Bab 9.1 : Kami Enggak Sama, dan Bangga

1113 Words
Kalau lo lihat anak kembar, jangan langsung menganggap merka itu sama. Iya, gak salah sih ... sama tapi mukanya doang. Kalo isi kepala, apalagi isi hati ya udah jelas dong letak perbedaannya dimana? Sama kayak anak jaman sekarang ... kami serupa tapi tak sama - kevriawan 2020.    = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = =    Bab 9 : Kami Enggak Sama, dan Bangga   “Jon, lo kapan sidang?”   Suatu hari Emak bertanya dengan sangat retorik. Yaelah, Mak, baru juga kemarin gue menginjakkan kaki di gerbang kampus ini, dan sekarang tahu tempe, eh, tahu - tahu sudah ditanya aja kapan sidang. Emang gue kena tilang apa, seminggu langsung sidang.    “Lah, kan, Jono baru masuk beberapa bulan lalu, Mak!”   “Ya, terus kenapa? Berusaha, ngapa? Noh, noh! Biar kayak anaknya Babeh Sabeni, kuliahnya sebentar, dah Jon. Cuma tiga setengah tahun.” Emak menimpali lagi.   “Iya, itu kan udah jalan tiga setengah tahun, Emak!” Gue jadi nge-gas, duh bodo amat sekejap dengan dosa lah ya. “Kan Jono mah ganti semester aja beloman.”   “Kok bisa gitu? Pan lo ama dia kuliahnya sama!”   “Iya, tapi kan masuknya duluan dia, Emak, ya lord!”   “Cepet - cepet kuliah dah lo, kelarin, biar cepet rapi, noh!” Emak melanjutkan, “anaknya Mpok Depi juga kecil - kecil gitu udah kerja, Jon. Idih, lo mah apaan dah. Minta duit mulu biasanya sama Emak.”   “Ya lord, Mak … anaknya Mpok Depi kan badannya doang kecil, umurnya mah udah tua!”   Emak gue melengos, menolak mendengarkan protes terakhir gue. Lalu, yang bisa gue lakukan cuma berdiri sambil menahan gondok bin kesal. Enggak bisa disalurkan, karena kagak ada aliran lobang selangnya.    Kadang gue benaran enggak habis pikir, kenapa sih emak - emak itu doyan banget menyama - nyamakan anak mereka dengan anak orang lain? Ya, sekarang gini, kalau menyamainnya sama yang setara, sejenis, satu spesies … itu sih enggak apa - apa. Walau sakit, mungkin masih bisa gue terima. It’s oke lah, kalau cuma buat bahan omongan emak. Nah, tapi ini malah ampas kayak begini. Lah, lo bayangin aja, masa emak membandingkan gue sama anak yang udah sidang, kuliahnya udah tiga setengah tahun. Sementara gue, kan, baru masuk yak? Udah gitu disamain pula sama anak yang badannya doang kecil tapi umurnya udah tuwir. Duh, Mak, mimpi apaan sih gue semalam? Punya Emak gini - gini amat, hobinya ngebandingin tiada akhir. Dikira gue kurs binomo kali ya, kalo di banding - bandingin, terus ada selisihnya, di beli, di jual, habis itu di kira bisa langsung dapat untung apa?   Duh, Mak ….   Gue yakin bukan cuma gue yang punya nasib agak - agak apes ngeselin kayak begini. Pasti lo, lo, lo, dan lo yang lagi membaca ini juga pernah, kan?   Padahal menurut psikolog, seharusnya orang tua itu enggak membanding - bandingkan anaknya dengan anak orang. Sebenarnya bukan emak - emak doang sih, tapi semua orang. Kagak usah lah ya, gitu, lo bandingin sampe riset segala, udah kayak mau bikin bab empat skripsi aje. Lagian, dari sisi psikologi bilang bahwa meskipun bukan penyebab tunggal, kerap membandingkan anak satu dan lainnya memang bisa berdampak terhadap perkembangan mental seseorang. Dalam "When Parents Compare Siblings, the Results Can Show On Report Cards" yang tayang di The New York Times, dimuat sebuah penelitian yang dilakukan oleh Alexander C. Jensen dan Susan M. McHale.   Jensen, dosen di jurusan Human Development Universitas Brigham Young, dan McHale, profesor Human Development di Universitas Negeri Pennsylvania, mengambil sampel dari 388 keluarga, kebanyakan dari Eropa dan Amerika. Dua peneliti ini punya pertanyaan: seperti apa perbedaan nilai akademis antara adik dan kakak di keluarga anda? Penilaian orangtua ini bisa punya dampak. Dua peneliti ini menemukan hasil bahwa, "kepercayaan orangtua pada anak-anaknya punya peran dalam performa akademik."   "Anak yang dianggap lebih pintar secara akademis akan relatif lebih kompeten dan mengungguli saudaranya. Sebaliknya, anak yang yang dianggap kurang apik nilai akademisnya, akan disalip oleh saudaranya," tulis peneliti ini.   Ada lagi dampak lain, yakni, "Anak yang lebih tinggi nilainya ketimbang saudaranya, biasanya lebih tertarik di dunia akademik di masa depan."   Penelitian ini, ujar Jensen dan McHale, memang punya banyak kekurangan, terutama dari segi geografi. Sebab semua responden berasal dari kawasan Timur Laut Amerika Serikat. Penelitian ini juga melahirkan pertanyaan tambahan, semisal apakah para orangtua ini memperlakukan anak-anaknya dengan berbeda dan karenanya bisa melahirkan hasil yang berbeda pula? Psikolog klinis Nirmala Ika menegaskan bahwa pada dasarnya membanding-bandingkan apa pun adalah hal yang tidak baik, meskipun memiliki niat baik. Termasuk dalam hal pendidikan anak.   “Yang mulai dilakukan sekarang adalah enggak ada ranking, sebenarnya terkadang tujuannya baik, supaya termotivasi untuk baik. Cuma balik lagi, semua manusia ingin dirinya kompeten di semua aspek,” ujar Nirmala yang dikutip dari Tirto. Jika orang tua membandingkan anaknya dan si anak dianggap lebih buruk, anak itu bisa merasa sebagai anak yang gagal. Padahal, bisa jadi anak tersebut punya keunggulan di bidang lain.   “Ketika itu dia terima terus-terusan dari kecil, mereka yakin kalau dia enggak bisa. Padahal, orang tua lupa, anak itu beda-beda, misal kakaknya bagus di matematika, adiknya bagus di bahasa. Atau mamanya lupa bahwa adiknya mungkin bagus di kesenian. [Biasanya, anak] dianggap bodoh karena tidak melewati standar umum,” kata Nirmala.   Ada banyak dampak buruk yang menimpa orang yang sering dibanding-bandingkan. Misalkan, dia menganggap ada yang salah jika mampu mengerjakan sesuatu dengan baik.   “Misalnya dia selalu dianggap bodoh di matematika, ketika suatu saat dia bisa mengerjakan dan nilainya bagus, dia akan merasa, ‘ah ini pasti ada yang salah’,”   Dampak lain adalah ia akan sulit berhasil di bidang hidupnya karena dipenuhi dengan keragu-raguan, bahkan sebelum mencoba sesuatu. Kerap kali, orang seperti ini akan memilih untuk mundur karena takut gagal.   Jadi, berhenti Membanding-bandingkan!   Untuk menghentikan kebiasaan membanding-bandingkan, Nirmala punya beberapa tips. Pertama, kita harus sadar bahwa pada prinsipnya tak ada orang yang suka dibandingkan. Untuk itu orangtua harus belajar untuk melihat keunikan pada masing-masing anak.   "Jangan pakai standar patokan orang lain ke anak kita,"   Tips lain: dengarkan keinginan anak. Nirmala punya pengalaman personal dengan hal ini. Dulu, dia sering menceritakan nilai ulangan anaknya di depan orangtua murid lain dan anak-anaknya. Sang anak kemudian protes sembari menegur Nirmala.   * * * * *   to be continued * * * * *   By the way, kalau kalian merasakan sama seperti apa yang Jono rasakan, boleh banget langsung di tap LOVE nya gaes. Atau bisa juga kalau kalian mau add cerita ini ke library atau perpustakaan. Supaya kalau next time saya update, kalian enggak ketinggalan beritanya, hihiw~ Oke deh, kalau gitu see you in the next chapter ya!   Bye ....   
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD