Lampir

2328 Words
Tiga tahu bukan waktu yang lama untuk melupakan seseorang. Dari ribuan orang berlalu-lalang di keramaian mall, tidak sulit untuk merasa pasti kalau gadis dengan tawa lepas itu adalah Agatha. Namun, yang membuatnya sanksi untuk mendekat adalah satu pertanyaan yang begitu saja muncul kala wajah cantik itu terlihat di depannya. “Bukannya dia di Paris atau sekarang aku yang bermimpi,” gumamnya seraya mencubit lengan dan seketika mengaduh sendiri hingga sang pacar yang duduk di depannya mengernyitkan kening. “Kamu kenapa?” “Coba usap, lenganku sakit.” Meski merasa aneh, sang pacar yang familir dipanggil Nina pun menurut mengusap lengan Yoga. “Berarti tidak mimpi, aku kira ini Paris, bukan Jakarta,” gumamnya membuat Nina menepuk cukup kencang lengan Yoga hingga suara mengaduhnya membuat beberapa pengunjung resto melirik ke arah mereka. Nina melempar senyum malu-malu pada beberapa pasang mata yang menatap aneh pada keduanya. “Kamu sih,” desahnya memonyongkan bibir. “Kalau kamu pikir ini Paris terus aku siapa? Selingkuhan kamu,” sambungnya membuat Yoga meringis mengusap tengkuknya. “Na, sebentar ya. Ini penting, darurat, Na. Kalau memang ini bukan mimpi. Aku mesti pastikan kalau itu benar-benar Agatha,” tunjuk Yoga mengarah pada dua cewek cantik yang berdiri di depan resto seperti sedang menunggu seseorang. Tanpa menunggu persetujuan Nina, setengah berlari Yoga menghampiri mereka. Namun, naas, saat hampir tiba di depan mereka, bocah kecil dengan sebuah es krim di tangan pun berlari cepat dari arah berlawanan dan tabrakan tidak dapat dihindarkan. “Aduh, muka gantengku,” keluh Yoga mengusap wajahnya yang kini dipenuhi lelehan es krim. Sementara sang bocah langsung menangis histeris. Agatha yang seperti mengenal suara dari korban tabrakan sesama pengunjung di hadapannya pun membungkuk untuk memastikan dia mengenal si korban atau tidak. “Mas ini tisu.” Ibu dari si bocah mengulurkan tisu pada Yoga. Segera dia menyambarnya dengan terus menggerutu kesal. “Makanya, Bu, kalau di mall itu anak dipegang. Bahaya, ini mukaku jadi mirip badut.” “Biar saja mirip badut! Memang kamu badut Ancol. Lihat cewek cantik macam mereka saja sudah heboh lari-lari. Kamu yang salah malah balik nyalahin bocah,” sambar Nina yang menyusul sang pacar sembari menunjuk ke arah Agatha dan temannya. “Na, malu tahu. Apa sih kamu sok heboh begitul. Mau viral dengan hastag ngelambrak cowok yang nyamperin selingkuhan apa? Kagak lucu,” decih Yoga dengan suara tertahan dan segera berdiri. Sementara tanpa keduanya sadari sejak tadi Agatha terus saja memperhatikan Yoga. Awalnya dia membungkuk, seiring Yoga yang berdiri, dia pun ikut berdiri, “Ngapain si, Ta. Masa orang berantem ditonton,” tegur Angelita, teman satu kelasnya yang kerap dipanggil Angie dan baru datang ke tempat kejadian perkara untuk menarik Agatha menjauh dari Yoga dan Nina. “Eh, aku kenal dia tahu, Gie.” Agatha menepis tangan Angie dan kembali mendekati Yoga. “Sudah sih, Na. Kamu berisik tahu, aku malu kamu omelin mulu. Eh, iya, tuh aku jadi lupa mau nyamperin, Agatha.” Yoga berbalik bersamaan dengan Agatha yang menghampirinya. “Yoga.” Keduanya saling tunjuk dengan mata yang terbuka lebar dan sedetik kemudian Agatha masuk ke dalam pelukan Yoga. “Kangen kamu,” ringiknya tanpa tahu napas Nina sudah kembang kempis tidak karuan ditambah tangan yang terkepal hingga tanpa ampun dia menjambak dan menarik rambut Agatha hingga pelukan dia dan Yoga terlepas. “Sakit, aw, ih siapa sih mak lampir ini. Sakit, lampir.” Agatha meronta mencoba melepaskan jambakan Nina. Angie dan Wini yang datang ke mall bersama Agatha pun berusaha melepaskan Agatha dari serangan Nina. “Nin, lepas dong Nin. Kamu apaan sih, lebay. Kamu salah paham,” ujar Yoga yang tidak hanya tinggal diam melihat sang pacar menganiaya Agatha. “Salah paham kamu bilang. Dia ini lampir yang mau rebut kamu dari aku. Jadi dia yang bikin perhatian kamu ke aku berkurang. Ini gadis yang bikin kamu lupa sama aku.” Nina bertambah beringas dan terus melayangkan serangan pada Agatha meski Yoga dan kedua teman Agatha terus memisahkan mereka. Tak ayal keributan mereka menjadi tontonan menarik buat para pengunjung mall yang sedang ramai. Sudah dipastikan banyak di antara mereka yang malah mengeluarkan ponsel untuk merekam dan mengabadikan momen memalukan yang menimpa Agatha sore itu. “Nina, kamu gila. Lepaskan dia atau kita putus,” ancam Yoga yang malah membuat tenaga Nina bertambah sekian limpat. Jambakan terlepas, tapi Nina tidak berhenti menyerang Agatha. Tangannya terus menarik dan memukul Agatha seperti adegan yang kini banyak berkeliaran di lini masa f******k atau ** di mana istri sah melabark pekakor dengan brutal. “Yoga, kamu ngapain punya pacar gila macam dia.” Napas Agatha ngos-ngosan menunjuk Nina saat tangan Yoga berhasil mengunci tubuh Nina. Sementara di kanan-kiri Agatah ada Angie dan Wini yang menahannya agar tidak menyerang balik Nina. “Kamu yang gila! Sudah tahu Yogaopunya pacar, kamu masih saja dekati dia. Dasar pelakor!” teriak Nina cukup kencang. Namun, dia tidak bisa mendekati Agatha lagi saking kuatnya Yoga memeluknya. “Hei! Kalian sudah nikah, kamu ngaku-ngaku jadi pacar, tapi sekarang malah ngatain aku pelakor! Tahu kepanjangan pelakor, tahu tidak!” bentak Agatha maju beberapa langkah. Namun, Angie dan Wini berhasil menahan langkahnya. “Eh, lampir! Memangnya julukan apa yang pas buat cewek kegatelan macam kamu.” “Nina, sudah ih. Kamu malu-naluin tahu.” Yoga yang hilang kesabaran melepaskan pelukannya yang mengunci tubuh Nina. “Kamu tahu dia siapa?” tanya Yoga setengah membentak. “Dia pacar Mas Yongki. Puas!” Yoga menarik Agatha menjauh dari Nina. Nina melongo, dia frustrasi ditinggal Yoga dengan para penonton yang kini menertawakannya baik diam-diam maupun menyurakinya dengan terang-terangan. Wajahnya tertunduk menjauhi pintu resto. Namun, tiba-tiba ada yang mencekal tangannya. “Mbak, ini billnya belum dibayar.” Seorang pelayan resto memberikan kertas tagihan yang membuat Nina melongo. Tiga ratus ribu adalah total uang yang ada di dompetnya. Segera dia membayar tagihan itu sebelum berlari cepat mencari keberadaan Yoga untuk mengganti uang yang dia keluarkan. “Yoga, lo mau putusin gue kek. Lo mau apa, tapi gue gak rela uang gue habis hanya buat makan siang bareng lo,” berang Nina yang berlari kelimpungan mencari jejak Yoga. “Gila, parah itu cewek kamu! Dia macan, singa, bukan cewek!” umpat Agatha yang berdiri di depan kaca otlet baju di mana Wini dan Angie sedang berada di dalam sana dan dia memilih tetap di luar otlet bersama Yoga. “Sembarangan! Dia cantik, seksi dan yang perlu lo tahu, toketnya gede. Enak buat diremas.” “Edan! Gelo!” Agatha menyerang wajah Yoga beberapa kali mendengar kalimat yang dibisikkan tadi. “Aku lapor mama April kalau kamu masih juga begitu,” ancam Agatha yang tahu kalau Yoga memang sang Don Juan sejati. Dari sejak SMA saja Yoga sudah jadi bahan rebutan para cewek di sekolah mereka. Apalagi sekarang, semakin bertambah dewasa semakin tampan saja si Yoga meskipun untuk Agatha tetap Yongki belum terganti walau tiga tahun mereka tidak kunjung berjumpa. “Eh, aku sampai lupa. Kok kamu di Jakarta? Bukannya kamu di Paris?” tanya Yoga membuat Agatha langsung meringis. “Ketahuan deh,” keluhnya dengan menghentakkan kaki menuju bangku tunggu di depan otlet. “Aku kagak jadi dikirim ke Paris. Mommy berhasil melakukan agresi secara gerilya hingga Daddy malah mendaftarkan aku kuliah di sini. Parahnya Andra sekongkol dengan mereka.” “Jadi tiga tahun ini kamu di Jakarta?” tanya Yoga hampir tidak percaya. “Yes, I am,” aku Agatha. Mereka duduk berhadapan dan kedua tangan Agatha menopang dagu dengan memamerkan wajah memelas. “Terus foto-foto kamu di Eiffel sama Andra?” “Kami memang berlibur ke sana waktu itu.” “Sama Mommy and Dad?” “Yes. Please, jangan kasih tahu ini sama mama April. Aku tidak mau ujug-ujug dia ke sini nyamperin aku. Hebohlah nanti jadinya,” mohon Agatha dengan gaya lebay nan ceriwis yang tidak berubah dari saat mereka sama-sama bocah hingga kini tumbuh dewasa bersama. “Pantas saja setiap aku tanya apa kabar Paris kamu selalu mengalihkan topik. Si Andra dan kedua orang tua kamu pun sama. Setiap kami kumpul keluarga tidak pernah membahas kamu dan Paris. Paling hanuya membahas kabar kamu dan kuliah kamu.” “Aku pikir Bunda Mega, Mamah Lelis dan Amih Diana tahu aku di sini. Hanya mama April saja yang tidak dikasih tahu.” Agatha memamerkan deretan gigi putihnya. “Why?” “Coz we are soulmate. Kalau mama tahu aku di sini. Setiap hari dia bakal kunjungi aku.” “Lebay,” cebik Yoga. “Bukan lebay, Ga. Terus kapan aku lupa sama Mas Yongki kalau aku masih terus ketemu dia. Terus kumpul dan datang di acara keluarga. Aku putuh hidup waras. Aku butuh lupa dan amnesia supaya tidak terus sakit hati diacuhkan dia.” “Halah terus dengan kamu seperti ini kamu lupa sama dia?” Agatha menggeleng. “Terus dengan tiga tahun ini kalian tidak bertemu kamu sudah punya pacar dan mas Yongki hilang dari hati kamu.” “Boro-boro Yoga. Yang ada aku malah jadi stalker dia, stalker diam-diam yang tidak berani memunculkan diri. aku masih mencinatai dia dari dulu sampai sekarang dari kita berdua sama-sama masih TK sampai aku jadi gadis cantik, seksi dan mirip penyanyi cantik dari Korea. Iya kan?” Agatha berdiri dan memutar badannya di depan Yoga. Kebetulan yang sangat pas karena dari seberang Nina bisa melihat Agatha dan di sana juga ada Yoga sehingga dia langsung berlari mendekati keduanya. “Ta, lo ngapain sih?” tanya Wini dengan tangan kanan yang menjinjing paper bag hasil berburu diskonan baju dengan Angie. “Aku lagi pamer kalau aku ini masih Agatha Vernezza yang cantik dan seksi.” Acuh saja Agatha memuji diri sendiri tanpa peduli decihan muak dari Yoga dan kedua sahabatnya. “Terus dengan kamu pamer di depan aku, kamu banggain diri kamu seperti ini. Itu bisa bikin kakak aku meleleh. Kagak! Level dia bukan cewek model gini. Dia maunya yang alim,” elak Yoga yang kini ikut berdiri karena dirasa sesi belanja kedua teman Agatha di otlet Uniqlo sudah usai. “Eh, jadi ini adiknya Yongki?” sambar Angie bertanya malu-malu. Dalam hati Angie bergumam, ‘pantas saja Agatha cinta mati sama Yongki. Adiknya saja seganteng ini.’ “Hello, Beib. Yoga, Yongki’s young brother.” Yoga mengulurkan tangannya apda Angie. Namun, Nina keburu datang dan menepis kasar lengan Yoga. “Ya elah, lampir, ngapain kamu ke mari lagi,” sembur Agatha sembari menyingsing lengan baju tiga perempatnya dan bersiap siaga barang kali Nina kembali mengajaknya bergulat. “Aku enggak ada urusan sama kamu,” tunjuk Nina dengan berang. “Bayar. Enak saja kamu ngajak aku makan siang, ini bill malah aku yang bayar.” Dengan kasar Nina menempelkan bill yang dia bawa ke kening Yoga. “Astaga, Nina. Kamu pikir aku ini cowok miskin yang bill segini saja tidak mampu bayar.” Yoga mengembalikan kembali kertas tagihan pada Nina sebelum dia menarik dompet di saku belakang. “Ini, empat ratus ribu. Sekalian tanda terima kasih karena kamu ajak aku ke sini. Aku jadi ketemu dia.” Yoga menarik pinggang Agatha yang langsung menempel mesra padanya. Nina mendengkus kesal sebelum pergi meninggalkan mereka. “Bye, lampir.” Agatha sengaja melambaikan tangan saat Nina pergi putar balik dan menjauh setelah memasukan uang ke dalam dompet. “Ih gila, enak banget kamu peluk-peluk aku,” decihnya langsung mendorong Yoga begitu Nina sudah menjauh. “Halah, biasanya juga kamu yang heboh peluk-peluk aku.” “Itu dulu ya, sekarang tidak,” elak Agatha dengan menekan suara saat berkata tidak. “Terus tadi di depan resto yang peluk aku bukan kamu, tapi Nyai kunti?” “Ish, sembarangan! Segala Nyai kunti apa dibawa. Mereka mah adanya di Indramayu sana. Kalau di Jakarta setannya kagak level semodel Kunti, tapi semodel itu, tuh!” Agtha menunjuk dua cewek seksi yang usianya tidak berbeda jauh dari mereka. Hanya saja pakaian yang mereka kenakan luar biasa. Rok pendek renda yang memperlihatkan celana dalam yang menutup b****g dan v****a, ditambah lagi kaos singlet yang dipakai membuat pauidara besarnya menonjol. “Eh, aku kalau setannya begitu mau lah digangguin mereka. Toketnya lebih gede dari punya si Nina.” “Oh My God, Yoga! Kamu lihat, itu Angie sampai bergidik ilfeel dia sama kamu. Mau suka sama kamu juga dia batal gara-gara omongan kamu yang m***m, jorok bin vulgar!” Agataha kembali menepuk kencang kening Yoga hingga dia mengaduh dan mengusapnya cukup lama. “Eh, tadi jadi gagal kenalan. Aku Yoga, baru jomblo gara-gara dia.” Yoga mengulurkan tangannya pada Angie, tidak lupa dia melirik Agatha saat berkata dia. “Angelita, panggil Angie saja.” “Wina Yohara, Wini saja panggilnya.” “Oke Wini, Angie, titip calon kakak ipar yang entah kapan bisa menikah dengan mas Yongki,” kekeh Yoga sengaja meledek Agatha. “Mungkin kalau mas Yongki amnesia dan bangun dari koma pertama kali yang dilihat Agatha, barulah dia menerima dia sebagai calon istri,” sambungnya selalu tidak pernah puas meledek Agatha sejak dulu. “Parah!” “Kamu yang parah, rela tiga tahun kagak kumpul hanya karena Mas Yongki. Apaan itu, tidak lucu. Lagian memang dia di sini punya pacar?” Yoga bergantian menatap Angie dan Wini. “Yang suka banyak, tapi pacar kagak ada.” “Gila, Win. Kamu mau buka kartu, biar dia pulang ke Indramayu kora-koar bawa toa keliling desa hanya buat mengumumkan. Helo pemirsa Agatha Vernezza yang tiga tahun menghilang dari permukaan tetap masih setia menjomblo menunggu Grafinki Yongki Nugroho amnesia dan menerima dia sebagai calon istrinya.” Sontak tawa langsung terdengar menanggapi kalimat Agatha. Ya Tuhan, dia tidak akan pernah sadar kalau Paris, Jakarta atau Antartika sekali pun tidak akan pernah menghapus Yongki yang sudah mendarah daging dalam pikiran, hati dan sanubarinya. “Eh, aku lupa. Kamu ke Jakarta sama siapa?” tanya Agatha saat mereka sduah berada di tangga eskalator untuk pulang dan menyudahi acara keliling mall hari ini. “Sama Mas Yongki.” “Sama mas Yongki? Dia ada kerjaan di sini?” Yoga mengangguk dan desah pasrah Agatha pun terdengar. ‘Ya Tuhan, sia-sia dong aku menjauh kalau dia malah ke sini. Terus aku harus tetap bersembunyi atau meluapkan rindu ini?’
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD