Bab 2.2 : Stereotipe Pendidikan Bak b***k

1260 Words
kalo lo adalah hiu, jangan pernah mau disuruh ngambil nilai dari kemampuan untuk menebang kayu. lo itu predator bawah laut, bukan pencuri jati gelondongan. - kevriawan, 2020   = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = =   Bab 2.2 : Stereotipe Pendidikan Bak b***k       Ini, nih. Kayak yang si Einstein bilang. Ibarat kata gue ikan, jagonya berenang … tapi malah dipaksa memanjat pohon. Ya, jelas lah gue enggak bisa, Malih! Sampe tangkuban perahu beneran kebalik lagi dari gunung jadi perahu juga enggak bakal ada sejarahnya monyet hidup di air sedangkan ikan memanjat pohon. Beda habitat, Qaqa!   Oke, mungkin buat kalian - kalian yang merasa sangat bekerja keras ketika jaman sekolah sampe kuliah. Lalu bisa menghasilkan IPK tinggi dengan terus mencoba dan berusaha, adalah mahasiswa yang luar biasa. Tapi, woy, perkutut cablak … apa kabar sama gue yang mahasiswa liar bianasa? Mungkin ini terdengar seperti keluhan dari mahasiswa ayam kalasan yang bodohnya meresap sampai ke tulang. Yang enggak bisa mengikuti segala jenis pembelajaran di sekolah atau di kampus. Iya, it’s okay  kalau memang kalian mau berpikir kayak gitu. Itu otak kalian, bebas mau menyangka gimana. Tapi ingat, don’t judge the book by it’s cover. Gue yakin, ada ribuan siswa dan mahasiswa yang sependapat sama gue.   Begini, ya, Abang, Eneng, Koko, Cici, Teteh, A’a, Mbak, Mas, dan segenap warga julid sekalian … mungkin kalian berpikir bahwa itu adalah salah satu kewajiban kami sebagai seorang siswa atau mahasiswa. Tapi, pernah enggak sih, lo mikir bahwa selain faktor kewajiban itu, pendidikan juga bisa sukses karena faktor apa? Salah satunya ya dengan segenap niat dan keikhlasan dari pribadi yang menjalaninya.    Remember this, kadang bukan orang enggak mau berusaha. Bisa jadi usahanya sudah maksimal, tapi karena itu bukan bidang yang dia suka, bukan salah satu bagian kecerdasannya yang menonjol. Alhasil apapun yang dia lakukan selalu gagal, berkali - kali dia mencoba tetap enggak paham. Bukan karena dia enggak mau berusaha memahami, hanya karena terkadang kapasitas otaknya terbatas untuk yang satu itu.   Tolong, kami bukannya enggak mau. Kadang kami enggak sanggup lagi.    Meskipun benar juga, kadang ada saja manusia - manusia lucknut yang kebanyakan ngemil micin sok - sok nimbrung ke dalam golongan kami. Enggak mau belajar bilangnya bukan passion, malas mencoba bilangnya bukan mainan gue. Benaran enggak bisa dipungkiri bahwa yang seperti itu akan tetap ada, dan terus ada. Tapi, tolong pertimbangkan sudut pandang kalian untuk kami juga … yang sebenarnya sudah berjuang, hanya memang jatah gagalnya belum habis.   “Jon, jadi lo udah paham sama yang Kakak Asdos itu jelasin?”   Itu suara Jimmy, yang menyusul gue dengan terburu - buru begitu gue keluar dari kelas. Akhirnya gue memutuskan masa bodo dengan lab akuntansi tadi. Yang penting gue lulus saja kayaknya sudah bagus.    “Gue enggak paham lagi, Jim,” sahut gue santai. “Kayaknya enggak usah A juga no problem, deh. Stuck banget gue.”   “Ah, lo mah bilangnya enggak usah A, tapi tahu - tahu di KHS muncul A+!” Jimmy protes.   “Emang kapan gue dapat A?”   “Ya, belom pernah, sih!”   “Nah itu lo paham.”    Satu lagi yang sangat gue sayangkan dari sistem pendidikan di Indonesia, selain pengaturan materi yang memaksa dan membuat semua siswa mempelajari segala jenis pelajaran dan t***k bengeknya. Adalah tingkat keegoisan orang tua yang persentasenya gue yakin masih sangat, sangat, sangat tinggi. Entah kenapa.   Pemerintah menerapkan berbagai kurikulum yang membuat anak - anak belajarnya menclak - menclok, semua dibabat tanpa pandang bulu. Padahal enggak semua ilmu itu bakalan terpakai nantinya. Banyak juga, kok, yang pada akhirnya terbuang sia - sia. Contoh aja, nih, ya … enggak mungkin ketika gue dewasa dan kerja nanti bakalan disuruh menghitung lebar dan luas volume topi pak tani. Buat apa, ya, kan?   Bocah - bocah polos nan lugu kayak gue gini dipaksa memahami semua pelajaran, tapi kenapa guru - guru hanya diminta menguasai satu pelajaran yang diajarkan saja? Kenapa guru juga enggak memakai modul tematik? Ini baru dari sistem kurikulum, materi pembelajaran, dan guru. Belum lagi tuntutan dari orang tua beserta sederet keegoisan mereka yang berbalut kalimat demi masa depan anak.    Hello …  Pak, Bu, Ma, Pa, Mi, Pi, Bun, Yah, Nyak, Beh. Juga teruntuk para orang tua di luar sana yang mengatasnamakan demi masa depan anak, sudahkah kalian memikirkan kebahagiaan mereka? Apa yang sebenarnya mereka sukai dan apa yang sesungguhnya ingin mereka pelajari? Gue heran, kenapa orang tua sering sekali menjegal mimpi anak dengan alasan - alasan kuno yang katanya demi masa depan? Pedulikah kalian dengan apa yang sebenarnya menonjol dari kecerdasan kami. Atau minimal, tahukah kalian apa yang menjadi passion kami?   “Mak, Jono pengin jadi penyanyi, biar kayak yang di tipi - tipi, panggungnya gede … luas.”    Ini adalah cita - cita gue ketika mau lulus SD. Di penghujung kelas enam, gurunya meminta para murid untuk menggambarkan cita - cita mereka. Saat itu gue demen banget melihat orang manggung. Nyanyi keren gitu, kan, terus tampil di TV. Tapi ….   “Ah, jangan macem - macem, Jon, ribet itu masuknya. Belom tentu terkenal juga pas udah gede ntar. Nyari duitnya susah. Jangan, dah.”   “Terus jadi apa, Mak? Jono disuruh ngumpulin PR gambar cita - cita sama Bu Guru.”   “Yaudah, gambar aja dokter. Yang kerenan dikit gitu, Jon.”   “Sayap, eh, syiap Mak!”   See? Bahkan emak gue sudah mulai mengontrol cita -cita sejak gue hampir lulus SD. Memang waktu itu gue belum tahu gimana, sih, struggle yang harus gue hadapi kalau seandainya memilih jalur musik? Tapi, Emak gue sendiri, daripada repot - repot menjelaskan ini itu yang menurut doi enggak penting, pada akhirnya hanya menyuruh gue ganti cita - cita. Mungkin ini sebabnya menjadi dokter adalah cita - cita sejuta umat ketika mereka masih piyik.   Padahal gue yakin betul kalau pendidikan yang dinikmati betul - betul oleh anak yang memiliki kemauan belajar kuat akan menghasilkan suatu cita - cita atau profesi yang kuat juga. Gue memang enggak bisa menyalahkan Emak dan jutaan orang tua lain di luar sana yang sudah terlanjur memakai stereotip itu untuk mendidik anak - anak mereka. Terbukti juga memang banyak yang berhasil walau dididik dengan cara demikian. Namun, gue rasa cara itu harus pelan - pelan dihilangkan. Anak - anak punya jiwa murninya sendiri, minimal gue yakin bahwa mereka yang paling tahu apa yang ingin mereka lakukan di masa depan.   Mom, gue rasa kalian bisa sedikit lebih tenang … karena sejatinya cita -cita itu berubah. Hal yang perlu dilakukan dengan lebih baik dari kemarin adalah bagaimana memahami jiwa anak. Jangan sampai terlanjur kayak Emak gue, yang mana tanpa sadar dia membentuk gue sebagai pribadi yang enggak ada bedanya dengan manusia seperti hasil cetakan sembako.   Emak gue enggak salah, dia mau yang terbaik buat gue. Mungkin, gue yang salah. Karena sebagai anak sudah enggak sanggup lagi menghadapi semua tuntutan hidup. Usia gue baru 21, tapi rasanya udah kayak hidup seribu tahun. Semakin lama dicetak … gue semakin merasa kosong.   “Jim, menurut lo, apa yang harus dilakukan kalau semuanya semakin terasa salah?” Gue bertanya pada Jimmy yang sekarang duduk di samping gue. Menunggu pesanan bakso di kantin.    Kawan gue satu ini enggak menjawab, tapi dia menatap gue dengan agak heran. “Lo sakit, Jon?”   “Enggak.”   “Kok pertanyaan lo kayak orang bener?” Jimmy mengerutkan kening. “Emang ada hal di hidup lo yang enggak salah?”   “Ah, benar juga.” Gue cuma manggut - manggut, “kenapa dulu gue enggak bisa menolak permintaan Emak masuk ke kampus ini, ya?”   Haruskah gue bangkitkan niat buat bunuh diri lagi? Bahkan pendidikan membuat gue patah hati.   * * * * *  to be continued * * * * *    By the way, kalau kalian merasakan sama seperti apa yang Jono rasakan, boleh banget langsung di tap LOVE nya gaes. Atau bisa juga kalau kalian mau add cerita ini ke library atau perpustakaan. Supaya kalau next time saya update, kalian enggak ketinggalan beritanya, hihiw~ Oke deh, kalau gitu see you in the next chapter ya!   Bye ....    
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD