Jam menunjukkan pukul sepuluh malam, yang artinya restoran telah resmi tutup. Lampu-lampu di bagian dalam mulai diredupkan, dan para pegawai tampak sibuk merapikan meja, menyapu lantai, serta membereskan alat-alat makan.
Sani sudah bersiap-siap untuk pulang. Ia mengganti seragam kerjanya dengan pakaian biasa dan memasukkan apron ke dalam loker. Rambutnya diikat seadanya, dan wajahnya terlihat lelah, tidak hanya karena pekerjaan, tapi juga karena beban emosi yang ia tahan sepanjang hari.
Sebelum keluar, ia sempat menatap sejenak ke arah ruang makan restoran yang kini telah kosong. Ia berharap tak melihat sosok Reno lagi di sana. Namun, hatinya tetap terasa nyeri, seolah bayangan Reno dan Putri masih tertinggal di setiap sudut ruangan.
Sani menghela napas panjang lalu melangkah keluar dari pintu belakang restoran. Malam terasa sunyi, dan udara dingin menyambutnya. Tapi justru dalam kesunyian itu, Sani merasa sedikit lebih tenang—setidaknya untuk saat ini.
“San,” panggilan itu terdengar dari belakang, menghentikan langkah Sani yang baru saja melangkah keluar dari restoran.
Sani menoleh dan melihat Winda berjalan cepat menyusulnya. Meski sudah malam, wajah Winda masih memancarkan semangat yang luar biasa.
“Kenapa Wind?” tanya Sani lembut.
“Kamu mau ikut aku sama yang lain?” tanya Winda.
Sani mengerutkan kening, penasaran. “Ikut ke mana malam-malam begini?” tanyanya sambil menatap Winda.
“Ke klub malam,” jawab Winda santai. “Hari ini Dira ulang tahun, jadi dia mau traktir kita minum-minum. Kamu mau ikut?”
Sani mengerjap, kaget. “Klub malam?” ulangnya pelan, seolah ingin memastikan dirinya tidak salah dengar.
“Iya,” Winda mengangguk sambil tersenyum. “Tenang aja, kita cuma mau santai dan nikmati musik. Nggak harus minum, kok, kalau kamu nggak mau.”
Sani terdiam, ia tidak pernah mengunjungi klub malam sebelumnya. Tapi entah kenapa, ajakan itu terasa menggoda. Mungkin, pikir Sani, sedikit keramaian bisa membungkam sepi yang terus menjerat pikirannya.
“Aku…” Sani menggigit bibir, ragu. “Aku belum pernah ke tempat kayak gitu sebelumnya.”
“Justru itu,” timpal Winda cepat. “Sekali-sekali kamu harus coba hal baru, San. Siapa tahu kamu suka suasananya.”
Sani menarik napas dalam-dalam. Hatinya masih luka, tapi malam ini dia juga ingin merasa hidup—meski hanya sebentar. “Aku ikut,” jawab Sani akhirnya.
Winda langsung tersenyum senang. “Aku yakin kamu nggak akan nyesel. Ayo, kita bareng naik taksi.”
*****
Lampu remang-remang dan dentuman musik keras langsung menyambut kedatangan Sani dan Winda. Sorotan lampu warna-warni bergerak cepat, memantul di dinding kaca dan lantai yang berkilau. Winda terlihat begitu antusias, senyumnya lebar, matanya berbinar mengikuti irama lagu.
Sementara itu, Sani spontan menutup kedua telinganya dengan tangan. Suara musiknya terlalu keras, dan suasananya terlalu asing. “Astaga, suara musiknya kenceng banget!” teriak Sani di dekat telinga Winda, berusaha mengalahkan bisingnya suara musik.
Winda tertawa kecil. “Namanya juga klub malam, San!” seru Winda sambil tertawa kecil. “Ayo, ke meja! Yang lain pasti udah nungguin kita dari tadi!”
Sani hanya mengangguk dan mengikuti Winda menembus kerumunan. Suasana klub malam begitu padat, penuh orang yang menari, tertawa, dan menikmati malam mereka. Aroma parfum bercampur alkohol memenuhi udara, dan lampu sorot menyoroti wajah-wajah asing di sekeliling mereka.
Mereka akhirnya tiba di meja yang sudah dipesan. Ratih, Dira, dan beberapa rekan kerja lain sudah duduk di sana, tertawa sambil mengangkat gelas masing-masing.
“Wooo, akhirnya datang juga si pendatang baru!” teriak Dira sambil tertawa lebar. “Selamat datang di dunia malam, Sani!”
Sani tersenyum tipis, mencoba rileks. Ini jelas bukan dunianya, tapi untuk malam ini—hanya malam ini—ia akan mencoba menikmati hidup, meskipun hanya pura-pura.
Dira langsung menuangkan minuman beralkohol ke dalam gelas, lalu menyerahkannya pada Sani dengan senyum lebar.
“Ayo, malam ini kita rayakan!” seru salah satu teman mereka. “Buat Dira yang makin tua, dan Sani yang akhirnya mau ikut kita ke sini!”
Namun, Sani segera mengangkat tangan, menolak dengan halus. “Maaf, aku nggak minum,” ucap Sani pelan, menolak dengan senyum kecil.
“Kalau nggak minum, ngapain ikut ke sini? Lagian, minum segelas dua gelas nggak bakal bikin mabuk,” ucap Dira, nada bicaranya penuh kekecewaan. Ia meletakkan gelas itu kembali ke meja dengan sedikit keras, cukup membuat beberapa orang di sekitarnya melirik.
Melihat kekecewaan dan sedikit kemarahan Dira membuat Sani merasa sangat tidak enak. Dia tahu Dira hanya ingin malam ini terasa menyenangkan. Dengan ragu dan tangan yang sedikit gemetar, Sani akhirnya mengambil gelas itu dari meja lalu meneguk isinya dengan cepat.
Begitu cairan itu melewati tenggorokannya, Sani langsung mengerutkan kening. Rasanya... aneh. Ada sensasi panas yang mengalir turun ke dadanya, disusul rasa pahit yang sulit dijelaskan. Sani berdeham pelan, mencoba menahan ekspresi tidak nyaman yang hampir saja muncul di wajahnya.
“Gimana, San? Nggak seburuk itu, kan?” ucap Dira sambil menyeringai puas.
Sani hanya mengangguk kecil dan memaksakan senyum. “Iya… aneh aja rasanya.”
Winda menepuk pelan punggung Sani. “Kalau kamu nggak nyaman sama minumannya, jangan dipaksain lagi, ya.”
Dira menatap mereka satu per satu, matanya berbinar, senada dengan dentuman musik yang menghentak lantai. “Kalian semua masih mau duduk di sini terus? Nggak mau ke tengah-tengah?”
Winda langsung menyahut, “Ayo dong, seru-seruan sebentar!”
Beberapa teman yang lain sudah bangkit dari kursinya, tertawa dan mengikuti Winda menuju tengah-tengah kerumunan. Lampu sorot warna-warni menari di langit-langit klub, menambah efek semarak di ruangan.
Sani baru saja hendak berdiri, mencoba untuk ikut bergabung bersama Winda dan yang lainnya. Meskipun ia bingung harus bagaimana dan tubuhnya belum sepenuhnya nyaman dengan suasana ini, ia ingin mencoba. Namun langkahnya terhenti ketika Dira menahan lengannya.
“San, minum segelas lagi, habis itu temenin aku ke toilet,” ucap Dira. Wajahnya tampak sedikit memerah karena pengaruh alkohol, tapi tatapannya masih tajam dan terarah.
Sani menoleh, menatap gelas di depan matanya dengan ragu. Tenggorokannya masih terasa aneh dari tegukan pertama tadi. Namun, ia juga tidak ingin membuat suasana menjadi canggung, terlebih malam ini adalah ulang tahun Dira.
“Hmm… iya,” jawab Sani pelan. Dengan perlahan, ia mengambil gelas yang baru saja diisi Dira. Kali ini, ia meneguknya lebih hati-hati. Rasa panas langsung mengalir ke tenggorokannya, membuat perutnya terasa sedikit perih, tetapi ia tetap menahannya. “Sudah,” ucap Sani singkat, lalu beranjak berdiri.
Dira menyeringai puas. “Ayo”
Mereka pun berjalan menyusuri lorong sempit menuju toilet. Sani hanya menunduk sambil menahan napas setiap kali aroma campuran parfum tajam dan alkohol menyergap. Matanya masih beradaptasi dengan kelap-kelip lampu remang-remang di dalam klub.
Sesampainya di depan pintu toilet perempuan, Dira berhenti dan menoleh ke Sani. “Tunggu di sini, ya.”
Sani hanya mengangguk sebagai jawaban.
Sani bersandar di dinding lorong, Sani menghembuskan napas panjang. Kepalanya mulai terasa sedikit berat—efek dari dua gelas minuman tadi mulai bekerja. Dalam kepalanya yang sedikit berputar, bayangan wajah Reno dan Putri kembali hadir, menari-nari bersama dentuman musik.