semenjak kecil, aku berada di rumah nenek, mereka sibuk dengan urusan dunia mereka. I’m fine, because my grandma loved me. Lalu nenek meninggal pas aku kelas satu. Mereka menjemputku. Mungkin karena terlalu asyik nyetir sambil nelpon g***o yang mau membeliku, papa jadi nggak fokus sama jalanan, juga aku yakin banget mama papaku pas itu lagi mabuk, mobil kami menabrak—” ceritaku terinterupsi oleh pintu lift yang terbuka. Aku dan Gian bergegas keluar karena banyak orang yang hendak masuk. “Menabrak apa?” tanya Giandra. “Menabrak mobil yang sedang berhenti di bahu jalan. Mobil yang kami tumpangi terjun ke jurang. Mama papa meninggal seketika, sedangkan aku terluka cukup parah. Kalina, pemilik mobil yang ditabrak mama dan papa, yang merawat aku. Singkatnya, aku ketemu Arjun di sana.” ujarku. Kami berjalan beriringan menyusuri trotoar. “Gue nyesek banget dengernya.” komentarnya. “Ya, aku amnesia.” “Lo kenapa?” “Amnesia. Untuk beberapa waktu. Tapi sekarang aku udah inget semuanya. It took three years.” “Lo udah inget semuanya?” ulang Giandra. “Iya. Jadi tuh, dulu orang tua Kalina ingin adopsi aku aja karena orang tuaku udah meninggal. Tapi Arjun, dia nggak mau punya tambahan anggota keluarga lagi. Alih-alih jadi adiknya, Arjun malah bawa aku ke apartemennya, dan bilang mau jadiin aku istrinya.” “Berapa umur Arjun?” “Tiga puluh dua. Hehe, tua ya?” Aku menyengir. Kulihat Giandra memasukkan kedua tangan pada saku celananya. “Cinta ya cinta aja. Mau tua mau muda ya kalau udah cinta, kita bisa apa?” Aku mengangguk, mengamini ucapan lelaki di sisi kiriku ini. Diam-diam aku mengamati rupa Giandra. Iris birunya menatap lurus ke jalanan yang membentang di depan kami. Giandra memiliki hidung yang mancung. Bulu matanya lebat namun tidak selentik bulu mata Arjun. Kedua alis lelaki 19 tahun ini asimetris dan tidak terlalu tebal. Meskipun begitu, cowok yang baru dua minggu ini aku kenal tetap terlihat tampan. Apalagi sorot biru miliknya yang selalu membuat sejuk siapapun yang melihatnya. Sesejuk kita ketika melihat lautan. At least, itu yang kurasakan. Dari wajah, pandanganku turun, pada dagunya yang chubby. Aku menyebut begitu karena kebanyakan lelaki yang kukenal—teman bisnis Arjun dan suami Kalina—memiliki lesung dagu. Aku tidak terlalu menyukainya. Bagiku, cowok dengan dagu yang chubby lebih terlihat menarik. Pandanganku semakin turun. Pada bagian menonjol di leher lelaki ini. Pada jakun Giandra—yang tak pernah lepas dari pengawasanku selama kami bersama. Entahlah, aku selalu menyukai cowok dengan jakun yang kentara, bahkan ketika mereka tidak mendongak. Seperti Giandra ini. Aku tahu semua cowok pasti memiliki jakun. Namun, jakun Giandra selalu kentara. Tidak seperti Wendy, Varo, Rizky, Ben, dan lelaki lain yang pernah kutemui. Termasuk lelakiku. Ah, aku merindukan lelakiku. Semenyebalkan apapun Arjun, aku akan selalu merindukan lelaki itu. Iya, lelaki itu. Yang kini berdiri dengan kedua tangan terbuka di halaman studio. “Arjun!” pekikku begitu memasuki area Galvina Studio, dan sosok itu yang kulihat. Kulupakan semuanya begitu melihat iris hitam pekat itu menyorotku rindu. Semuanya, termasuk bahasan tentang jakun, dan Giandra yang berjalan di sisiku tadi. Aku menghambur pada kedua tangan Arjun yang terentang, yang kini memeluk tubuhku erat. “I miss you so much!” ucapku dalam rengkuhan Arjun. “I miss you so much more, babe.” sahut Arjun. Kurasakan bibirnya mulai menciumi puncak kepalaku. Aku selalu menyukai ini: pelukan hangat Arjun, usapan tangannya pada punggungku, dan bibirnya yang menghujani rambutku dengan kecupan lembut. Yang paling kusukai adalah, aroma anggur yang menguar dari tubuhnya. Anggur buah, bukan anggur minuman keras. Aku melepaskan diri dari pelukan Arjun, mendongak menatap pria dengan setelan tuksedo hitam di depanku ini. Bibirku mengerucut. “Kapan kamu sampai?” tanyaku. Ah, itu rengekan. “Barusan.” jawabnya, kembali merengkuhku erat. “Kenapa nggak ke apartemen?” “Kukira kamu udah sampai studio, jadi aku langsung ke sini. Mau kasih kejutan.” “Well, you did it. Aku bener-bener terkejut.” Senyum lelakiku terurai. “Aku ada meeting sama Grass Property abis ini. Kamu udah sarapan?” “Eum...” Aku menunduk pada perutku yang setengah jam yang lalu sudah kuisi dengan nasi uduk. “Belum.” jawabku bohong. Aku selalu menyukai rutinitas sarapan bersama Arjun. Senyum pria keturunan India ini kian merekah. “Pas banget. Kita sarapan dulu?” tawarnya seraya melirik jam rolex di pergelangan tangannya. “Masih ada dua puluh menit lagi.” Aku mengangguk antusias. “Aku taruh tasku dulu di dalam, okay?” kataku, kemudian berlari memasuki studio dan meletakkan tasku ke sembarang arah. Setelahnya, aku kembali melesat pada lelaki yang kini mengulurkan tangan. Aku menyambutnya dengan senang dan kami melangkah menuju Japfood. Lagi, yang kusuka dari Arjun, dia menyukai makanan Jepang sama sepertiku.   
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD