Luka di leher Raka berakhir hanya ditutup dengan kain kasa usai dibersihkan oleh Hannah. Pengasuh Raka itu mengusulkan untuk memanggil dokter pribadi keluarga karena khawatir jika luka itu berbahaya dan malah membuat kulit Raka infeksi, namun Raka tidak mau dan hanya meminta Hannah untuk menutup luka itu dengan kasa. Sudah pukul empat pagi ketika Hannah selesai membalut luka Raka. Raka juga sebelumnya memilih mandi terlebih dahulu sehingga tidak perlu repot-repot mengurus kasa di lehernya nanti. Hannah menyuruhnya kembali tidur karena masih terlalu pagi, tetapi Raka tidak bisa tidur lagi jika sudah terbangun di pagi hari. Lagipula, usai mimpi seaneh itu, mana mungkin Raka bisa tidur lagi dengan tenang.
Selain mimpi aneh itu, Raka benar-benar ingin segera ke sekolah dan menemui Putra. Putra dan Wira harus memberikan penjelasan padanya mengapa mereka bisa membawa Raka pulang dan bahkan membuat alibi seperti itu. Jika mereka melihat gadis yang bunuh diri dan terluka parah itu, tidak mungkin mereka tega meninggalkannya hanya untuk membawa Raka pulang. Malahan, lebih mungkin bahwa Raka yang ditinggalkan karena ia hanyalah seorang anak baru yang baru masuk dan tiba-tiba membuat tiga orang meninggal dalam waktu satu hari. Jujur saja, Raka masih merasa bahwa kematian mereka itu karena Raka meski ia juga yakin bahwa sama sekali tidak ada niat seburuk itu dalam hatinya. Ia baru saja masuk ke sekolah itu, ia tidak mengenal siapapun, dan ia juga tidak memiliki dendam kepada siapa pun, jadi untuk apa ia ingin mereka mati.
Raka mengusap bahunya dan mengeluh pelan.
"Tuan Raka beneran udah sehat? Kalau masih kerasa nggak enak badan mendingan nggak usah ke sekolah dulu, nanti saya yang kirim surat izinnya."
Raka menggeleng. "Nggak, Mbak. Cuma sedikit pegal-pegal aja. Mungkin kebanyakan tidur."
Hannah memandang Raka dengan kening mengerut, ketara sekali jika ia tidak yakin dengan apa yang dikatakan Raka. Pengasuhnya itu sangat skeptis dengan segala hal, dan karena mengasuh Raka sudah menjadi kesehariannya sejak Raka kecil, ia bahkan jauh lebih tahu kebiasaan-kebiasaan Raka. Butuh usaha ekstra untuk Raka meng-cover kebiasaannya agar pengasuhnya itu tidak curiga padanya.
Rumah keluarga Raka yang sekarang ia tinggali tempat baru agar cukup dekat dengan sekolahnya sangatlah besar. Ketika Raka menginginkan untuk pindah sekolah, ada banyak pertanyaan yang datang terutama dari Hannah sebagai pengasuhnya. Raka memakai beragam alibi, dan orang tuanya pun sama sekali tidak menanyakan alasannya sehingga Hannah tidak memiliki hak lagi untuk bertanya-tanya. Sebelumnya, Raka harap ia bisa pindah meski tinggal sendirian. Tetapi sepertinya orang tua Raka tidak akan membiarkan itu semua. Hannah harus selalu ikut dengan Raka sebagai pengasuhnya, orang tuanya bahkan memindahkan beberapa pekerja dan juga pembantu sekaligus sopir untuk tinggal bersama Raka. Kepindahannya Raka, nyatanya tidak nampak memberikan kehidupan yang cukup berbeda di rumah.
"Mbak, kemarin ke kantor Ayah dan Ibu 'kan? Mereka sehat?"
Hannah meletakkan roti bakar dan selai strawberry di hadapan Raka. "Baik, Tuan Raka. Nggak ada masalah apa-apa."
"Okay."
Raka tidak bertanya lebih lanjut karena ia memang merasa tidak perlu. Raka sudah membaca banyak kisah fiksi, menonton film, dan segala macam representasi orang-orang kaya dan anaknya. Intinya, semuanya tidak jauh berbeda dengan kehidupan Raka. Ya, kecuali ada beberapa dramatisasi di tayangan atau hiburan tersebut.
"Mbak Hannah, bilangin ke Pak Tejo kalau saya berangkat lebih pagi. Ada keperluan sama wali kelas soalnya."
Hannah mengangguk. Usai membereskan peralatan makan Raka, ia segera keluar untuk menyampaikan apa yang diperintahkan Raka padanya. Sebenarnya Raka tidak begitu yakin dengan pilihan berangkat lebih pagi. Ia bahkan tidak tahu Putra dan Wira dari kelas mana, dan mereka belum tentu juga sudah datang saat Raka memutuskan untuk berangkat lebih pagi. Tapi astaga, Raka benar-benar tidak tahan untuk segera bertanya kepada dua adik kelasnya itu, termasuk mencari informasi tentang bagaimana nasib gadis yang menggorok lehernya sendiri di toilet perempuan sekolah.
Supir Raka sampai tepat di depan bangunan sekolah ketika waktu masih pukul enam tepat. Sekolah jelas-jelas masih sepi, bahkan beberapa pekerja kebersihan yang ada di sana melihat Raka dengan pandangan agak aneh karena datang terlalu pagi. Anak-anak yang datang pagi biasanya memiliki kegiatan klub atau latihan pagi sebelum melaksanakan perlombaan, tetapi Raka benar-benar tidak memiliki tujuan seperti itu. Ia bahkan belum tahu klub-klub yang ada di sekolah karena memang baru kemarin ia datang dan langsung banyak sekali tragedi yang terjadi.
Raka yakin sekali Putra dan Wira pasti belum sampai ke sekolah, dan tujuannya saat ini adalah memeriksa toilet perempuan. Raka bisa sedikit merasa aman memeriksa toilet perempuan karena masih pagi dan belum banyak anak-anak yang datang ke sekolah sehingga Raka tidak perlu merasa sungkan atau malu kalau-kalau kepergok. Lagipula, Raka tidak berniat untuk dianggap menjadi seorang pemuda m***m yang suka diam-diam masuk ke toilet perempuan.
Jantung Raka berdegup gila-gilaan ketika ia mencoba untuk mengintip ke sisi toilet perempuan. Ia harus masuk ke area toilet laki-laki terlebih dahulu untuk memastikan tidak ada orang lain di balik dinding pembatas itu. Tubuhnya bergetar ketika jemarinya menyentuh dinding toilet, dan Raka tidak bisa untuk tidak membelalak ketika kedua matanya akhirnya menangkap visual yang seharusnya tidak ia saksikan.
“Ap—Hmmmpp.”
Raka mendongak ketika merasakan telapak tangan seseorang membekap mulutnya. Wira menatapnya dingin dan langsung menariknya dari area itu. Pemuda tahun pertama itu sangat awas dengan kondisi sekitar dan langsung menarik Raka tanpa mengatakan apa-apa. Dengan perawakan Wira yang sedikit lebih besar dan tinggi dari Raka, sangat mudah bagi pemuda itu untuk menyeret Raka semaunya, terutama karena Raka bahkan masih tidak begitu fokus karena apa yang baru saja dilihatnya.
Wira membawa Raka ke halaman belakang, titik yang sejak hari pertama Raka datang ke sekolah ini langsung ia kunjungi karena kematian Zefan. Putra ada di sana, duduk dengan raut muram dan langsung menghampiri Raka begitu Wira melepaskan bekapannya. Raka terbatuk-batuk dan mengusap bibirnya dengan kasar. Butuh usaha keras baginya untuk menghirup oksigen pasca dibekap tanpa kesempatan untuk menghirup udara.
Putra mendekat dan menyentuh bahu Raka, namun hanya sekian detik saja sebelum kemudian ia langsung menarik telapak tangannya dan mundur perlahan.
"Kak Raka?"
Raka menatap Putra dengan kerut di dahinya, ia juga masih sibuk menghirup oksigen saking kuat dan tidak berperasaannya Wira ketika membekap mulutnya.
"Aku nggak tahu kenapa Wira benci padaku, tapi bisakah kau sedikit saja mengurangi tenagamu. Aku tetap kakak kelasmu."
Wira tidak menjawab apa-apa. Ia hanya menyilangkan kedua lengannya dan memalingkan wajah. Sama sekali tidak peduli dengan keluhan Raka. Hanya helaan napas yang lolos dari bibir Raka. Ia bersyukur, sangat-sangat bersyukur bahwa ia tidak memiliki temperamen tinggi sehingga perlakuan Wira tidak sampai membuatnya mendendam.
"Ngomong-ngomong, kenapa Wira menarikku kemari?"
Wira dan Putra saling berpandangan. Ada raut aneh pada wajah mereka yang membuat Raka bertanya-tanya sebab kelakuan mereka ini. Dan soal toilet perempuan, tubuh gadis yang bunuh diri itu masih ada di lantai toilet, dengan darah menghitam yang memenuhi lantai dan bau anyir yang menyengat. Posisinya masih sama, dan itu berarti belum ada yang tahu tentang kematiannya.
“Ah lupakan soal menarikku. Kalian yang membawaku pulang ke rumah ‘kan? Itu artinya kalian tahu soal gadis yang bunuh diri itu. Lantas mengapa kalian tidak menolongnya?”
Wira mendecih. “Dia sudah mati, tidak ada gunanya kami menolong. Kau harusnya berterima kasih. Katakan, apa yang akan dilihat orang-orang jika kau berada di tempat kejadian?”
Putra menepuk bahu Wira, mengisyaratkannya untuk tenang. Raka paham, ia benar-benar paham. Ini bukan pertama kalinya ia berada pada tempat dan waktu yang salah. Kematian selalu saja terjadi di sekitarnya, dan sebenarnya tindakan Wira juga bukanlah kesalahan. Namun, Raka tetap saja tidak bisa menghapus perasaan bersalah bahwa gadis itu benar-benar meninggal tanpa kesempatan untuk ditolong.
“Kak Raka, sebenarnya mengapa Kakak ada di toilet perempuan?”
Raka menghela napas, berusaha menetralkan emosinya. “Aku sedang menunggu supirku kemarin ketika aku melihat gadis itu berjalan masuk ke dalam sekolah dengan membawa pisau dapur. Aku mengikutinya, dan melihatnya masuk ke dalam toilet. Aku tidak langsung ikut masuk ke toilet perempuan dan hanya berusaha mendengarkan apa yang ia lakukan dari bilik toilet laki-laki, tapi hanya ada suara air kran. Lalu aku memaksakan diri masuk, dan di sanalah aku melihatnya, hendak melukai diri sendiri. Dia juga sempat mengayunkan pisau itu padaku.” Jelas Raka sembari mengangkat lengannya.
"Jadi, kenapa kalian kembali dan membawaku pergi? Kalian sudah keluar dari area sekolah lebih dulu 'kan?" Tanya Raka lagi.
Bola mata Putra bergerak-gerak seolah mencari sesuatu, dan Wira juga tidak menanggapi apa-apa atas pertanyaan Raka. Ia hanya memandangi Putra yang tampak bingung dan mencari-cari sesuatu. Mungkin dia sedang melihat mahkluk astral? Sejak Raka tahu bahwa Putra memiliki kemampuan seperti itu, rasanya tidak aneh jika ia melihat-lihat sekitar seolah tengah mencari sesuatu.
Raka mengernyitkan kening ketika melihat Putra membelalak dan menganga seolah melihat sesuatu. Ia mengikuti arah pandang Putra, dan tidak menemukan apa-apa. Ekspresinya benar-benar kontras, jauh dari Putra yang ia kenal pertama kali.
"Putra?" Wira menepuk bahu kawannya pelan. "Ada apa?"
Putra menggeleng. "Oh, enggak." Ia kembali menatap Raka. "Kak Raka, kakak kelas yang jatuh dari lantai tiga kemarin itu, sedang bersama dengan Kakak 'kan?"
Jantung Raka berdegup cepat, sangat cepat sampai rasanya Raka lupa untuk bernapas. Kaki-kakinya terasa lemas, dan Raka ingin sekali pergi dari sana. Bagaimana kedua adik kelasnya ini tahu? Seingatnya hanya Chima dan Geovan saja yang tahu, itu pun mereka langsung membawa Raka pergi dari tempat kejadian. Raka mundur perlahan, wajahnya pucat pasi. Ketika Putra mendekatinya dengan ekspresi khawatir, Raka semakin mundur.
"Kak Raka, aku tidak bermaksud—"
Lagi-lagi, Putra selalu mundur dengan ekspresi terkejut sekaligus takut setiap kali ia hendak menyentuh Raka.
"A-Aku..." Raka menutup wajahnya.
Bayangan wajah Karina langsung muncul, membuat Raka kembali merasakan tekanan hebat di hatinya.
O||O