Bab 4.2 : Mana Ampas dan Mana Emas

1060 Words
  Kalau ada sumur di ladang boleh lah kita menumang mandi, kalau ada bacot yang suka nyalang - nyalang, udah lah mending lo kasih biar sadar diri - kevriawan, 2020    = = = = = = = = =  = = = = = = = = = = = = =  Bab 4 : Mana Ampas dan Mana Emas   Ini masih lanjutan percakapan gue dengan si J tadi. Gue sempat merajuk dan ogah menyahuti panggilan dia beberapa kali, sehingga akhirnya terlontar kalimat itu. ‘Yaelah, udah, Jon. jangan baper.’ ---- sesederhana itu kalimatnya, dan gue malah merasa semakin enggak dihargai oleh cecunguk satu ini.   “Sebagai manusia kita itu enggak boleh terlalu sensitif. Ah, lo mah gitu aja dibawa baper. Jangan baper - baper, ntar cepet kurus.” tandasnya lagi.   “Emang sebagai manusia, salah kalau gue menunjukkan sedikit perasaan?”   “Bukan salah, tapi enggak perlu.”   “Oh,” gue berdecih kemudian. Oke, baiklah. Gue sudah mencatat satu lagi fenomena pertemanan emas tapi ampas sama si J alias Juki. Ah, sudahlah, gue sebut saja namanya. Kagak enak sembunyi - sembunyi manjah. Gue yakin lo semua udah pada tempe kalau orang yang gue maksud adalah Juki.   “Jaman sekarang, orang - orang pada enggak suka sama manusia yang dikit - dikit bawa perasaan. Ditoel dikit ngambek, diledekin dikit marah - marah, disenggol dikit langsung mau ngebacok.” Juki melanjutkan ucapannya, sementara gue semakin BETE dengan segala sesuatunya. “Di era yang seperti ini enggak akan ada tempat buat kaum - kaum lembek yang kema kayak permen yupi.”   Oh, oke. Jadi kalian dengar sendiri. kan, gaes. Bahwa menurut Juki, kaum - kaum millenials macam lo dan gue enggak boleh terlalu baper. Jangan sedikit - sedikit ngambek. Enggak boleh marah kalau diledekin. Dan pantang ngebacok kalau disenggol. Ya, memang apa yang dibilang Juki enggak sepenuhnya salah. Tapi gue juga enggak yakin, seberapa banyak, sih, orang yang tahu batasan? Batasan untuk mencolek, batasan untuk meledek, batasan untuk menyenggol. Berapa banyak manusia millennials yang paham soal beginian?   Bahwa kalo lo bercanda sama orang harus lihat konteksnya apa. Kalau lo berniat meledek harus tahu kapan saatnya berhenti, dan di mana lo harus menyudahi itu semua. Even lo terpaksa banget menyenggol orang lain, kan tetap lo harus tahu diri. Ibarat kata gini, lo sekarang bayangin bahwa diri lo ada di dalam sebuah KRL dalam kota. Ini settingnya Jakarta, lo bayangin aja pokoknya kereta berdesakan deh, kalau seandainya lo enggak tinggal di Jakarta dan belum pernah naik KRL.   Nah, jadi di sebuah kereta yang sangat berdesakan gini, lo mau enggak mau harus saling berdempet dan menyenggol satu sama lain dengan penumpang lainnya. Bukan enggak mungkin nanti ketika keretanya berguncang tubuh lo akan ikut miring, lo bakalan nyender dikit ke orang tak dikenal, atau tanpa sengaja pegangan ke doi. Itu kan konteks menyenggol secara wajar ya, dan kondisinya juga sendang enggak memungkinan untuk lo banyak meminta yang macam - macam. Ya, wajah dan sah - sah saja toh, kalau lo menerima keadaan seperti itu. Konteksnya jelas, dan yang terpenting enggak ada tanda - tanda bakalan bikin patah hati.   Tapi, akan berbeda cerita kalau seandainya secara tiba - tiba, ditengah kerumunan itu lo tahu - tahu mendapati sesuatu yang enggak pernah lo sangka sebelumnya. Misalnya ada yang meraba - raba celana atau p****t lo, mungkin. Atau ada yang dengan sengaja menggesekkan tangan, kaki, atau apapun ke lo dengan maksud iseng atau yang lain. Di sini konteks sudah berubah, dan wajar lah kalau seandainya lo marah. Even lo tahu dia kurang ajar, lalu dengan segenap keberanian lo menggampar orang itu, gue yakin seandainya di kasusin pun lo enggak salah. Kalau alibinya kuat ya tinggal minta maaf.   Cuma ya, sayang. hal seperti ini tampaknya enggak berlaku antar percakapan sesama teman. kayak yang juki bilang tadi. kalau gue merasa tersinggung dia nyuruh gue mendem. Ya, kan, katanya gue enggak boleh baper. Katanya itu cuma bercanda dan gue dilarang sensitif sama apa yang dia ucapkan. Jadi, pada akhirnya … walaupun gue sakit hati pake banget, ya sudah lah. Gue legowo aja, ujung - ujungnya ya dipendam dalam hati. Seolah enggak ada pilihan lain dan kelihatannya pun memang enggak ada pilihan lain.   Kan … sudah gue bilang bahwa dunia ini kejam. Memang enggak cocok sama sekali dengan gue yang selembut dan selemah permen yupi. Untung manis, uhuk! Oke skip.   “Juk, kenapa sih, kok gue dilarang baper?” percakapan masih berlanjut gengs, gue penasaran dan memutuskan bertanya pada Juki.   “Ya, kan, lo cowok. Ngapain juga pake acara baper, sih.” Juki berkilah, dia sekarang jadi kelihatan kesal - kesal gedeg gitu sama gue. “Dengerin, ya, Namjon … kalau lo masih mau hidup nyaman dan bersosialisasi dengan normal di kampus ini, jangan terlalu baper lah. Manusia itu enggak sempurna, bisa jadi lo bakalan ketemu yang baik tutur katanya, misal macam si Jeano ---- yang kalo ngomong halus banget, selembut tisu paseo. Tapi bisa jadi juga to takdirnya temenan sama gue yang cablak.”   Ah, gue penasaran. Emangnya kalau cablak jadi hilang etikanya, gitu?   “Memangnya lo enggak bisa ikutan ngomong alus, padahal lo tau temen lo baper?”   Juki berdecak, “Jon, please, lah! Lo kenapa sih. Gue, kan udah bilang kalau semua yang tadi itu bercanda. Lo enggak ngerti atau gimana?”   Lah, kok si Juki malah nge-gas? Baper juga kah?   Gue akhirnya cuma menghela napas. “Tuh, lo aja baper, kan, cuma gara - gara pertanyaan absurd gue.”   “Yeh, itu mah bukan baper, tapi kesel!”   “Ya, apa bedanya. Baper itu, kan, definisi dari bawa perasaan. Emosi yang dalamnya ada marah, kesel, gedeg, dan lain - lain itu kan salah satu bentuk perasaan. Nah, lo sendiri, gue cuma nanya kenapa gue kagak boleh baper. Tapi respon lo malah baper gitu.” Ahay, gue berhasil melakukan serangan balik.    Juki cuma diam. mungkin membenarkan perkataan gue.   “Beda, malih!”    Wow, ternyata si Juki masih ngotot kalau dia enggak baper. Oke lah, enggak masalah. Gue yakin juga bahwa kalian itu cukup pintar untuk menilai dan menerka. Sometimes kita memang harus bedakan mana emas dan mana ampas. Walau gue juga enggak bisa memungkiri. Kadang ada emas yang bungkusannya ampas. Contohnya yang modelnya kayak si Juki begini. Tiada akhlak seenaknya ngomong, giliran orang baper malah dilarang - larang.   Sekali lagi gue tekankan, hidup itu susah. Kenapa gue enggak mati saja, sih? * * * * *  to be continued * * * * *    By the way, kalau kalian merasakan sama seperti apa yang Jono rasakan, boleh banget langsung di tap LOVE nya gaes. Atau bisa juga kalau kalian mau add cerita ini ke library atau perpustakaan. Supaya kalau next time saya update, kalian enggak ketinggalan beritanya, hihiw~ Oke deh, kalau gitu see you in the next chapter ya!   Bye ....   
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD