Kamar VVIP

1095 Words
Setelah beberapa menit, Dira akhirnya keluar dari toilet. Ia berjalan pelan mendekati Sani, kemudian membuka tas kecil yang dibawanya dan mengeluarkan sebuah botol kecil berisi cairan bening. “Minum ini, San. Biar nanti kepala kamu nggak sakit,” ucap Dira sambil menyerahkan botol itu. Sani menatap botol itu dengan tatapan lekat. “Ini apa?” “Cairan elektrolit, semacam penetral buat yang baru pertama kali minum alkohol,” jelas Dira. “Tenang aja, aman kok.” Sani masih menimbang sejenak, lalu akhirnya menerima botol itu dan meneguknya sedikit. Rasa asam dan sedikit manis menyentuh lidahnya. “Makasih, Dir,” ucap Sani pelan. Dira menepuk pundak Sani pelan. “Santai aja. Malam ini kita senang-senang dulu, besok baru mikirin yang berat-berat.” Dira tersenyum kecil, namun jelas bukan senyum hangat seorang teman. Senyum itu dingin, licik, menyimpan rencana yang tidak diketahui siapa pun—termasuk Sani. Dalam hati, Dira bergumam, “Malam ini semuanya bakal berjalan sesuai rencana. Dan aku akan dapat apa yang sudah dijanjikan—uang dalam jumlah besar.” Dira menatap Sani yang masih bersandar dengan tenang, sesekali meneguk cairan dari botol kecil tadi. Sani yang polos benar-benar tidak tahu apa pun. Dan itu yang membuat rencana Dira semakin mudah dijalankan. “Ayo, aku bantu jalan,” ucap Dira dengan nada lembut, penuh kepura-puraan. Ia merangkul Sani yang sudah terlihat lemah dan kehilangan keseimbangan. Setelah keluar dari keramaian klub, Dira membawa Sani ke lorong samping yang jauh lebih tenang, lalu menaiki lift menuju lantai paling atas—lantai khusus yang hanya bisa diakses dengan kartu khusus. Di sana, ruangan-ruangan yang tersedia bukan sembarang kamar, melainkan kamar VVIP dengan fasilitas lengkap dan tingkat privasi tinggi. Pintu kamar yang mereka tuju terbuka otomatis setelah Dira menempelkan kartu akses di panel elektronik. Begitu pintu terbuka, aroma parfum mahal langsung tercium, menandakan ruangan ini bukan untuk tamu sembarangan. Kamar itu luas, lantainya dilapisi karpet tebal, dan pencahayaan hangat dari lampu gantung kristal membuat suasana tampak elegan. Di tengah ruangan, ada ranjang king size dengan seprai putih bersih dan bantal empuk yang tertata rapi. Dira membaringkan tubuh Sani perlahan di atas ranjang itu. Sani menggeliat lemah, matanya berusaha tetap terbuka, tetapi pengaruh dari minuman dan cairan yang ia telan tadi terlalu kuat. Kesadarannya mulai memudar. Dira berdiri di tepi ranjang, mengamati Sani dengan tatapan kosong. Kemudian, ia meraih ponselnya dari dalam tas dan mulai mengetik pesan. “Target sudah di kamar VVIP. Aku tunggu instruksi selanjutnya.” Kirim. Pesan balasan langsung masuk ke ponsel Dira. Layarnya menyala, menampilkan tulisan singkat namun tegas: "Biarkan saja dia di tempat itu. Pergi dari situ secepatnya. Nanti akan ada orang yang datang ke tempat itu." Dira menatap pesan itu beberapa detik, wajahnya tanpa ekspresi. Ia lalu mengangkat pandangan ke arah Sani yang masih terbaring lemah di atas ranjang, matanya mulai tertutup, bibirnya menggumamkan sesuatu yang tidak jelas. Dengan gerakan cepat dan terlatih, Dira memastikan semua barang miliknya tidak ada yang tertinggal, lalu merapikan sedikit posisi Sani agar tampak seperti sedang tertidur. Tanpa menoleh lagi, ia melangkah keluar dari kamar, memastikan pintu kembali tertutup rapat di belakangnya. Lorong di luar sepi. Suara musik dari lantai bawah hanya terdengar samar. Dira berjalan cepat menuju lift, jantungnya berdetak pelan namun mantap. Sementara itu, di dalam kamar, Sani masih tak berdaya. Tak ada yang tahu siapa yang akan datang seperti yang dikatakan dalam pesan… dan dengan tujuan apa. Beberapa menit berlalu, pintu kamar VVIP itu terbuka. Seorang pria masuk dengan langkah yang tidak stabil, satu tangannya masih menggenggam tablet elektronik yang kini hanya berfungsi sebagai formalitas. Matanya terlihat berat, seperti menahan kantuk atau efek dari sesuatu yang tak disadari olehnya. Wajahnya tampan, nyaris terlalu sempurna untuk nyata—rahang tegas, hidung tinggi, mata tajam yang kini mulai meredup. Ia berhenti di ambang pintu, pandangannya kabur saat menyapu ruangan. Ketika matanya menangkap sosok Sani yang terbaring di tempat tidur, tubuhnya kaku sesaat. Kerutan samar muncul di dahinya, antara bingung dan curiga, namun tidak cukup sadar untuk memahami situasi dengan jelas. “Apa… siapa?” gumamnya rendah, suaranya serak dan berat, terdengar nyaris tidak yakin. Langkahnya maju sedikit, tablet di tangannya jatuh ke lantai dengan bunyi pelan. Ia menatap Sani, yang juga mulai mengerang pelan karena tubuhnya terasa semakin panas. Keduanya kini dalam kondisi tidak sepenuhnya sadar, terjebak dalam situasi yang bukan mereka ciptakan. ***** Dominic James Harrison lahir dari keluarga terpandang yang namanya sudah dikenal luas di kalangan elite bisnis internasional. Ayahnya, Ethan Harrison, adalah seorang pengusaha berdarah Inggris-Indonesia yang memulai bisnis dari nol di usia muda dan kini menjadi pendiri sekaligus CEO dari Harrison Group—sebuah konglomerat yang bergerak di bidang properti, perhotelan, dan investasi global bahkan kini bisnis keluarga mereka sudah merambah ke manufaktur dan juga ritel. Ibunya, Melani, adalah mantan model papan atas Indonesia yang kini aktif dalam kegiatan sosial dan yayasan amal keluarga. Sejak kecil, Dominic telah dipersiapkan sebagai penerus Harrison Group. Ia dibesarkan di London, tetapi sering bolak-balik ke Jakarta karena bisnis keluarganya juga memiliki akar kuat di Indonesia. Pendidikan Dominic tidak main-main—ia lulus dari Universitas Oxford dengan gelar di bidang Ekonomi dan Manajemen Bisnis, lalu melanjutkan gelar magister di Harvard Business School. Meski berasal dari keluarga kaya, Dominic tidak tumbuh sebagai pria manja. Ia terbiasa hidup disiplin dan bekerja keras di bawah tekanan sang ayah. Pada usia 28 tahun, Dominic resmi diangkat sebagai CEO muda untuk cabang Asia-Pasifik Harrison Group. Di tangannya, cabang tersebut berkembang pesat. Ia dikenal sebagai sosok visioner yang tegas dan dingin, namun juga sangat cerdas dan karismatik. Meski banyak wanita terpikat olehnya, Dominic lebih sering terlihat menjaga jarak. Media menyebutnya "The Untouchable Tycoon" karena kehidupannya yang tertutup dan sulit dijangkau. Dominic membuka matanya perlahan, ia memegangi kepalanya yang terasa pening. Cahaya redup dari lampu gantung mewah di langit-langit kamar menambah rasa tidak nyaman di kepalanya. Ia mengerutkan kening, mencoba mengingat apa yang terjadi semalam. Ingatannya kabur, hanya samar-samar ia ingat bertemu dengan kedua teman baiknya di klub malam. Perlahan, ia bangkit dari tempat tidur. Tapi tubuhnya kaku dan sedikit berat, seolah ada sesuatu yang menghalangi geraknya. Dan saat itulah matanya menangkap sosok asing di ranjang—seorang wanita. Dominic tersentak saat tubuh wanita itu tiba-tiba memeluknya erat. Napasnya tercekat. Kulit mereka bersentuhan langsung—hangat, bahkan panas—dan satu hal yang langsung menyadarkannya… mereka berdua tidak mengenakan sehelai kain pun di tubuh. Jantung Dominic berdegup kencang, bukan karena hasrat, tapi karena keterkejutan. Kepalanya masih berat, dan kini pertanyaan yang menghantui semakin besar: apa yang sebenarnya terjadi? Perlahan, Domimic melepaskan pelukan itu, tak kasar, tapi tegas. Wanita itu mengerang pelan, seperti mencari kehangatan dan perlindungan dari rasa sakit dan takut yang bercampur dalam dirinya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD