Raka baru saja menyangkal mengenai rumor yang mencatut namanya, dan sekarang seseorang kembali mengalami hal buruk dan berkaitan dengannya. Raka diam membisu untuk beberapa saat menyaksikan hal itu, namun seseorang dari kerumunan yang juga satu kelompok dengan gadis yang bermasalah itu dan sama-sama mengejeknya tadi pagi langsung melabraknya begitu melihat Raka di dekat pintu. Raka sebenarnya tidak berniat menampakkan diri, ia hanya hendak kembali ke bangkunya usai melihat apa yang terjadi dari jendela, tetapi sayang sekali gadis itu sudah melihat Raka lebih dulu.
Raka bingung harus melakukan apa sementara yang menyerangnya adalah seorang gadis. Ia hanya berusaha menahan tangan gadis itu yang terus berusaha memukulnya. Dia menangis meraung-raung, mengumpati Raka dengan kata-kata yang sangat menyakitkan. Raka hanya diam, tidak membalas atau menjawab apapun yang dikatakan oleh gadis itu. Kejadian itu sempat direkam oleh beberapa anak yang ada di sana. Raka menyadari itu ketika melihat beberapa kamera menghadap padanya. Sudah pasti sebentar lagi rumor tentangnya semakin bermacam-macam. Untungnya, keributan itu berhasil dihentikan Rayhan dan ketua kelas gadis itu. Ia adalah anak tahun kedua dari jurusan IPS bernama Stella, sementara gadis yang lidahnya sakit bernama Ariana. Ia bahkan masih mengacungkan jari tengah ketika diseret paksa oleh ketua kelasnya. Orang-orang masih memperhatikan Raka bahkan ketika keributan itu telah berakhir. Rayhan yang berinisiatif merangkulnya dan membawa ia kembali ke kelas.
"Ada yang luka?" Tanya Rayhan.
Raka menggeleng.
"Yakin? Kenapa gadis itu nyalahin kamu?"
Raka mengangkat bahu. "Mana kutahu. Dia bilang, aku mengutuk temannya. Yang benar saja."
"Masih berkaitan dengan rumor Pembawa Kematian itu?"
"Ya. Tadi pagi aku bertemu dengan Ariana dan Stella, mereka mengejekku soal rumor itu dan aku hanya spontan saja mengatakan 'Semoga lidahmu baik-baik saja' atau semacamnya. Sekarang tiba-tiba Ariana menjadi seperti itu. Kurasa wajar jika Stella mengamuk dan menyalahkanku. Mereka percaya dengan rumor yang membawa-bawa namaku, dengan kejadian hari ini, aku yakin rumor itu akan semakin meluas dan bermacam-macam ceritanya."
Rayhan diam dengan ekspresi aneh. Pemuda itu menatap sedikit ke atas. Seperti menatap Raka tetapi tidak benar-benar menatap Raka. Ada senyum samar di bibirnya. Raka tidak akan melihatnya andai posisi mereka tidak sedang berhadapan sangat dekat seperti ini.
"Ray?" Raka mengayunkan telapak tangannya di depan wajah Rayhan. "RAY!" Seru Raka lagi.
"Ah, ya?"
"Kamu ngeliat apa?"
Rayhan mengerjap pelan. "Enggak, cuma sedikit kurang fokus. Jadi, apa ada yang ingin kubantu?"
Raka mengacak surainya frustrasi. "Nggak tahu deh. Lebih baik aku diam saja jika ada yang mengejekku."
Pembicaraan mereka berlanjut menjadi semacam sesi curhat Raka mengenai kejadian pagi tadi sampai dengan ia yang dilabrak oleh Stella karena kondisi Ariana yang memburuk. Raka tidak tahu kabar selanjutnya mengenai Ariana dan apa yang sebenarnya terjadi pada gadis itu sampai lidahnya menjulur dan tampak sakit. Sampai bel pulang sekolah berdering, Raka masih tidak mendengar kabar soal dia. Ia hanya bisa berjalan cepat-cepat saking tidak nyamannya terus-terusan ditatap bak seorang kriminal yang baru melarikan diri dari penjara.
O||O
Raka berkali-kali mengubah posisi duduknya. Ia sedang duduk di atas kasur, bersandar pada kepala ranjang yang telah ia beri bantal untuk menyangga bahunya agar tidak sakit. Di pahanya ada laptop yang menyala. Beberapa tugas yang harus ia kebut kerjakan sudah diberikan oleh Rayhan. Sebagai anak baru yang masuk di pertengahan semester, bebannya dalam tugas banyak sekali. Terlebih, Raka sadar diri bahwa ia bukan golongan anak-anak pintar yang sekali membaca soal langsung memahami maksudnya. Ia harus berkali-kali membaca, browsing ke google beberapa maksud yang tidak ia pahami, dan berusaha mencari jawaban dengan otaknya yang pas-pasan.
Sudah sejak pukul tujuh malam ia menghadap laptopnya, dan sekarang sudah pukul setengah dua belas malam. Berarti sudah empat jam lebih tiga puluh menit ia menatap layar laptop. Mbak Hannah menyiapkan beberapa camilan dan jus sebelumnya, dan Raka sejujurnya benar-benar ingin tidur. Sungguh, ia lelah sekali baik mental dan fisik. Kejadian di sekolah masih membekas, dan ia khawatir akan ada kejadian buruk lain. Raka tidak tahu jika perkataannya menjadi kenyataan seperti itu. Rasanya benar-benar aneh. Jika seperti ini, orang-orang akan makin percaya jika ia adalah 'Si Pembawa Kematian'. Beruntung, setidaknya sampai ia pulang ke rumah tadi, sama sekali tidak ada kabar buruk Ariana meninggal karena kondisi itu, dan Raka berharap semoga saja tidak pernah terjadi.
Raka menggerakkan lehernya berkali-kali. Bagian itu dan bahunya terasa sakit dan kebas. Seperti baru saja mengangkut beban berat. Padahal Raka tidak mungkin melakukan itu. Raka menurunkan laptop dari pahanya, dan berdiri untuk merenggangkan tubuhnya. Kondisi kamarnya temaram karena malam sudah sangat larut.
"Mbak Hannah! Ambilin jus lagi dong!" Seru Raka dari kamar.
Meski rumah yang Raka tinggali itu besar, Mbak Hannah selalu mendengar teriakan Raka yang meminta sesuatu dari kamarnya. Kapan pun, selama Mbak Hannah ada di rumah, wanita itu tidak pernah tidak mendengar Raka. Tetapi kali ini, meski Raka sudah memanggilnya sampai lima kali wanita itu sama sekali tidak memberikan sahutan. Mendecak pelan, Raka akhirnya keluar dari kamar dengan ekspresi bersungut-sungut.
"Mbak Hannah?" Panggil Raka lagi.
Sama sekali tidak ada sahutan yang terdengar. Raka mengernyit bingung. Memangnya kemana seluruh pegawai rumahnya? Raka tidak menerima pesan apapun jika Mbak Hannah pergi atau ada keperluan. Wanita itu tidak pernah lupa mengabarinya. Kalau pun Mbak Hannah tidak ada, seharusnya pekerja yang lain mendengar suara Raka. Ia tahu hari sudah sangat larut bahkan nyaris tengah malam, tetapi pegawainya tidak pernah mengabaikan Raka di situasi apapun. Sekarang, rasanya Raka seperti tinggal sendirian.
Raka merengut. Dengan langkah malas Raka menuju dapur. Kamar Raka ada di lantai dua, sementara dapur ada di lantai dasar sehingga ia harus turun tangga untuk menuju ke sana. Suara langkah kakinya terdengar nyaring, dan saking sepinya, bahkan Raka bisa mendengar suara embusan napasnya sendiri.
Raka segera membuka kulkas begitu sampai ke dapur, mengambil jus dan menenggaknya sekaligus. Ia duduk pada salah satu kursi makan sembari menopang wajahnya dengan telapak tangan sampai ia merasakan rabaan pelan di sekitar pundaknya.
Raka sangat terkejut dan reflek berdiri sampai menjatuhkan gelasnya. Ia menoleh ke sana dan kemari namun tidak ada siapa pun.
"Halo?" Seru Raka panik. "Apa cuma perasaanku ya?" Gumamnya kemudian.
Raka kembali duduk meski jantungnya masih berdetak keras. Ia baru akan menarik napas ketika ia melihat dua telapak tangan dengan jemari lentik melingkari perutnya. Seluruh kulit Raka terasa dingin, dan ia makin membeku ketika merasakan kepala seseorang bersandar di bahunya.
"Ndoro Raka sangat tampan." Suara bisikan wanita bernada rendah, kemudian kikiran melengking yang menyeramkan.
Raka hanya menatap lurus, tidak berani menoleh. Ia merasa mengenal suara wanita itu, namun ia tidak ingat dimana pernah bertemu dengan seseorang yang memiliki suara sama. "Si-Siapa?" Tanya Raka terbata.
"Aku pendampingmu, Ndoro. Batari Cendrawati."
Raka merasakan pelukan di perutnya semakin erat, termasuk kepala wanita yang entah siapa itu semakin menempel pada lehernya.
"Le-Lepaskan." Desis Raka. Ia tidak bisa menggambarkan situasi yang tengah ia alami. Seluruh tubuhnya menggigil dan terasa sakit. Pelukan wanita itu semakin kuat seolah hendak meremukkannya.
"Ndoro Raka tidak bisa mengusir saya. Saya akan selalu bersama Ndoro Raka sampai Yang Terpilih lahir lagi."
Raka tidak mengerti, sama sekali tidak mengerti apa yang dibicarakan sosok yang tengah memeluknya. Raka tidak berani melihatnya. Hanya dengan mendengar suaranya, ia merasa ketakutan dan lemas. Mengapa orang rumah sama sekali tidak ada yang mendengarnya? Mengapa rumahnya sepi? Siapa wanita ini?
Dengan tangan gemetar Raka menyentuh lengan yang melingkari perutnya. Kulit pucat itu sangat dingin. Raka menarik paksa, berusaha melepaskan dirinya. Sangat susah membuatnya lepas, Raka bahkan nyaris menyerah. Ketika akhirnya Raka berhasil membebaskan dirinya, ia jatuh ke lantai. Masih dalam keadaan menunduk Raka duduk di lantai. Ia masih tidak mau menatap wanita entah siapa itu.
"Tidak ada yang pernah menolak Batari Cendrawati."
Suara yang sebelumnya melengking seperti wanita mendadak kuat dan menggeram. Takut-takut Raka menarik wajahnya. Kedua matanya membola, ia tidak tahu yang dilihatnya apa. Sesosok perempuan setengah ular? Tubuh wanita itu berbentuk manusia sampai pinggang, wajahnya menyeramkan, benar-benar menyeramkan. Kemudian dari pinggang ke bawah berbentuk ular berkulit merah.
Napas Raka mulai sesak karena ketakutan. Ia hanya membeku dengan mata melotot melihat sosok itu. Tidak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulutnya. Ia hanya beberapa kali membuka dan menutup mulutnya tanpa suara yang keluar. Tubuh Raka menggigil, lemas, dan mati rasa. Ia benar-benar jatuh dalam posisi yang tidak baik.
"Sampai mati, saya akan mengikuti Ndoro Raka!" Wajah wanita ular itu berubah, dengan taring tajam dan rambut acak-acakan. Sebagian kulitnya yang berwujud manusia memiliki sisik ular. Tanpa sadar, air mata menetes dari sudut kelopak matanya.
Raka memejamkan matanya begitu melihat wanita itu mendekat, berdo'a dalam hati dan meminta tolong dalam diam.
"—ka. Tuan Raka, TUAN RAKA!"
"Ah!" Raka membuka matanya. Mbak Hannah ada di hadapannya, memandanginya dengan khawatir. Raka menoleh kesana dan kemari, sosok wanita ular itu sama sekali tidak terlihat.
"Tuan Raka kenapa duduk di lantai?"
"M-Mbak Hannah nggak lihat?"
"Lihat apa?"
"Mbak Hannah daritadi di mana?"
"Di kamar. Saya baru saja dari toilet pas Tuan Raka manggil-manggil, pas mau kesini Tuan Raka sudah jatuhin gelas dan duduk seperti orang linglung. Memangnya Tuan Raka kenapa?"
Raka menggeleng. Tubuhnya benar-benar masih terasa sangat lemas. Mbak Hannah membantunya berdiri. "Anterin Raka ke kamar, Mbak."
Pikiran Raka berputar mengenai sosok wanita setengah ular yang muncul. Siapa dia? Siluman? Mengapa ia mengenal Raka? Mengapa ia menemui Raka? Yang Terpilih? Sejujurnya, Raka benar-benar tidak mengerti apa sebenarnya yang dibicarakan oleh wanita ular itu. Jantung Raka berdetak keras, ia benar-benar ketakutan. Sebenarnya, ada apa dengan diri Raka?
O||O