1. Obrolan

1386 Words
Lovely Pov Aku berjalan memasuki lobi apartemen, meninggalkan motor kesayanganku di basemen seperti biasa ketika mengunjungi kediaman lelakiku.  Yeah, saat ini aku sudah memasuki lift menuju lantai 12, tempat di mana unit dirinya berada. Meski lelah mendera, tetap saja aku ingin mengunjungi apartemen Rio dan memasakkan menu makan malam untuknya. Hanya dengan cara itu aku bisa mengurus Rio yang sedang ditinggal orang tuanya ke Jepang untuk urusan bisnis. CEKLEK. Pintu kudorong terbuka setelah menekan 6 digit pin yang sudah kuhafal di luar kepala. Seperti biasa, keadaan unit Rio selalu dalam keadaan gelap ketika aku kunjungi. Dia memang sangat jarang pulang di bawah jam 8 malam. Maklum, dia tipe-tipe lelaki pekerja keras menurutku. Huft.... Aku meletakkan tas di atas sofa. Berjalan ke arah mini kitchen sambil mengikat rambut dan membuka pintu lemari es untuk mengeluarkan sejumlah bahan makanan yang tersedia. Kira-kira, malam ini aku masak apa, ya? Sejenak, aku berpikir. Berbagai menu sudah aku buatkan di malam-malam sebelumnya. Lalu saat aku teringat dengan obrolan kecil dengan Rio via telepon di jam makan siang tadi, senyuman pun mengembang. Aku menjentikkan jari, sudah menemukan ide harus memasak apa.  Tanpa berlama-lama lagi, aku mulai mengiris beberapa sayuran yang diperlukan untuk membuat capcay. Ya, aku akan membuatkan Rio capcay malam ini. Kurasa, dia akan suka. Karena tadi siang, dia sempat mengatakan kalau dia sangat rindu sekali dengan capcay buatan Tante Alina. Omong-omong soal Tante Alina, sejak menikah dengan Om Jeremy, tante sekaligus orang yang sudah sangat baik padaku itu kini sudah tidak tinggal lagi di Indonesia. Tante Alina diboyong suaminya ke New York, katanya, Om Jeremy ingin mengajak istri cantiknya itu mengenal negara kelahirannya. Maka, tidak ada yang bisa melarangnya. Setelah dua hari menikah, mereka langsung terbang meninggalkan tanah air. Dan mengenai kafe girly, semua hal yang bersangkutan dengan kafe itu diserahkan sepenuhnya kepadaku.  Apa aku terkejut? Tentu saja, tanpa kusangka aku diberikan tanggung jawab besar oleh Tante Alina. Aku diangkat langsung sebagai owner baru kafe girly. Dan itu, diberikan secara resmi di malam pesta kecil ulang tahunku yang dirancang Rio.                                                                                          «¤» "Lovey, kamu tahu kan kalau minggu depan Tante menikah?" tanya Tante Alina tiba-tiba, di tengah kehangatan berkumpulnya seluruh keluargaku dan juga Rio.  Aku mengangguk, menatap Tante Alina diikuti yang lainnya. "Setelah menikah nanti, Tante gak akan tinggal lagi di Indonesia," ucap Tante Alina menghela napas. "Memangnya, Tante Alin mau pindah ke mana?" sambar Rio bertanya, mewakili rasa ingin tahu yang terpancar jelas dari sorot mata Alfa dan juga aku. "Om Jeremy mau memulai kehidupan baru kami di New York, kota kelahirannya...." jawab Tante Alina memandang semua orang yang sedang menyimak pembicaraannya. "Terus, kalo Tante pindah ke New York, artinya kafe bakal ditutup?" terka Rio yang lebih banyak melontarkan pertanyaan dibanding yang lainnya. Tante Alina tersenyum seraya menggeleng, tatapannya ia arahkan kepadaku.  "Tante gak akan tutup kafe itu, tapi, Tante bakal pindah alihkan tanggung jawabnya pada seseorang yang sudah Tante percaya," ujar Tante Alin lugas. Kulihat Rio kembali hendak bertanya. Namun kali ini, kesempatannya didahului oleh Alfa. "Emangnya, siapa orangnya, Tante?"  Alih-alih menjawab, Tante Alina meraih tanganku yang terkulai di atas meja. Dengan tatapan hangatnya, ia menggenggam tanganku seraya berkata, "Tante berikan kafe girly sama kamu, Lovey. Anggap saja, itu hadiah ulang tahun buat kamu dari Tante...."                                                                                             «¤» "Sayang, kamu ada di sini?"  Aku terperanjat, tersadar dari lamunan kecilku dan mendapati lelakiku sedang berdiri di depan pintu menatapku tak menduga. "Rio, tumben kamu udah pulang...." kataku, lantas membiarkan dulu irisan sayur yang sudah siap untuk kumasak bertumpuk rapi di atas talenan dan berjalan menghampiri Rio. "Iya, kebetulan kerjaan aku udah selesai semua. Jadi, aku bisa pulang lebih awal dari biasanya deh...." terang Rio tersenyum cerah, melonggarkan jeratan dasi di kerah kemejanya. Aku ikut tersenyum, beringsut memeluk tubuh Rio yang menguarkan aroma maskulin dari kemeja yang dikenakannya.  "Tahu gak? Kalo kayak gini, aku serasa jadi udah punya istri," celetuk Rio terkekeh, balas memelukku penuh kehangatan.                                                                                       ➡§§§⬅ Aku beranjak dari kursi, berniat untuk mengangkut piring-piring kotor bekas makan malam kami bersama sebelumnya. "Makin hari, masakan kamu makin lezat aja, Sayang...." ucap Rio memuji. Aku tersenyum, "Ini kamu ngomong kayak gitu, jujur dari dalam hati atau lagi ada maunya sih?" lontarku bergurau, bersiap untuk melenggang ke mini kitchen.  "Ya aku jujur dong, sesuai dengan isi hatiku yang terdalam," selorohnya terkekeh. Aku geleng-geleng, mengabaikan celotehan lebay Rio sambil menaruh semua piring dan gelas kotor ke tempat pencucian piring.  Seperti dugaanku, Rio menyukai capcay buatanku. Katanya, rasanya hampir sama dengan capcay buatan Tante Alina. Tentu saja aku tidak langsung percaya, Rio kan kadang suka melebih-lebihkan argumennya.  "Oh ya, Sayang ... Besok malam, kamu ada waktu luang gak?" seru Rio yang sudah berpindah tempat ke sofa seberang televisi. Sambil memoleskan busa berbuih ke piring yang kupegang, aku lantas menyahut, "Emangnya kenapa, Yo?"  "Aku diundang ke pesta salah satu klienku, aku malas kalo berangkat sendirian ... Jadi, kalo kamu ada waktu luang, kamu temani aku dong datang ke pestanya," pinta Rio menatapku dari balik sofa saat aku menoleh. "Boleh, Yo. Tepatnya pukul berapa?" "Sekitar pukul tujuh malam aku jemput. Kamu dandan yang cantik ya sayang, biar mereka yang lihat pada iri semua ke aku karena pasanganku begitu cantik dan mempesona," ujarnya menggelikan. "Dih, sejak kapan kamu selebay ini? Dasar tukang gombal!" semburku yang disambut gelak tawanya.                                                                                    ➡§§§⬅ Di saat aku mau pulang, hujan malah turun. Seolah tidak merestui kalau aku meninggalkan unit kekasihku.  "Udah, kamu tidur aja di sini. Percuma, hujan sejenis ini biasanya suka susah buat reda dalam jangka waktu yang pendek," tukas Rio menginfokan. Aku melenguh panjang, "Tapi kalo aku gak pulang, kasihan Kena ... Dia pasti nangis kejer gara-gara ditinggal sendiri pas lagi hujan. Apalagi kalo ditambah suara petir," kataku, teringat dengan Kena yang memiliki phobia suara petir di tengah hujan yang turun di malam hari. "Tenang aja, nanti biar aku suruh Bang Alfa buat temenin dia deh...." tekad Rio membuatku menoleh. "Kok malah nyuruh Alfa? Nanti mereka cuman berduaan doang lagi di dalam rumah," protesku. "Lah, emang kenapa? Kan kita juga cuman berdua di sini," sanggah Rio mengedip polos. Aku menepuk dahi, "Maksudku, gimana kalo seandainya mereka khilaf ... Terus nanti--" "Mereka kuda-kudaan, gitu?"  Plok. Spontan kupukul bahunya keras, membuat dia meringis sambil mengusap-usap bahunya lalu mencebik. "Gede banget sih tenaga kamu, bahu aku pasti memar," gerutu Rio mengerucutkan bibir. "Ck, gak usah lebay deh. Apalah arti pukulanku di bahu seorang cowok yang doyan fitnes, paling berasa dicolek doang jatohnya." Aku mendelik, mengemukakan pendapat. Rio terkekeh, lantas tanpa kuduga, dia pun melingkarkan kedua tangannya di perutku. Memeluk dari belakang serta menumpukan dagunya di bahuku sembari menatap rintikan hujan dari balkon apartemennya. "Yang, seandainya kita nikah nanti ... Kamu mau punya anak berapa?"  Aku terbelalak, lelaki ini kenapa tiba-tiba mengajukan pertanyaan soal jumlah anak? "Kamu gak lagi pengin cepet-cepet bikin anak kan, Yo?" celetukku asal membuatnya mendecak sebal, lantas melepaskan pelukan hangatnya yang ia ubah menjadi bersedekap.  Aku tertawa geli, melihat raut cemberut Rio yang selalu membuatku gemas ingin mengecup pipinya.  Berganti posisi, kini aku yang balik memeluk tubuh Rio dari belakang. Menempelkan sebelah pipiku di punggung tegapnya.  "Kalo kita nikah nanti, aku pengin dikasih anak dua aja, Yo...." ucapku menyambung pembahasan sebelumnya. Sambil menggenggam tanganku Rio bertanya lagi, "Kok cuman dua, Yang?" "Lah, kan dua anak lebih baik," kataku meniru tag line sebuah iklan di televisi. Kudengar Rio mendengkus, "Masa cuman dua ... Gak asik," dumelnya kemudian. "Terus emangnya kamu mau punya anak berapa?" tanyaku kali ini sedikit sewot. Sebelum menjawab, Rio melepaskan lingkaran tanganku di perut kotak-kotak yang terbatasi oleh kaos hitam santainya. Lalu, dia mengubah posisi menjadi berhadapan denganku.  Dengan tatapan serius, lelaki di hadapanku ini lantas menyentuh bahuku erat, "Aku gak mau punya dua anak, aku pengin kita punya lima anak ... Bahkan lebih," ujarnya membuatku memelotot. "Lima? Kamu gak salah?" pekikku terkejut. Rio menggeleng, "Enggak dong, kamu tahu gak alasan aku pengin punya anak banyak itu karena apa?" "Karena apa?" Aku membeo. "Karena ... Di saat mendapatkan satu anak aja kita usaha bikin anaknya lebih dari satu kali, berarti kalo punya anak lima atau lebih pun usahanya bakal berkali-kali. Dengan begitu, aku bisa tiap saat kuda-kudaan terus deh sama kamu...."  Setelah mendengar alasan yang terlontar dari mulut menyebalkannya, seketika aku langsung menginjak kakinya tanpa ampun sampai dia memekik kesakitan. "Sakit, Sayang!"  "Rasakan! Suruh siapa pelihara otak m***m kayak gitu," omelku mendengkus keki. Kemudian memutar badan dan melangkah masuk meninggalkan balkon berikut Rio.                                                                                               ➡Faithful⬅
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD