Paris atau Jakarta

1474 Words
“Ta, Mommy bakal kangen kamu … Kamu beneran ya mau ke Paris. Esmod tuh di Jakarta juga ada. Kamu kenapa milihnya ke Paris sih, Ta,” rengek Mommy yang masih berusaha menggoyahkan niatku untuk terbang ke Paris. “Jakarta masih dekat, Mom. Aku nggak mau kalau masih harus pulang pergi ke Indramayu. Itu riskan dan akan terasa sia-sia kalau nantinya aku masih tetap ketemu mas Yongki,” akuku pada Mommy. “Mommy bilang aku akan melupakannya saat sudah remaja dan beranjak dewasa. Nihil, Mom … semakin aku berusaha melupakan mas Yongki … semakin membuatku mencintainya. Sampai sekarang pun cintaku pada Mas Yongki tidak pernah bisa berkurang. Paris mungkin bisa membantuku untuk melupakan mas Yongki, Mom. Aku nggak mau perasaan ini terus saja membuatku menjadi wanita yang tidak beruntung karena tidak bisa memikat hati pria yang aku cintai.” Bukan kali ini saja aku mengakui perasaanku pada mas Yongki di depan Mommy atau pun Daddy. Sudah begitu sering aku mengaku dan jujur tentang perasaanku. Namun, tetap saja Mommy selalu mengelak dan mengatakan kalau perasaanku hanya cinta sesaat. Cinta monyet yang akan hilang saat aku beranjak dewasa. “Ih, kamu beneran suka sama Yongki, Ta. Yongki kan cuek bebek, mana betah kamu punya suami secuek dia.” “Daddy juga kalau sama yang lain cuek, dingin dan otoriter. Eh, kalau di depan Mommy malah selalu bikin melted. Mom, Aku beneran pengen ke Paris. Aku beneran pengen lupain mas Yongki. Aku nggak lama kok di sana, kalau kuliahku sudah selesai langsung pulang. Janji,” bujukku yang masih berusaha meyakinkan Mommy untuk mengizinkanku ke Paris. Sebenarnya bukan hanya ada kami berdua di ruang keluarga ini, ada Daddy dan Andra juga. Hanya mereka terlihat sibuk dengan dunia masing-masing. Anda sibuk dengan game online di ponselnya, sedangkan Daddy terlihat fokus menyaksikan acara berita di televisi. “Secinta itu kamu sama Yongki hingga tega meninggalkan Mamah?” tanyanya dengan nada yang terdengar begitu melow, Mommy terlalu mendramatisir rencana kepergianku. “Aku nggak tahu Mom, aku nggak tahu ini perasaan cinta atau hanya obsesi semata. Kata Mommy aku akan melupakannya seiring usiaku bertambah. Kata Mommy aku akan melupakan perasaanku pada Mas Yongki saat aku mulai mengenal banyak pria dalam hidupku, tapi kali ini Mommy salah. Nyatanya dari dulu hingga sekarang aku masih saja mendambakan mas Yongki lah pangeran berkuda putihku.” Aku memang selalu terbuka seperti ini di depan kedua orang tuaku. Blak-blakan dan tidak ada yang kurahasiakan pada mereka. Aku lihat Mommy menghela napasnya sebelum menyampaikan sesuatu padaku. “Ya sudah, kalau begitu kamu kuliah di Esmod Jakarta terus Mommy janji kagak bakalan deh nyuruh kamu pulang. Nanti Mommy yang ke sana buat nengokin kamu, iya kan Dad?” tanya Mommy meminta persetujuan Daddy. Daddy yang sedari tadi tidak memperhatikan obrolan kami pun terlihat gelagapan mendapatkan pertanyaan tiba-tiba dari ratunya. “Maaf, sayang … bisa ulangi lagi pertanyaannya,” ringis Daddy dengan menggaruk tengkuknya. Mommy pun dengan sabar mengulangi lagi kalimat yang dia ucapkan tadi, dia benar-benar serius meminta dukungan dari Daddy agar aku tidak usah berangkat ke Paris dan memilih Esmod cabang Jakarta agar Mommy bisa bertemu denganku kapan pun dia merindukanku. Ah, aku pun pasti akan merindukannya, merindukan kebersamaan kami yang sering menghabiskan waktu berdua. “Daddy belum urus Visa Agatha loh.” Apa? Pengakuan Daddy barusan benar-benar membuatku kaget tak terkira. Mereka sepertinya memang benar-benar sudah bersekongkol menggagalkan keinginanku untuk ke Paris. Kota cinta yang mungkin bisa membuatku jatuh cinta dengan atmosfirnya sehingga aku bisa mengubur dalam-dalam perasaanku pada mas Yongki. “Daddy bilang sudah daftarin aku ke Esmod. Memangnya Daddy daftarin ke Esmod mana?” todongku yang langsung saja membuat Daddy kembali meringis dan memasang tampang bersalah. Ini semakin membuatku yakin kalau Mommy berhasil membujuk Daddy agar tidak mengirimku ke Paris. “Daddy daftarin kakak ke Esmod Jakarta, aku tahu kok. Mommy kan terus merengek agar Daddy nggak mengirim kakak ke paris, bahkan Mommy mengancam kalau kakak tetap berangkat ke Paris, Daddy bisa tidak dapat jatah malam selama kakak di Paris,” celetuk Andra masih dengan pandangan fokus ke layar ponsel miliknya. Namun, Andra bisa menangkis lemparan bantal Daddy yang melayang ke arahnya. “Serius? Daddy daftarin aku ke Esmod Jakarta. Ya Tuhan, Daddy, aku kemarin bilang ke Bang Eza dan lainnya kalau aku beneran mau ke Paris. Andra juga tahu aku ngomong begitu, tapi dia malah diam saja. Ah, kalian kejam! Aku nggak mau tahu, pokoknya aku mau ke Esmod Paris bukan Jakarta. Titik,” putusku dengan egois. Aku menekuk kedua lengan tanganku dan menyandarkan badanku pada sofa, sungguh aku kecewa dengan keputusan sepihak mereka yang benar-benar menggagalkan rencanaku ke Paris dengan persekongkolan sembunyi-sembunyi seperti ini. Padahal sebelumnya Daddy sudah setuju dan mendukungku yang ingin kuliah fashion bussiness di Esmod Paris. “Kakak ….” Andra meletakan ponselnya. Matanya kini lengkap memandangku. Sepertinya ada hal serius yang akan dia sampaikan hingga rela meletakan sejenak ponselnya. “Paris, Itali, Aussie, bahkan mau ke antartika sekalipun tidak akan pernah membuat kakak melupakan mas Yongki kalau kakak tidak pernah membuka hati kakak buat pria lain. Sudah jelas loh Mas Yongki itu tidak menyukai kakak, aku miris lihatnya. Kakakku cantik … dan aku tahu yang suka sama kakak itu banyak. Sejak kakak baru masuk SMA hingga kini sudah lulus, cowok-cowok yang deketin kakak itu bukan hanya satu dua, tapi puluhan. Hanya saja kakak tidak mau membuka diri dan hati kakak. Kakak terlalu terjebak dengan cinta monyet kakak pada orang yang menurutku salah.” “Salah?” tanyaku tidak mengerti kenapa Andra bilang Mas Yongki orang yang salah. “Iya salah, kakak itu salah meletakan cinta pada pria cuek, angkuh, so cool yang coolnya itu sudah level es batu yang mengerasnya lebih-lebihin es di kutub utara. Kalau saja dia bukan anaknya Mamah April, aku ogah banget ngelihat muka songong Mas Yongki yang sok kecakepan,” beber Andra di hadapan aku, Daddy dan Mommy. Aku meringis mendengar ungkapan kalimat yang keluar dari mulut adik tersayangku. Kedua sudut mataku terasa menghangat. Aku tahu apa yang dikatakan Andra memang benar jika dia menyebut aku jatuh cinta pada orang yang salah. Harusnya cinta itu membuatku bahagia, tidak merasa nelangsa karena malangnya cintaku yang tidak pernah terbalaskan. “Ta, adikmu benar. Coba kamu buka hati kamu … di dunia ini pria itu bukan hanya Yongki. Kamu terlalu tega sama Mommy kalau gara-gara Yongki malah kabur ke Paris ninggalin Mommy dan Daddy. Andra dan kamu itu beda, Andra nggak mungkin mau nemenin Mommy ke salon, hangout ke mall atau sekedar keliling cobain menu kuliner baru di seantero Indramayu ini. Kamu beneran tega mau ninggalin Mommy ke Paris hanya karena Yongki?” Tatapan Mommy begitu terlihat menusukku, menjadikan aku seolah anak durhaka yang memilih menyakiti hati Mommy karena cinta yang aku rasa. Air mataku menetes, tapi aku langsung mengusapnya agar tidak beranak pinak kalau aku membiarkannya mengalir hingga pipi. “Baiklah, mungkin Andra benar kalau aku terjebak dengan cinta monyet karena tidak mau membuka hatiku untuk yang lain. Kalau Daddy memang sudah mendaftarkan aku ke Esmod Jakarta, aku bisa apa. Toh, biaya kuliah di Paris emang mahal, apalagi ditambah dengan biaya hidup selama di sana. Tak apa aku kuliah di Jakarta, tapi aku tidak akan kembali ke kota mangga sebelum lulus dari sana. aku benar-benar akan mencoba sekuat dan semampuku untuk melupakan Mas Yongki dari hidupku … sepertinya aku memang harus menyerah dan kalian benar kalau aku jatuh cinta pada orang yang salah.” Aku sudah berdiri untuk meninggalkan ruang keluarga yang tiba-tiba membuatku merasa tidak nyaman. Tidak ada yang mendukung perasaanku. Itu harusnya semakin membuatku semangat untuk mencoba menghapus Mas Yongki dan mengusirnya keluar dari kerajaan hatiku. “Ta … maafkan Daddy,” sesal Daddy sembari mendongak menatapku. Entah dia kasihan atau merasa bersalah saat melihatku seperti ini. “Aku ke kamar.” Akhirnya, hanya kalimat itu yang keluar dari mulutku. Entah apa yang Mommy, Daddy, dan Andra pikirkan melihat aku seperti ini. Aku terluka, aku kecewa dan aku semakin merasa kalau paras cantikku tetap tidak berguna untuk bisa membantuku sedikit saja merebut perhatian mas Yongki. Aku melangkah cepat menaiki anak tangga, masuk ke dalam kamar dan menguncinya. Sendiri mungkin akan membuatku merasa lebih baik. Sendiri bisa membuatku merasa tidak tersudut lagi karena perasaan yang membuatku selalu merasa dilema. Sejak dulu Mommy selalu bilang kalau apa yang aku rasakan pada Mas Yongki itu hanya cinta monyet. Saat kecil Daddy berkata kalau suatu saat akan ada pangeran berkuda putih yang akan memintaku menjadi istrinya. Maka, aku jangan bersedih kalau mas Yongki tidak mau menikah denganku. Namun, aku tetap saja seperti ini. Tetap saja mendamba dia. Tuhan, katakan adakah cara untukku bisa melupakannya. Tuhan berikan ganti padaku seorang pria yang bisa menghapus bayang-bayang mas Yongki dalam kehidupanku. Tuhan … kalaupun tiga tahun ke depan aku tidak berada di Paris. Aku rela, tapi aku tetap meminta kalau Jakarta akan menghadirkan cinta yang baru hingga aku bisa melupakan dia.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD