Deviation CEO Bagian Delapan

1345 Words
Di sebuah club malam, satu unit mobil van berwarna hitam, dengan peralatan-peralatan super canggil tersemat di dalamnya, sedang terparkir tepat di antara tiga mobil mewah Eighty Automotive. Arthur, si pria jenius dengan jari jemari yang super cepat, mulai melancarkan aksinya, saat beberapa anak buah Black Eagle mulai berjalan masuk ke dalam club malam tersebut, dan menyamar sebagai pengunjung malam ini, termasuk Sean dan Frans, juga salah satu kepala tim Black, Alessandro. “Tes … tes … apa kalian semua bisa mendengarku?” tanya Arthur sembari menatap layar monitor di hadapannya, yang tengah menampilkan video hasil retasan rekaman cctv The Rocksy. Sedangkan para pria yang ditanya oleh Arthur, kini sedang duduk di atas sofa, dalam VIP Room bersekat kaca, menikmati minuman Russo Baltique Vodka, seharga satu juta enam ratus ribu dollar, ditemani empat wanita penghibur paling spesial di club malam tersebut. “Ya … aku mendengarmu. Apa kau sudah menemukan keberadaan wanitaku?” tanya Sean. Sesekali pria itu tersenyum menggoda lalu mencium bibir wanita di sampingnya, dengan mata yang terus memantau siapa saja yang berjalan melewati VIP Room-nya. “Sera baru saja melewati pintu masuk club malam,” jawab Arthur dari seberang jaringan pribadi. Sean menyingkirkan wanita yang mulai menyentuh area sensitifnya itu, lalu meminta seluruh wanita di dalam ruangannya keluar dari sana. “Aku sudah bosan. Bisakah kalian semua menyingkir dari ruanganku?” titah pria itu sembari meneguk satu sloki minumannya. “Hey! Aku belum selesai. Apa kau tidak melihat juniorku yang sudah berdiri dengan gagahnya di balik celanaku?” protes Frans kesal. Sean melirik sesaat pada bagian bawah temannya itu, lalu menyeringai. “Aku tidak ingin wanitaku salah paham, jika melihat aku sedang bermain-main dengan para wanita jalang itu,” jawabnya dengan santai. Pria dengan model rambut undercut itu, seketika mendengkus sebal, lalu mengisi gelas slokinya dengan Russo Baltique Vodka, kemudian meneguknya dengan mata yang terus menatap pada seorang pria berkepala plontos, mengenakan kacamata sedikit gelap, berjalan melewati VIP Room yang sedang mereka tempati. “Apa yang pria itu lakukan di sini?” tanya Frans sembari menunjuk dengan dagunya. Sean yang mendengar pertanyaan temannya itu seketika mengikuti arah pandangan Frans, lalu mengernyit. “Axelo … hm … jika tebakanku benar, yang ingin bertemu dengan Sera bukanlah Meiyer Marthin seperti yang di katakan oleh Jeremy, tapi … si pria plontos itu,” ujar Sean dengan mata terus menatap pada punggung Axelo yang semakin menjauh, lalu menghilang di balik pintu private room. “Lalu, apa yang akan kau lakukan sekarang?” tanya Frans. Sean menekan tombol mini earpiece yang terpasang di dalam telinganya. “Ale, apa kau sudah menemukan Sera?” tanyanya. “Saya sedang mengikutinya dan berada di belakang Nona Sera, Tuan,” jawab Ale dari seberang jaringan pribadi. “Arthur, bagaimana dengan anak buah Red Devil?” tanya Sean. Pria jenius itu terdiam beberapa saat saja, dan yang terdengar hanyalah suara ketikan keyboard yang sangat cepat, hingga tak begitu lama, pria itu terdengar mendengkus. “Ada apa?” tanya Frans yang juga mendengar melalui mini earpiece di telinganya. “Untuk apa Axelo membawa para anak buah dari laboratoriumnya ke sebuah club malam?” gumam Arthur saat melihat empat orang yang mengenakan alat perlindungan diri khusus dari laboratorium. Pria itu terdiam sesaat, lalu kembali menghela napas. “Axelo hanya membawa lima orang anak buah Red Devil,” lanjut Arthur. Sean dan Frans saling melempar tatap, dengan dahi berkerut. “Apa maksudmu dengan anak buah dari laboratorium?” tanya Sean, tak mengerti apa maksud dari perkataan temannya itu. Belum sempat Arthur menjawab pertanyaannya, bunyi ‘bip’ dari jaringan pribadinya seketika mengalihkan fokus pendengaran Sean. “Gadis itu memasuki private room melalui jalan utama,” ujar Ale. Sean seketika menyeringai, lalu menatap pada Frans. “Kau lihat? Tebakanku selalu benar,” gumamnya, dengan mata yang terus menatap pada ruang private room yang dimasuki oleh Axelo. “Sean, apa yang akan Axelo perintahkan pada orang-orang dari laboratorium itu?” tanya Arthur lagi penasaran. “Entahlah. Tapi … feelingku sangat buruk saat ini,” jawab Sean sembari berpikir lebih keras. “Apa kita hanya menunggu seperti ini?” tanya Frans. “Hey, aku sudah membayar mahal Alex untuk misi ini. Kita cukup diam di sini, menikmati vodka, dan melihat semua petunjukkan dalam ruang tersebut melalui ipad ini,” jawab Sean sembari mengacungkan ipad yang dipegangnya. “Seorang kepala pelayan club malam?” tanya Frans memastikan. Sean menganggukkan kepalanya. “Saat tiba di sini, sku sudah meminta Alex untuk menaruh kamera kecil di tempat strategis dalam ruangan tersebut, dengan berpura-pura membereskan privat room,” jawab Sean. “Kau benar-benar cerdas, Tuan Alien,” ujar Arthur menyahut dari seberang jaringan pribadi. “Namaku Elias, bukan Alien! Apa kau ingin aku mengambil kembali mobil sport Eighty milikmu, Arthur?” tanya Sean dengan kesal. “Ya Tuhan, ancamanmu lebih menakutkan dari ancaman ibuku,” sahut Arthur bergumam. *** Dalam sebuah ruang dengan lampu temaram, gadis yang mengenakan mini dress berwarna navy, yang baru saja tiba, segera duduk di atas sofa berwarna merah, dengan tatapan mata yang tak ia lepaskan dari sosok pria bertubuh besar dan kekar, yang sedang berdiri di sudut ruang tersebut. Rasa tak nyaman begitu saja menyeruak, saat ia menyadari tatapan mata pria berkepala pelontos, yang duduk di sampingnya, tak lepas dari kedua paha mulusnya yang terekspose begitu saja. Berkali-kali Sera menarik pakaian bagian bawahnya itu, agar menutupi setengah pahanya. Namun, hal yang ia lakukan sangat sia-sia, karena dress yang diberikan Jeremy, bahkan tak dapat menutupi setengah paha gadis itu. “Katakan sesuatu!” titah Jeremy tanpa bersuara. Sera yang melihat gerakan bibir pria itu, seketika menghela napas dalam-dalam, lalu memaksakan seulas senyuman di wajahnya. “Apa kau … Seravhina?” tanya Axelo, lebih dulu membuka percakapan. “Ya, Tuan, nama saya Seravhina,” jawab Sera dengan sopan. Tangan pria tua berkepala pelontos itu perlahan-lahan mengusap dengan lembut paha Sera, untuk memberi rangsangan-rangsangan kecil pada gadis itu. “Kenapa kau sangat sulit sekali untuk ditemui, Nona?” tanya Axelo setengah berbisik. Sera mencoba menolak sentuhan liar dari tangan Axelo yang mulai naik secara perlahan-lahan, dan hampir menyentuh kewanitaan gadis itu, dengan menghempaskan tangan Axelo sedikit kasar. “Tuan, bisa kau hentikan? Saya bukan wanita jalang seperti para wanita di club malam ini!” tekan Sera memberi peringatan. Bukannya berhenti, Axelo kini bangkit dari posisinya, lalu mendorong tubuh kecil Sera hingga gadis itu terhempas dan berbaring di atas sofa. Belum sempat Sera bangun, Axelo sudah lebih dulu menindih tubuh Sera, dan hendak mendaratkan satu ciuman di bibir gadis itu. Namun, Sera tak tinggal diam. Ia layangkan satu tamparan pada wajah pria tua yang menindihnya, lalu mendorong tubuh kekar Axelo dengan sekuat tenaga. Tetapi sayang, usahanya untuk menyingkirkan Axelo dari atas tubuhnya, sia-sia. Pria tua itu justru membalas tamparannya lebih keras, membuat Sera seketika memekik dan mengaduh kesakitan. Axelo bangkit dari posisinya, lalu merogoh sesuatu dari dalam saku jasnya. “Kenapa kau menjadi gadis pembangkang seperti ibumu, Sera?” Pria itu menjeda ucapannya, menduduki kedua tangan Sera yang sengaja ia taruh di atas perut gadis itu, lalu menyuntikkan beberapa mili cairan berwarna bening tepat pada lengan gadis itu. “A-apa yang kau suntikkan pada tubuhku?” tanya Sera dengan suara bergetar. “Hanya … sebuah larutan mutasi virus yang akan menyerang tubuhmu secara perlahan. Jika saja kau diam dan menuruti apa keinginanku, kau tak akan kujadikan bahan percobaan seperti sekarang, Nona!” bisik Axelo tepat di telinga gadis itu. “V-virus? A-pa maksudmu?” tanya Sera dengan mata membulat sempurna. “Dalam dua hari ke depan, kau akan mulai merasakan gejala-gejala dari virus ini. Dan jika kau mulai kehilangan kesadaran, segera datang ke BrainLab, dan kau akan diisolasi untuk mendapat perawatan, Nona kecil,” jawab Axelo berbohong. Pria itu segera bangkit dari posisinya, melempar alat suntik ke sembarang tempat lalu berjalan keluar dari ruang tersebut, diikuti Jeremy dari belakang. Sedangkan Sera, masih terdiam pada posisinya, dan tanpa sadar meneteskan air dari kedua sudut matanya. Gadis itu mulai terisak, dengan rasa takut yang sangat besar begitu saja menyeruak dari dalam dirinya. “Jika kau menangis, aku benar-benar semakin merasa bersalah, Sera.” Suara bariton yang sangat dikenali, begitu saja mengalihkan perhatian Sera. Gadis itu menoleh ke sisi kirinya, dan melihat Sean yang entah sejak kapan masuk ke ruang tersebut, tengah berjalan menghampiri dan kini setengah berlutut di sampingnya. Pria itu mengulurkan tangannya, lalu menghapus sisa air mata dari sisi wajah Sera, kemudian tersenyum. “Apa kau sekarang percaya pada ucapanku, Seravhina?” tanya Sean. Bukannya menjawab, Sera justru melingkarkan tangannya pada leher pria di sampingnya itu, lalu memeluk tubuh Sean dengan tubuh yang sangat bergetar. “Tolong selamatkan aku, Tuan. Aku mohon,” bisik Sera. *** 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD