3.

1632 Words
"Setan diciptakan Tuhan untuk mengganggu manusia, sedangkan Malaikat mengingatkan manusia untuk selalu berbuat baik, real!" *** Permata baru saja keluar dari kelasnya bersama Amira, mereka terlihat asyik berbicara soal pelajaran terakhir di kelas tadi sampai tak sadar bahwa Bangkit sudah mengincarnya di balik pintu kelas yang terbuka lebar. Bangkit telanjur kesal akibat pukulan Permata tadi di gudang sampai ia harus menunggu gadis itu sekadar untuk balas dendam. Bangkit melangkah tepat di belakang gadis bertas kuning itu, meski banyak anak kelas sebelas menatapnya bingung serta decak kagum karena sosok tampan itu tiba-tiba muncul di antara banyaknya anak kelas sebelas yang keluar dari kelas mereka di lantai dua, pasalnya Bangkit jarang sekali berbaur dengan juniornya dan lebih sering menghabiskan waktu di lantai tiga—lantainya anak kelas dua belas. Bangkit terlihat santai sembari memasukan kedua tangannya ke dalam saku celana dan bersiul di belakang gadis itu, sedangkan Permata tak menyadari kehadiran sosok di belakangnya sama sekali akibat terlalu asyik dengan percakapannya bersama Amira. "Ya ampun Kak Bangkit ada di sini!" seru salah seorang gadis begitu kegirangan bersama kedua temannya, ia anak kelas sebelah yang begitu mengidolakan sosok si kembar itu. Bangkit? Permata dan Amira saling tatap, keduanya jelas terkejut dengan seruan gadis yang baru keluar dari kelasnya itu, Permata mengedar pandang, mencari sosok bernama Bangkit itu. Seketika sebuah tangan mencengkram lengan kanan Permata dan menariknya tanpa ampun, Permata berjalan kelimpungan menyamai langkah Bangkit yang lebar itu, satu langkah Bangkit bisa hampir dua langkah Permata. "Hey! Kamu ngapain tarik-tarik aku!" protes Permata menatap remaja di sebelahnya. Amira hanya bisa diam, dia tak ingin ikut berurusan punya masalah dengan cucu pemilik sekolahan itu, ia membiarkan Permata dibawa pergi oleh Bangkit meski merasa sangat cemas. Sedangkan siswi lain yang melihat Bangkit menarik Permata begitu saja cukup tercengang, pasalnya gadis itu masih sangat asing di mata mereka, maklum saja hari ini adalah hari pertama Permata masuk sekolah sebagai siswi kelas sebelas jurusan IPA. "Hey! Kamu nggak dengerin aku!" seru Permata lagi karena Bangkit tak menggubrisnya dan terus menarik gadis itu seolah Permata adalah seekor ternak yang harus menuruti semua aturan majikannya. "Berisik!" sahut Bangkit ketus, dia terus menarik Permata melewati orang-orang meski tatapan mereka menghunjam keduanya. Hingga tiba di dekat lift, cukup banyak orang yang mengantre di sana, sayangnya Bangkit tak suka antrean dan tak mau menunggu lama untuk hal yang setiap hari menjadi rutinitas itu. "Minggir! Minggir! Gue mau masuk!" seru Bangkit memperingatkan, semua orang sontak memberi jalan untuk keduanya. Ketika lift tepat terbuka, Bangkit menarik gadis itu masuk ke dalam. Tak ada yang berani masuk ke sana, jadi hanya ada Permata dan Bangkit saja di dalam lift hingga benda pintu tertutup lagi—barulah Bangkit melepas cengkramannya pada lengan Permata dan menghempas tubuh gadis itu hingga membentur sisi lift dengan keras. "Aduh!" pekik Permata, "kamu kasar banget sih! Aku tuh manusia, bukan barang yang bisa dilempar seenaknya!" "Oh ya, sayangnya gue nggak peduli," sahut Bangkit tak acuh, sosok tegasnya berdiri menatap pintu lift tanpa menoleh pada adik kelas di belakangnya. Permata sudah berdiri dengan tegap, menatap punggung laki-laki itu dengan alis bertaut. "Mau kamu apa sih!" Akhirnya pertanyaan itu terucap dari bibir Permata. Bangkit tersenyum miring, "Mau gue? Mau gue ya lo minta maaf, tapi enggak mau ya udah gue kasih surprise aja sekarang." Permata mendekat, berdiri di depan Bangkit dan menatapnya tanpa rasa takut sedikit pun. "Surprise apa? Kamu jangan aneh-aneh ya!" Ingin sekali Bangkit menyentil gadis di depannya andai saja Permata adalah kutu yang mudah dimusnahkan, ia menatap datar gadis itu. "Bukannya gue udah bilang, gue bakal bikin lo nggak betah di sekolah ini. Lo bakal nyesel karena nyari perkara sama gue," jelas Bangkit. Akhirnya pintu lift terbuka, tangan Bangkit kembali meraih lengan gadis itu dan menariknya keluar dari sana. Suasana di koridor utama masih cukup ramai, tapi tak apa—karena yang Bangkit butuhkan adalah bergerak cepat agar Tegar tak tahu perbuatan buruknya kali ini. Ia terus menarik Permata melewati banyaknya manusia yang melangkah searah keluar dari koridor utama. "Nggak usah tarik-tarik bisa, kan?" protes Permata. "Enggak!" "Kamu kayaknya nggak bisa lembut sedikit sama perempuan, pasti kamu sering kena omel mama kamu." "Sok tahu lo! Jangan berisik! Habis ini lo cuma bisa nganga." Permata mengatupkan bibirnya, percuma saja berbicara dengan laki-laki berhati batu dan keras kepala, hanya menyita waktu serta tenaga. Mereka melewati parkiran, lalu tiba di dekat pos satpam dan berbelok ke sisi kanan di mana orang-orang bisa menemukan pohon mahoni berjejer rapi di sana, tapi area itu memang sepi meskipun suasana di sana sejuk dan asri. Bangkit melepas cengkramannya lagi usai berdiri tepat di depan salah satu pohon. "Kita ngapain sih di sini, aku mau pulang!" gertak gadis itu. Bangkit tersenyum geli, telunjuknya terangkat mengarah pada sesuatu di atas mereka. "Itu surprise buat lo," ucap Bangkit. Permata menengadah, betapa terkejutnya dia setelah tahu benda apa yang bergelantung di atas sana, sepedanya! "Astaga." Mulut Permata terbuka, sepeda kesayangannya diikat dengan tali dan digantung pada salah satu batang pohon. "Gimana, surprise gue bikin lo terkejut, kan?" tanya Bangkit tanpa merasa bersalah sedikit pun. Kali ini tatapan Permata turun, mengarah pada laki-laki di sebelahnya. Sebutkan alasan kenapa Permata harus tidak marah dengan Bangkit? Jawabannya adalah tidak ada, karena dia marah sekali. "Kamu! Kamu jahat banget sih gantung-gantung sepeda orang sembarangan, turunin nggak!" perintah Permata disertai mata menyala saga, ia sudah siap meledak sekarang. Bukannya takut atau mengikuti perintah Permata, justru Bangkit terkekeh geli, tak kuasa menahan kebahagian melihat usahanya mengerjai Permata akhirnya berhasil. "Turunin sepeda aku! Cepat!" hardik Permata lagi, dia menarik lengan Bangkit mendekat ke arah pohon. "Lo apaan, heh!" Bangkit menepis tangan Permata. "Ini tuh akibat karena lo nggak mau nurut sama omongan gue, dan kejadian kayak gini akan terus berlanjut sampai enam hari ke depan, sampai lo nggak kuat dan keluar dari SMA ini!" tandas Bangkit percaya diri, setelah itu dia beringsut pergi melewati Permata yang begitu kebingungan dengan nasib sepedanya. "Aduh! Ini tuh gimana turuninnya," ucap Permata tampak frustrasi, bagaimana dia akan menurunkan sepedanya. Naik pohon? Permata memakai rok dan jelas memicu adrenalin bagi kaum adam yang melihat hal itu. Telunjuknya menyentuh bibir, ia gigit dengan gemas sambil menatap benda kesayangannya itu. Lalu menatap keadaan sekitar, orang-orang sudah mulai keluar melewati gerbang sekolah yang tinggi. Jika ia tak minta tolong maka sepedanya akan terus berada di sana. Permata melangkah menghampiri area parkir, seketika ia terdiam setelah sadar sesuatu. Memangnya ada yang mau menolongnya? Bukankah kejadian tadi pagi saat seluruh donatnya jatuh dan orang-orang hanya diam berlalu-lalang sudah membuktikan bahwa penghuni SMA Gautama tak punya sedikit pun rasa iba, tubuh Permata seketika lemas dan berlutut di permukaan paving block area parkir, orang-orang hanya melewatinya saja—tak memedulikan. Sebuah tangan tiba-tiba terulur di depan matanya, gadis itu menengadah. Menemukan wajah yang begitu ramah dan teduh di sana, ia terpaku menatap sepasang manik cokelat itu lagi. Kak Tegar? "Woy, kok ngelamun sih. Nggak mau bangun?" Pertanyaan tersebut membuyarkan lamunan Permata terhadap dirinya. Permata tersadar, ia meraih tangan Tegar dan laki-laki itu menariknya untuk beranjak. "Lo ngapain duduk di situ, hm?" tanya Tegar. "Ak-aku lagi ...." Permata kebingungan, haruskah ia mengadukan perbuatan buruk Bangkit pada kembarannya itu. "Lagi apa? Lo mau ambil motor atau mobil lo?" Permata tertawa hambar. Apa tadi? Mobil? Motor? "Kenapa ketawa, salah yah?" tanya Tegar kebingungan. "Motor aja aku nggak punya, Kak. Apalagi mobil, aku bawa sepeda aja udah digantung sama suadara Kakak di pohon tuh," celetuk Permata keceplosan, dia langsung menutup mulutnya dengan tatapan melotot ke arah Tegar. Kening Tegar mengernyit, "Sepeda lo digantung Bangkit? Lo nggak bohong, kan?" Sudah telanjur dikatakan, untuk apa disesali. Gadis itu menggeleng. "Ikut gue." Tegar meraih tangan Permata dan menariknya ke arah di mana sepeda milik Permata digantung oleh saudaranya yang laknat. Tegar ikut tertegun setelah melihat perbuatan Bangkit yang memang nyata, sepeda Permata benar-benar digantung di pohon. Gadis itu hanya bisa menggigit bibirnya seraya menunduk. "Lo tunggu sini aja ya, gue mau cari bantuan dulu," ucap Tegar. Belum sempat bibir Permata terbuka untuk menjawab, laki-laki itu sudah lebih dulu pergi. "Omongan Amira benar, ternyata mereka berdua bedanya kayak langit sama bumi. Kak Tegar kayak malaikat, sedangkan Bangkit udah kembaran setan bertaring aja. Jangan-jangan Bangkit emang jelmaan setan lagi," gumam Permata seraya berkacak pinggang menatap sepeda miliknya. Butuh waktu lima belas menit agar sepeda itu akhirnya bisa turun, dibantu oleh dua satpam sekolah serta Tegar yang meraih benda itu bersama satu satpam lainnya karena yang lain naik ke pohon menggunakan tangga. Kini sepeda Permata sudah turun dengan keadaan selamat, Bangkit benar-benar kurang ajar karena membuat orang-orang kerepotan. "Makasih ya, Pak," ucap Tegar pada dua satpam yang baru saja tersenyum ramah dan meninggalkan keduanya. Permata begitu senang, ia masih bisa menyentuh sepeda satu-satunya benda yang terbiasa membawanya ke mana pun. "Kalau gue boleh tahu kenapa Bangkit ngelakuin ini ke lo? Tadi siang dia bilang apa pas bawa lo pergi?" tanya Tegar. Permata menatap Kakak kelasnya itu, "Bangkit bilang katanya selama seminggu dia bakal berusaha buat aku nggak betah di sini terus keluar dari sekolah," jelas Permata. "Serius dia bilang kayak gitu? Keterlaluan." Tegar tak habis pikir dengan kelakuan saudaranya, mengapa mereka harus bersaudara? "Iy-iya, tapi Kakak santai aja karena aku masih bisa hadapi Bangkit kok. Anak setan emang harusnya banyak-banyak didoain biar cepet sadar, Kak. Makasih ya, aku pulang dulu." Permata lebih dulu duduk di sepedanya sebelum berlalu meninggalkan Tegar, laki-laki itu hanya bisa diam tanpa tersinggung sedikit pun ketika saudaranya disebut anak setan oleh Permata, nyatanya semua itu benar. Perbedaan Bangkit dan Tegar sangatlah kentara meskipun mereka kembar tak seiras. Bangkit dikenal bengal, suka buat masalah di sekolah, menghisap rokok sembunyi-sembunyi dan mengerjai orang-orang yang tak mau mengikuti aturannya entah itu laki-laki atau perempuan. Sedangkan Tegar, ia dikenal cerdas, kapten basket dan calon masa depan siswi-siswi yang mengidolakannya. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD