bc

Amerta

book_age16+
149
FOLLOW
1K
READ
dark
student
twisted
mystery
supernatural
special ability
crime
horror
school
like
intro-logo
Blurb

Raka Hanenda, pertengahan semester tahun ketiga SMA, tidak sengaja melihat salah satu murid di sekolahnya bunuh diri dengan menjatuhkan tubuhnya dari atap. Raka terpaksa pindah sekolah demi melupakan kejadian traumatis itu.

.

Semakin lama, Raka menyadari bahwa dirinya selalu berada pada tempat dan waktu orang-orang di dekatnya mati secara tragis. Dan sial, ia sama sekali tidak tahu apa penyebabnya.

chap-preview
Free preview
Tertekan
Raka diam seribu bahasa, meski begitu keringat dingin merembes pada pakaiannya. Kabar bunuh diri seorang gadis kelas dua sudah menyebar seantero sekolah, para siswa berhamburan keluar untuk melihat. Raka duduk diam di bangkunya, sendirian. Kilasan kejadian bagaimana gadis itu terjun, juga suara hantaman kuat tubuhnya dengan dasar lantai bagaikan sebuah kaset rusak yang terulang-ulang di kepalanya. "Ini bukan salahku." guman Raka pelan. Berulang-ulang ia mengatakannya bak sebuah mantra pelindung. Ketakutan jelas merasukinya. Teman-teman sekelasnya berhamburan keluar, hanya Raka yang tersisa di kelas, meratapi apa yang baru saja ia lihat. "Harusnya aku tidak membolos tadi. Harusnya aku tetap di kelas. Harusnya aku pura-pura tak melihatnya." gumaman tak jelas serta kedua telapak tangannya yang memegangi kepala membuat beberapa teman sekelasnya yang telah kembali menjadi bingung. "Raka? Kamu kenapa?" "Aku baik." hanya jawaban singkat. Jantung Raka berdegup amat cepat. Keringat menetes-netes, senyum aneh, pandangan mata horor. Raka jelas tak baik-baik saja. Gadis yang baru saja menanyainya mengernyit bingung. "Benar? Kamu pucat." Raka mengangguk spontan, kaku, terburu-buru. Gadis itu mendekat. "Kamu sakit? Tumben kamu tetap duduk di kelas saat ada kehebohan seperti tadi. Biasanya, kamu yang paling awal menyerobot kerumunan karena penasaran." "Aku agak pusing." singkat, bergetar, dan tanpa melihat kepada gadis itu. "Aneh. Kamu kenapa sih?" Raka melirik tajam gadis itu, mengisyaratkannya untuk menjauh atau ia akan melakukan hal buruk. Gadis itu mundur seketika. "Ma-maaf." dan berlari pergi. Raka memejamkan matanya. Apa yang ia lakukan jelas mencurigakan. Gadis itu pasti akan berpikir macam-macam. Bagus, sekarang Raka semakin paranoia. Dua orang laki-laki berseragam polisi memasuki kelas. Anak-anak yang sebelumnya ribut dan menduga-duga penyebab kematian adik kelas itu langsung diam dan duduk rapi. Tidak ada yang menyela ketika petugas kepolisian menanyakan mengenai siapa diantara kami yang mengenalnya, namun seperti yang diduga, tak ada satupun yang menjawab dan lebih memilih menunduk, pun dengan Raka. Ia tidak mengenalnya, dan itu memang benar. Ia hanya tidak sengaja berada di tempat kejadian, dan ia memutuskan tidak akan pernah buka mulut mengenai kejadian yang dilihatnya. O||O Selama hampir satu minggu penuh, kepolisian datang menyelidiki kematian gadis yang jatuh dari lantai dua. Adakah kemungkinan pembunuhan atau murni bunuh diri, dan kalaupun memang murni bunuh diri, motif apa yang mendasarinya nekat mengakhiri hidupnya. Kegiatan belajar mengajar tak berjalan seperti biasa dalam waktu penyelidikan ini, beberapa kali anak-anak di kelas Raka dipanggil dengan alasan wawancara meski mereka semua mengaku tak mengenal gadis yang bunuh diri. Thalia Nirmala. Tahun kedua. Kelas B. Biodata gadis yang bunuh diri telah tersebar seantero sekolah. Kebanyakan dari mereka mengaku tak mengenalnya, bahkan anak-anak angkatan tahun kedua sekalipun. Polisi kesulitan mencari informasi tentang gadis itu karena minimnya teman yang dimiliki Thalia. Selama penyelidikan, selama itu pula Raka selalu berusaha tak menampakkan diri di hadapan para petugas kepolisian. Meski memang benar ia tidak mengenal Thalia, ia selalu mengalami ketakutan parah saat seseorang menanyainya perihal kasus kematian itu. Tentu saja, aksi menghindarnya lambat laun dicurigai oleh kawan-kawan sekelasnya.  Meski Raka bukan jajaran anak-anak pintar, ia terkenal dengan cara lain. Hobi membolos, nilai pas-pasan, dan manusia paling semangat sejagat raya. Tentu saja keterkenalannya tak begitu baik. Masih menjadi misteri mengapa ia begitu bersemangat melakukan apa saja tetapi sangat malas belajar dan masuk kelas. Raka terkenal karena menjadi seteru abadi guru-guru. Sejak kematian Thalia tempo hari, tak ada ketertarikan sama sekali dirinya dengan kasus itu. Ia bahkan cenderung diam dan berusaha menghindar. Sialnya, gadis yang sempat ia ancam dengan pandangan mematikannya adalah biang gosip sekolah. Ia pasti memperjelas sikap Raka dan menceritakan keanehannya dengan tambahan di sana-sini. Raka mendongak. Dua orang anak laki-laki dengan begde warna kuning di lengan kanan menghampirinya. Anak-anak kelas dua, dan Raka tak mengenal mereka. "Kak Raka Hanenda 'kan?" Raka melirik tajam. Dua orang anak kelas dua itu berdiri agak jauh darinya. Raka mengangguk. "Ya?" "Pak Henri meminta tolong pada kami untuk memanggil kakak supaya menuju ruang BP." Kening Raka mengerut, ia berdiri dan memasukkan kedua telapak tangannya ke dalam saku. "Seingatku, aku nggak bikin masalah seminggu ini." Mereka menggeleng kompak. "Maaf kak, kami hanya disuruh menyampaikan saja. Permisi." dan keduanya buru-buru pergi. Raka mengusap rambutnya. "Cih, kenapa mereka bertingkah seperti melihat hantu sih." gumamnya kesal kemudian berlalu menuju ruang BP. Di sana, ada dua orang guru yang amat dikenal oleh Raka. Pak Henri, guru BP yang sangat sering memarahinya karena bolos kelas juga nilai pas-pasannya, dan satu lagi seorang wanita berumur tiga puluhan dengan rambut pendek sebahu. Bu Nuri, wali kelasnya. "Duduk, Raka." Raka menurut, tak ada bantahan apapun. Kedua bola matanya menatap bingung. Biasanya dua orang itu akan langsung memarahinya ketika ia datang ke ruangan BP atau paling tidak mengomel, tapi sekarang beliau-beliau itu hanya menatapnya dan sangat tenang? "Seingat saya, seminggu ini saya belum melakukan kesalahan. Iya 'kan bu? Pak?" Pak Henri menghela napas. "Ada hal yang ingin kami tanyakan padamu, Raka." "Hm?" Kedua guru itu saling memandang satu sama lain. Raka jelas merasakan atmosfer berat di ruangan ini, juga ekspresi janggal keduanya. "Ada apa ini?" "Mengenai bunuh diri itu, apa kamu mengenal gadis yang bunuh diri?" Jantung Raka berdetak kencang. "H-ha? Mana mungkin 'kan? Lagipula bukankah dia anak kelas dua, saya tidak punya teman dari kelas dua." "Akhir-akhir ini, beberapa anak melaporkan sikap anehmu dan kecurigaan bahwa kamu terlibat dalam kematian Thalia. Kami tentu tidak percaya selama tak ada bukti, tapi tetap saja, kami gelisah dan merasa perlu bicara denganmu." Raka mengepalkan kedua telapak tangannya erat-erat. "Bu Nuri, sungguh tidak rasional sekali kalau sampai saya membunuh Thalia itu, saya bahkan tidak mengenalnya. Apa pula untungnya bagi saya?" Bu Nuri mengangguk. "Memang benar. Beruntung teman-temanmu hanya melaporkanmu pada kami dan bukan pada polisi-polisi itu." "Cih, kenapa juga mereka menuduh sembarangan." "Soal sikap anehmu itu, bisakah kau ceritakan pada kami masalahmu?" Raka mengusap belakang lehernya. Ia merasa sangat gelisah. "Hm... Saya hanya berencana untuk pindah sekolah, tapi saya sudah kelas tiga, makanya saya gelisah dan bingung. Mungkin, itu yang membuat mereka berpikir kalau sikap saya aneh." Pak Henri menjentikkan jarinya. "Bisa jadi. Tapi, kenapa kamu mau pindah sekolah?" "Ada alasan yang tidak bisa saya bagikan, intinya masalah dengan keluarga saya. Mungkin minggu depan saya sudah akan pergi." Raka jelas berbohong soal itu. Rencana pindah sekolahnya baru ia pikirkan akhir-akhir ini. Sesaat setelah kematian Thalia dan jiwanya yang merasa tak tenang karena melihat bunuh diri gadis itu. Dan masalah keluarga, sejujurnya tak ada, mungkin. "Baiklah, bapak dan ibu tidak akan menekan kamu dan menuduh keterlibatanmu dengan kematian Thalia, tapi kami harap yang kamu katakan adalah kebenaran." Raka tertawa hambar. "Lagipula, mana mungkin saya menyembunyikan hal sebesar itu bukan?" Pak Henri mengangguk dan mempersilahkan Raka pergi. Segera saja Raka keluar ruangan BP dan berlari menuju balkon lantai atas. Tempat yang sama ketika ia tak sampai mengejar gadis yang bunuh diri. Ia berdiri menatap ke bawah. "Tinggi sekali." Kilasan-kilasan kejadian beberapa hari lalu menyeruak masuk, memenuhi kepala dan membuatnya pusing. Raka berjongkok, bertumpu pada lututnya. Kedua telapak tangannya memegangi kepala, kedua bola mata melebar. Wajah dingin Thalia, senyum atau seringai terakhirnya, dan suara berdebum dari tubuhnya yang menyentuh dasar. Pelan-pelan air mata mengalir dari sudut-sudut matanya. Raka menggeleng kencang. "Tidak, tidak... Itu bukan salahku, bukan salahku. Aku hanya tidak sengaja berada di sini." Racaunya frustrasi. O||O

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Marriage Aggreement

read
81.3K
bc

Menantu Dewa Naga

read
177.4K
bc

Scandal Para Ipar

read
694.6K
bc

Di Balik Topeng Pria Miskin

read
861.1K
bc

My Devil Billionaire

read
94.9K
bc

Pulau Bertatahkan Hasrat

read
625.6K
bc

TERPERANGKAP DENDAM MASA LALU

read
5.6K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook