Syakila Putri Kita?

1078 Words
Senja mengacak kasar rambutnya. Membuat Jingga heran melihat suaminya itu. "Segera berkemas! Kita harus berangkat sekarang!" Senja melepaskan pelukan Jingga dan beringsut turun dari atas tempat tidur. "Aku beri waktu satu jam. Kemasi barang-barang kita!" Senja berlalu begitu saja. Membuat Jingga menelan kembali kata-katanya. Sesuai dengan perintah Senja, ia segera mengemasi barang-barang mereka berdua. Begitu Jingga selesai dari segala persiapannya, ia menemui sang suami yang sedang duduk bersantai di teras rumah. "Kak, aku sudah selesai. Mari sarapan dulu, sambil berpamitan dengan ibu dan ayah," ucap Jingga. "Tidak perlu, kita langsung pamit saja. Kita bisa sarapan di dalam pesawat." Senja masuk ke rumah. Mengabaikan Jingga yang berdiri di pintu. Setelah berpamitan dengan kedua orang tua Jingga, pasangan pengantin baru itu segera berangkat. Tiga jam lagi pesawat mereka berangkat. Begitu mereka berdua sampai di Bandara Internasional Minangkabau, Senja menyerahkan satu buah tiket kepada istrinya. "Maskapai kita berbeda," Senja menyerahkan sebuah tiket kepada Jingga. "Ini alamat rumahku. Begitu sampai, kamu tinggal menyerahkan kertas ini kepada supir taksi." Jingga tertegun, "Kak, aku pikir …," "Ikuti saja perintah suamimu, Jingga!" Senja meninggalkan Jingga begitu saja. Tanpa sepatah pesan apapun. Hanya sebuah perintah, yang memintanya untuk mengikuti seluruh keinginan Senja. Jingga menghela nafas berat. Ia begitu bingung dengan perubahan drastis dari suaminya itu. Padahal, sebelum pernikahan mereka berdua berlangsung, Senja begitu lembut dan romantis. Bahkan, kata cinta dan sayang hampir setiap menit meluncur dari bibir Senja. Begitu pesawat yang ia tumpangi mendarat, Jingga segera mencari keberadaan sang suami di pintu keluar. Ia masih berharap bisa pulang bersama meskipun maskapai penerbangan mereka berbeda. Hingga langit menggelap, Senja masih belum terlihat batang hidungnya. Sehingga Jingga memutuskan untuk pulang ke alamat yang tertera di dalam kertas, yang tadi pagi di serahkan oleh Senja. "Jingga!" Suara bariton mengejutkan Jingga yang sedang membantu supir taxi untuk memasukkan barang bawaannya ke dalam bagasi mobil. "Kak, Aryan," gadis itu melambaikan. "Kamu apa kabar? Nggak ikut Senja ke Bali?" Pria bernama Aryan itu mendekati Jingga. "Aku baik, Kak! Kak Senja di Bali? Eh, maksudku, apa Kakak bertemu dengan Kak Senja di Bali?" Aryan yang merupakan sahabat dekat Senja, mengangguk antusias. "Kamu benar. Waktu aku pulang ke sini, aku bertemu dengannya di bandara Ngurah Rai Bali." "Kak Senja ada sedikit pekerjaan di Bali, Kak. Tadinya kak Senja mengajakku. Namun, aku sedang tidak enak badan. Jadi aku pulang terlebih dahulu." "Ahh, pantas saja. Jihan yang menemani Senja," Aryan mengangkat satu alisnya. Pria yang sering menemani Senja mengunjungi Jihan itu, sempat menaruh hati pada Jingga. Namun, gadis itu selalu menghindar darinya. Dan kemarin, adalah hari patah hati bagi Aryan. Melihat Senja yang mengupload foto pernikahannya dengan Jingga. Belum sampai dua puluh empat jam patah hati, saat ia ingin kembali ke Bandung, pria bertubuh tinggi itu melihat Senja dan Jihan berjalan beriringan keluar dari bandara Ngurah Rai Bali. Awalnya Aryan berpikir Jingga bersama mereka. Itu sebabnya pria itu tidak menyapa Senja dan Jihan. Namun, kenyataannya Aryan malah melihat Jingga yang baru saja keluar dari Bandara Hussein Sastranegara. "Kak Jihan bukan menemani, Kak. Tetapi mereka memang tidak sengaja bertemu," jawab Jingga santai. "Barusan mereka berdua mengabari," ucap Jingga lagi. "Kalau begitu aku pamit dulu ya, Kak." Aryan mengangguk. "Baiklah. Kamu hati-hati, ya." Jingga hanya tersenyum. Tidak ada satupun kata yang keluar dari mulutnya. "Ke alamat ini ya, Pak!" Jingga menyerahkan secarik kertas kepada supir taksi. Barulah mobil tersebut berjalan menuju alamat yang dimaksud oleh Jingga. Selama perjalanan, Jingga mendengarkan musik dari headset yang terhubung ke ponselnya. Perkataan Aryan dan potongan pembicaraan suaminya dengan seseorang tadi pagi, berputar di dalam otaknya. Jangan kesini! Aku tidak ingin kedatanganmu mengacaukan segalanya. Baiklah, aku tunggu di Bali. Tunggu aku disana!" Langkah cepat Jingga berhenti. Mendengar percakapan Senja dengan seseorang. Gadis itu meremas kuat ponsel yang ada di dalam genggamannya. Ia baru saja melihat postingan Senja di media sosial miliknya. Kenapa suaminya melakukan itu semua. Padahal, Senja sendiri yang meminta Jingga untuk menutupi pernikahan mereka berdua. Bahkan Jingga rela mengubur dalam konsep pernikahan impiannya. ****** "Eja …," Jihan menghambur ke dalam pelukan Senja. "Lepaskan aku, Jihan!" Senja mendorong tubuh Jihan. Wanita itu terhuyung ke belakang. "Katakan apa yang ingin kamu katakan!" ketus Senja. "Bukan disini! Sesuai dengan kesepakatan kita. Kita bicarakan ini di tempat biasa. Tempat kita berdua, dunia kita!" Jihan menarik pergelangan tangan Senja. Mereka berdua menuju ke tempat dimana dulu pernah memadu kasih. Weekend pertama setiap bulannya, sepasang anak manusia itu selalu pergi ke Bali untuk memadukasih. Jihan, anak sulung dari dua bersaudara. Selalu di manjakan oleh sang Ayah. Berbanding terbalik dengan Jingga, gadis cantik bermata oval itu selalu tersisih. Karena wajahnya yang begitu mirip dengan sang ibu kandung, yang telah pergi dengan pria lain. Karena keegoisan ayah mereka. Namun, Jingga masih beruntung, ibu sambungnya menyayanginya seperti anak kandung sendiri. Sehingga Jingga tetap bisa tumbuh menjadi sosok yang baik dan percaya diri. Hampir dua jam perjalanan, akhirnya Senja dan Jihan sampai di sebuah penginapan yang berada di bibir pantai. Seperti masa lalu, Jihan hanya memesan satu kamar untuk mereka berdua. Sedangkan Senja menunggu Jihan di atas sebuah rumah pohon yang terletak di belakang rumah penginapan tersebut. Disana, pria itu memandangi langit senja yang berwarna jingga. "Aku hamil saat kamu pergi, Ja …," Jihan memeluk Senja dari belakang. Senja berbalik. "Apa?" "Aku hamil, saat kamu pergi merantau. Dan aku mengetahuinya setelah dua bulan kepergianmu. Anak kita perempuan. Puteri kecil kita bernama Syakila." "Kamu jangan main-main, Jihan! Jangan membohongi aku! Jingga mengatakan kamu sudah menikah dengan sahabatku sendiri." "Jingga? Ah …, aku sudah bisa menebak. Adikku itu yang memberitahu kepadamu. Benar, itu memang benar. Aku memang sudah menikah dengan Doni. Namun, tidak ada cinta untuknya. Aku terpaksa menikah dengannya, karena kandunganku sudah semakin membesar." "Kenapa kamu tidak memberitahu kan kepadaku? Jika memang Syakila anakku!" "Kamu menghilang, Senja! Aku kehilangan kontak kamu!" "Kamu yang menghilang Jihan!" "Aku tidak menghilang, Jingga memintaku untuk menguji kesetiaan kamu, menguji kekuatan cinta kamu. Dia, dia mengatakan. Jika memang kamu serius padaku. Maka kamu pasti akan menemukan kontakku kembali. Tapi apa? Kata Doni, kamu telah lelah, Senja. Kamu lelah!" Jihan menangis histeris. "Kamu tahu, gara-gara kabar itu, aku kecelakaan. Hampir satu bulan aku dan anak kita berjuang melawan kematian! Kamu tidak tahu itu kan?" Senja menarik Jihan ke dalam pelukannya. "Maafkan aku!" "Sekarang apa balasannya untukku? Kamu menikahi adikku. Wanita yang telah memisahkan kita berdua! Hiks hiks," memukul punggung Senja dengan kedua kepalan tangannya. Kak, sebenarnya aku sudah dari dulu mencintai Kakak. Tetapi aku sadar diri, siapa Kakak! Suara lembut Jingga terngiang di telinga Senja. Bercampur dengan tangisan nyaring dari Jihan, yang kini berada di dalam pelukannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD