Sesuatu yang Salah

1521 Words
Raka bergetar. Ia memeluk dirinya sendiri dengan keringat dingin yang membasahi tubuh sampai wajahnya. Chima mengusap-usap bahu Raka dan berusaha untuk menenangkan pemuda itu. Geovan hanya bersandar pada pohon di dekat mereka, tanpa ekspresi menatap Raka yang tertekan. "Kurasa kamu harus pulang sekarang. Sekolah benar-benar kacau, dan kondisimu juga tidak jauh berbeda. Aku dan Geovan akan mengantarkanmu. Okay?" Tawar Chima. Raka melirik Chima dengan pandangan kosong, seolah jiwanya baru saja ditarik paksa dari tubuhnya. Melihat kematian tragis tiga kali bukanlah hal yang baik untuk mental Raka. Hanya ketika ia baru saja mendapatkan pencerahan dan hendak mendapatkan keterangan mengenai kematian kakak kelas Chima, Geovan, dan juga Rayhan, kematian lain terjadi dan itu secara tidak langsung karena Raka. Bagaimana bisa Raka tidak menganggap bahwa ada yang salah dengannya sementara dia seolah selalu diikuti oleh kematian. Lebih dari itu, mengapa ia sendiri merasa tidak waspada dengan orang-orang yang mulai bersikap aneh ketika berada di dekatnya. Harusnya Raka sadar Karina tidak akan semudah itu naik ke atas balkon mengikutinya padahal dia saja sangat kikuk untuk memandang orang lain. Tapi mengapa Karina seperti itu? Mengapa Karina mengikutinya? Mengapa Karina naik ke atas balkon? Dan mengapa Raka harus mencontohkan tindakan anak badungnya sampai Karina mengikuti dan berakhir jatuh menancap hiasan air mancur? Apa yang ada dalam diri Raka hingga bisa mempengaruhi seseorang dan membuat mereka bertindak tidak biasa sampai membahayakan dirinya sendiri. Seolah, Raka memang pembawa kematian, dan siapa pun yang dekat dengannya akan berakhir meninggal dengan tragis. "Ayo, kami akan mengantarmu pulang. Lupakan saja mengenai kejadian hari ini dan anggap sebagai kecelakaan saja." Chima membantu Raka berdiri dan memegangi lengannya. Tubuh Raka yang jauh lebih tinggi dan besar darinya membuat Chima kerepotan. Gadis mungil itu bahkan masih bisa merasakan bagaimana seluruh tubuh Raka bergetar pasca kecelakaan Karina. Geovan yang melihat hal itu kemudian memegangi tubuh Raka di sisi lainnya tanpa mengatakan apa-apa. Baru saja mereka hendak menyelinap untuk keluar dari area sekolah tanpa menimbulkan keributan atau kecurigaan, suara Rayhan yang memanggil-manggil Raka membuat ketiganya berhenti. Raka secara spontan langsung menarik kedua lengannya dari Geovan dan Chima. Ia mengusap asal peluh di sekitar pelipisnya. "Nggak papa. Kalian pergi aja." Ucap Raka halus. Chima dan Geovan saling berpandangan kemudian mengangguk. Raka berbalik, mengikuti suara Rayhan yang memanggilnya. Pemuda berkacamata itu berdiri sembari mengedarkan pandangannya. Sebisa mungkin Raka bersikap ceria dan langsung menepuk bahu Rayhan. "Ada apa?" "Darimana saja?" Tanya Rayhan curiga. "Halaman belakang, tadi aku bertemu dengan me—" Jemari Raka menggantung di udara. Keningnya mengerut samar. Sekali lagi, Chima dan Geovan selalu begitu cepat menghilang. Dan sekali lagi pula, Raka lupa menanyakan dari kelas mana mereka berdua. "Siapa?" "Oh enggak. Maksudku aku duduk-duduk di sana." "Teman sekelas kita meninggal, dia harusnya sebangku denganmu. Kudengar kalian sudah berkenalan 'kan. Jadi mengapa kau ada di sini dan bukannya ikut berkabung bersama yang lain?" Keringat sebesar biji jagung menetes di sekitar leher Raka. Susah payah ia meneguk ludahnya sendiri. Anak-anak sekelasnya memang melihat ia sudah berbicara dengan Karina, tetapi karena keduanya keluar terakhir, sama sekali tidak ada yang tahu jika Karina pergi ke lantai tiga bersama Raka dengan niat untuk ke perpustakaan atas. Meskipun tidak ada yang tahu, tetap saja hal itu tidak menjamin bahwa tidak akan ada yang curiga kepada Raka mengenai keterlibatannya dengan kematian Karina. Raka berdo'a dalam hati, merapal apapun agar kecurigaan yang pernah ia terima di sekolah lamanya tidak lagi terulang karena kematian Karina. Beberapa kali Raka menoleh ke belakang, berusaha memastikan bahwa Chima dan Geovan memang benar-benar tidak ada di tempat. Sial, dua orang itu selalu cepat sekali menghilang di saat-saat genting. Seolah mereka bisa berteleportasi saja. "Bagaimana bisa Karina jatuh? Dan menancap hiasan air mancur?" Tanya Raka. Sebisa mungkin ia memasang wajah terkejut. Sungguh, ia merasa berdosa karena telah berpura-pura seperti itu padahal secara tak langsung ia yang membuat Karina jatuh sampai meninggal. Rayhan menggeleng, masih dengan ekspresi datarnya. "Tidak ada yang tahu mengapa Karina ada di lantai tiga. Sebagian besar beranggapan bahwa Karina bunuh diri." Rayhan mengusap dagunya, wajahnya memasang ekspresi serius. "Kurasa hal itu bisa saja masuk sebagai opsi mengapa Karina ada di lantai tiga. Ia sangat tertutup, bahkan aku sama sekali tidak bisa membuatnya terbuka dengan masalahnya meski aku ketua kelas. Aku juga tidak pernah melihatnya bersama anak-anak lain. Stres, atau tertekan? Entahlah, yang jelas sekarang seluruh sekolah berpikir bahwa Karina bunuh diri karena kesepian." Raka meremat celana abu-abunya, berusaha keras menahan gejolak bersalah di dalam hatinya. Bagaimana mungkin orang-orang di sekolah ini sama sekali tidak berpikir kemungkinan pembunuhan? Raka memang tidak ingin menjadi tersangka karena ia sendiri juga tidak berusaha membunuh Karina. Tetapi bunuh diri? Rasanya mereka semua benar-benar tidak peduli dengan Karina. Rayhan melirik Raka. "Ayo ke kelas." Ia mengisyaratkan Raka untuk berjalan duluan dengan gerakan kepalanya. O||O Kelas benar-benar ramai ketika Raka sampai di sana. Tidak hanya ada teman-teman sekelasnya, melainkan anak-anak dari kelas lain juga berkerumun dan berusaha untuk melihat mayat Karina yang diletakkan di dalam peti darurat. Polisi dan Ambulans yang dipanggil sama sekali belum datang, sehingga dewan guru dan beberapa petugas kebersihan mengevakuasi jenazah Karina sendiri sebelum semakin banyak anak-anak sekolah yang melihat dan memotretnya. Jelas sekali hal-hal tragis yang terjadi di sekolah selalu cepat menyebar dan menimbulkan beragam pertanyaan dari masyarakat ketika media telah membeberkan segalanya. Apalagi untuk masa sekarang dimana segala hal di media sosial selalu cepat diakses dan mudah dimanipulasi. Jelas, kematian tragis di sekolah seperti itu bisa menjadi bahan yang bagus untuk membuat beragam rumor buruk mengenai sekolah. Entah rumor hantu seperti yang lazim dibicarakan ketika ada tragedi yang terjadi, sampai kelalaian guru dalam mendidik murid hingga menimbulkan kematian tragis seperti itu. Terlebih, kematian Karina langsung menjadi gosip mencuat bahwa ia memang bunuh diri, meloncat dari lantai tiga dan membuat tubuhnya menancap pada hiasan trisula air mancur atas kehendaknya sendiri yang stres karena kesepian. Raka menyelip di antara kerumunan dan masuk ke kelas untuk berkumpul dengan teman-teman sekelasnya. Ketika kedua matanya melirik pada jenazah Karina, tubuh Gadis itu berlubang di bagian perut. Petugas kebersihan sekolah tidak bisa menangani beberapa organ dalam Karina yang keluar akibat perutnya yang robek karena menancap pada hiasan air mancur besar sehingga hanya menutupinya dengan kain putih yang diambil secara darurat dari ekskul teater sekolah. Namun meski begitu, banyaknya darah yang mengalir langsung merembes pada kain putih itu, membuatnya langsung berubah merah karena saking banyaknya darah yang keluar. Raka mengalihkan pandangannya, jelas didera shock berat. Bukan pertama kalinya ia melihat kematian tragis seperti itu, tetapi kondisi Karina benar-benar tidak pantas untuk ditunjukkan kepada orang-orang secara umum. Bau amis menguar, dewan guru memerintahkan anak-anak dari kelas lain untuk menyingkir hingga hanya tersisa anak-anak dari kelas Raka saja. Tiga puluh lima murid berkumpul di sana sementara dewan guru mulai bergerak terburu untuk kembali menghubungi ambulans dan kepolisian. Orang tua Karina dijemput secara khusus oleh staf sekolah karena pihak sekolah merasa kurang tepat jika hanya mengabarkan tragedi ini melalui telepon. Raka secara perlahan mundur dari barisan. Keributan dan suara-suara di sekitarnya seolah hilang, yang ada hanya bayangan wajah tersenyum Karina dan ucapan terima kasihnya yang riang dan tulus. Raka meremat celana abu-abunya semakin keras. Rematan itu bahkan sampai ke kulit pahanya, menghantarkan rasa nyeri di area sana yang berperan sebagai pengalih untuk jiwanya yang terguncang. "Untuk sekarang, kalian bisa keluar dari ruangan ini dan berkumpul di aula bersama dengan anak-anak dari kelas lain. Polisi dan dokter yang dipanggil akan segera mengurus jenazah Karina. Tolong kondusif dan perintahkan ketua kelas lainnya memandu kalian. Rayhan! Pimpin seluruh murid di aula." Perintah kepala sekolah. Tiga puluh lima anak yang berdiri di kelas mengangguk bersamaan. Rayhan yang melangkah lebih dulu dan memandu anak-anak sekelasnya untuk ke aula seperti anak-anak kelas lainnya. Raka berjalan amat lambat di barisan paling belakang. Ia menunduk dalam, pikirannya benar-benar kacau dan ia tidak tahu lagi apa yang akan terjadi dengan orang-orang jika mereka berdekatan dengannya. Barisan kelas Raka langsung menjadi pusat perhatian ketika mereka semua melangkah melewati pintu aula sekolah. Beberapa ketua kelas dari kelas lain telah berjajar di depan dan Rayhan menyusul mereka untuk memberitahukan instruksi yang ia terima dari Kepala Sekolah. Raka hanya melirik sekilas ketika para ketua kelas itu berdiskusi, kemudian kembali menunduk dalam diam. Ia bisa mendengar dengan jelas beberapa bisik-bisik di sekitarnya dari anak-anak kelas lain yang penasaran, tetapi berusaha keras untuk mengabaikan itu semua. "Hei!" Raka tersentak, menoleh dengan panik. Ketika kepalanya menoleh ke kiri seorang anak laki-laki tersenyum lebar padanya. Kedua bola matanya berwarna coklat muda, alisnya tebal, kulitnya sangat putih, dan bibirnya mungil. Dia mengingatkan Raka pada karakter-karakter adik kesayangan di film-film. Raka melirik bedge di lengan kanan anak itu, dan menemukan bedge berwarna hijau di sana. Anak tahun pertama. Sebisa mungkin Raka mengontrol ekspresi wajahnya. Ia melirik ke depan sebentar kemudian kembali menatap adik kelas imut itu. "Ya?" Tatapan mata anak itu tidak fokus, dan berkali-kali Raka melihat gerakan matanya ke arah belakang Raka. Raka secara reflek ikut berpaling, berpikir mungkin saja adik kelasnya ini hendak berbicara dengan orang di samping Raka dan bukannya dengan Raka sendiri. "Kau ingin bicara denganku atau orang lain?" Tanya Raka. Kedua bola mata cokelat terang itu berbinar-binar, membuat Raka mengernyit karena bingung. Ia menunjuk sesuatu di balik tubuh Raka, dan Raka hanya semakin bingung dibuatnya. "Kak, ada yang salah dengan takdir kakak." O||O
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD