Dominic kemudian mengantarkan Sani ke sebuah kamar yang luas di lantai dua. Kamar itu terlihat nyaman, didekorasi dengan nuansa krem hangat dan perabotan elegan khas rumah mewah. Namun, bagi Sani, keindahan itu justru membuatnya merasa asing. Dominic berdiri di ambang pintu, tangan kirinya masih menggenggam gagang pintu sementara tatapannya mengarah ke Sani yang kini berdiri di tengah kamar, tampak canggung. “Istirahatlah,” ucap Dominic, suaranya tenang namun terdengar kaku. “Kalau kamu membutuhkan sesuatu, kamu bisa panggil aku... atau pelayan di rumah ini. Mereka tahu apa yang harus dilakukan.” Sani hanya mengangguk pelan tanpa menoleh. Ada banyak hal yang ingin ia katakan, tapi semua terasa menggumpal di tenggorokannya. Ia tidak tahu harus bersikap seperti apa—di rumah pria yang belu

