4.

1918 Words
Namamu memikatku, Pada kelam jingga yang sempat merayu. *** Tegar menarik selimut yang membalut tubuh shirtless milik Bangkit, remaja itu hanya mengenakan celana kolor saja saat tertidur di dalam kamarnya. Sayangnya Bangkit tak merasa terusik, apalagi karena sepasang headset melekat pada lubang telinganya hingga ia tak mendengar suara lain lagi. "Bangun, Bang! Bangun!" seru Tegar seraya menarik tubuh Bangkit yang awalnya tengkurap menjadi terlentang, ia juga mengguncang tubuh saudara kembarnya itu, tapi Bangkit hanya bergerak sedikit tanpa membuka kelopak matanya. Ia memang menjengkelkan. Tegar tak hilang akal, dia melepas semua headset yang menyumbat telinga Bangkit lalu berteriak di dekatnya. "Bangun Bangkit!" teriak Tegar selantang mungkin. Seketika Bangkit beranjak dan menggucak matanya, dia berdecak sembari mengusap telinga yang terasa begitu berdengung akibat teriakan Tegar. "Lo ngapain sih ganggu orang lagi tidur aja, tidur sana di kamar sendiri!" hardik Bangkit seraya menatap Tegar dengan kening berkerut. "Gue nggak ngerti sama jalan pikiran lo, Bang," ucap Tegar memberikan prolog. "Jalan pikiran apa maksud lo? Jangan kayak tukang TTS dong kalau ngomong, sok rahasia lo," cibir Bangkit seraya beranjak dan membuka lemari besar yang terletak di dekat jendela geser. Bangkit mengambil sebuah t-shirt dan memakainya hingga tubuh shirtless itu tertutup sempurna, untung Tegar laki-laki jadi ia takkan mendapat dosa menatap tubuh Bangkit. Tegar menghampiri Bangkit yang kini menarik tirai kamarnya, terlihat kemilau sunset yang begitu cantik, tempat paling menyenangkan untuk melihat sunset kala sore hari berada di kamar Bangkit yang terletak di lantai tiga rumah besarnya. Tak perlu datang ke gunung atau pantai untuk melihat pemandangan itu. "Lo ngapain usilin cewek itu," ucap Tegar berdiri tepat di belakang Bangkit. Bangkit menoleh sekilas, lalu kembali menatap kemilau sunset. "Cewek siapa maksud lo? Permata?" "Iya, nggak usahlah cari masalah terus-terusan, Bang. Lo nggak capek apa kena omel bertubi-tubi, lo itu cucunya yang punya sekolah, tapi kerjaannya bikin orang malu aja," ujar Tegar mengintropeksi sikap buruk Bangkit. Bangkit mendengkus, dia memutar tubuhnya hingga menghadap saudara kembarnya itu, mereka lahir beda lima menit dan Tegar lebih dulu, tapi ketampanan tetap sama, sifat saja yang jelas beda. "Kenapa? Lo suka sama itu cewek, hm?" tuduh Bangkit sambil memamerkan senyum miringnya. Tegar menatap datar kembarannya, "Enggak, gue cuma nggak mau lo dapat masalah terus karena ini. Motor lo udah disita sama papa, terus mau apalagi yang disita?" Senyum Bangkit belum surut juga, senyum itu tampak menyiratkan sesuatu yang mungkin Tegar tak tahu. "Kayaknya lo emang nggak sadar yah, Gar." "Sadar apa?" "Lo suka kan sama itu cewek karena nama mereka sama." "Nama siapa? Mereka siapa? Lo itu ngomong apa sih?" "Nama itu cewek Permata Aurora." Seketika Tegar mengatupkan bibirnya, ia tertegun mendengar dua kata nama lengkap gadis itu. Tegar baru tahu jika nama panjang Permata adalah Permata Aurora, nama lengkap yang langsung mengingatkan Tegar akan seseorang di masa lalunya yang sudah pergi sejauh mungkin. Senyum kemenangan itu tercetak jelas di wajah Bangkit, ia menepuk bahu Tegar sembari terkekeh geli. "Sabar, Gar. Di dunia ini nggak ada yang nggak mungkin, udah daripada lo galau mending lihatin sunset aja. Gue rela kok lo lihat itu sunset di kamar gue selama mungkin, habis ini gue mau pergi," ucap Bangkit, setelah itu dia beringsut melewati Tegar yang masih terpaku akan sesuatu dan Bangkit jelas tahu apa alasannya. Tak ada satu pun orang di dunia ini yang mampu membuat Tegar hingga kaku kecuali, Mutiara Senja. *** Permata menepikan sepeda miliknya pada pohon belimbing yang tertanam kokoh di depan rumah sederhana bercat hijau muda itu, sejak pulang ia sudah memikirkan risiko yang akan dihadapinya setelah tak bisa menjual semua donatnya akibat ulah Bangkit. Gadis itu menghela napas panjang, harus apa lagi. Ia tetap akan menghadapinya sekarang atau besok pagi sekalipun, toh Permata terbiasa diperlakukan seperti itu. Ia melangkah menghampiri pintu kayu bercat warna cokelat yang dipernis begitu rapi, Permata membukanya perlahan lalu masuk seraya membawa kotak tempat semua donat miliknya yang masih utuh. Ia menatap sekitar, keadaan terlihat sepi. Mungkin saja ibu dan neneknya sedang tidak ada di rumah, Permata bernapas lega. Dia melanjutkan langkahnya hingga tiba di depan pintu kamar. "Mana uangnya?" Ucapan itu membuat Permata lemas, ternyata sang ibu berada di rumah dan tepat di belakangnya. Dengan tubuh gemetar gadis itu memutar tubuh, dia menelan ludah menatap sang ibu yang terlihat seperti hendak menelannya bulat-bulat. "Ma-maaf, Bu. Permata ng-nggak jual satu pun donat hari ini," aku gadis itu diiringi wajah penuh ketakutan. Adara memelotot, dia merebut kotak donat yang dipegang Permata dengan paksa lalu membukanya. Semua ucapan Permata benar, donatnya masih utuh dalam keadaan yang tidak baik. "Apa-apaan ini! Apa yang kamu perbuat sama semua donat saya sampai nggak laku dijual begini!" hardik Adara seperti biasa, hampir setiap hari Permata dimaki-maki oleh dirinya. Gadis itu mengerjap akibat bentakan Adara, Permata menelan ludahnya lagi, semua itu terjadi juga. "Maaf, Bu. Permata nggak sengaja, semua donat itu tadi pagi jatuh dan nggak mungkin Permata jual," bela Permata. "Ini semua pasti ulah kamu! Kamu ceroboh sampai semua donat ini jatuh, kamu mikir nggak sih udah nggak ada modal buat bikin donat lagi besok! Enak aja ya kamu cuma bisa minta maaf, ganti semuanya!" "Permata nggak punya uang, Bu." "Kalau begitu, besok kamu nggak usah makan!" Setelah berkata begitu Adara meletakan kotak donat pada nakas yang terletak di dekat pintu kamar Permata, tanpa ampun dia mencubit lengan kiri Permata cukup keras. "Ampun, Bu. Ampun!" pekik gadis itu menahan sakit. "Kamu emang bisanya bikin repot orang dari bayi! Mau kamu apa sih! Pulang aja sana ke Kanada! Cari Ayahmu!" Adara sama sekali tak melepas cubitannya—justru makin memelintir kulit lengan Permata tanpa iba sedikit pun. "Ampun, Bu. Ampun! Permata nggak sengaja, ampun ...." Air mata Permata sudah keluar, tak kuasa menahan kesakitan yang dibuat Adara. "Dasar anak nggak berguna!" Barulah Adara melepas cubitan itu dan melenggang pergi dari hadapan Permata. Gadis itu mengusap bekas cubitan Adara yang terlihat kebiruan pada lengan kirinya, rasanya benar-benar sakit. Ia mengusap air mata lebih dulu sebelum masuk ke dalam kamar, menguncinya rapat agar orang lain tak mengganggu tangisannya yang berlanjut. Permata melepas ransel kuningnya yang kini ia letakan di permukaan meja belajarnya, lalu menjatuhkan tubuh dengan posisi telungkup sembari meraih bantal untuk menutupi wajahnya yang sembap, lagi-lagi begini ketika Adara kasar padanya. Wanita itu akan selalu menyuruhnya pergi ke Kanada acap kali Permata berbuat kesalahan, sejak kecil ia terbiasa dikasari oleh Adara dalam bentuk apa pun itu, tapi Permata bisa apa? Ia hanya gadis kecil tak berdaya yang butuh penopang hidupnya hingga hari ini. Usai menguraikan seluruh air matanya Permata beranjak, kini ia duduk bersila di atas ranjangnya yang kecil. Meletakan bantal di pangkuannya sembari menatap ke depan—pada sebuah jendela yang sudah terbuka sejak pagi dan menemukan sunset yang cukup membuat perasaannya sedikit tenang meski tirai tipis menghalanginya lebih jelas. Permata sudah merasa lebih baik, ia kembali menghapus air matanya hingga wajah itu benar-benar kering. Menangis setiap hari pun takkan membuatnya terhindar dari perbuatan kasar Adara, ia hanya harus tetap tegar menghadapi dunia dan hari-hari selanjutnya, itu saja. *** Suara ketukan piring terdengar bersahutan dari arah meja makan besar keluarga Gautama, malam ini seperti biasa mereka tengah melangsungkan makan malamnya secara mewah. Ada Aryo—kakek berusia 65 tahun yang memegang kendali besar atas perusahaan miliknya yang bergerak dibidang kontraktor Gautama's Corporation dan kini tengah dipegang oleh putra pertamanya yakni Adi Wirya alias ayah dari kedua anak kembar itu. Meski hampir semua rambutnya memutih, tapi wajah tegasnya sangat kentara, dia bukan kakek yang seharusnya duduk di beranda rumah sambil menikmati secangkir teh hangat dan melihat anak cucunya bermain dengan riang, karena Aryo adalah sosok yang sibuk dan tak ingin menyia-nyiakan masa tuanya dengan duduk-duduk santai selagi ia masih sanggup brrjalan dengan benar. Ia ingin melihat keluarga besarnya maju, bisa mencapai sukses seperti dirinya. Dia menatap Bangkit yang tengah asyik melahap makan malamnya tanpa mempedulikan orang lain, tanpa merecoki saudara kembar yang duduk di sebelahnya sembari makan tanpa minat, mengunyahnya saja terlihat tak berdaya seperti orang sakit. "Bangkit," panggil Aryo. Semua orang di depan meja makan lantas menatap Bangkit, kecuali Tegar yang masih tercengang akan satu hal. Bangkit menelan makanannya lalu meraih gelas berisi air putih dan meneguknya sedikit, barulah ia siap untuk menatap sang kakek. "Iya, Kek? Kenapa?" balasnya santai. "Hari ini apa yang kamu kerjakan?" Bangkit melirik orang-orang di sekitarnya, aneh. Biasanya Tegar yang akan melapor ini dan itu ulah Bangkit di sekolah, tapi remaja itu masih bisu saja. "Aku sekolah lah, emang ngapain lagi?" "Kamu nggak bikin ulah lagi, kan?" "Ya enggak lah, Kek. Iya nggak, Gar?" Seketika Bangkit menyenggol lengan Tegar, ketika saudara kembarnya itu tersadar dari lamunan panjangnya dia menatap Bangkit sekilas lalu meletakan garpu serta sendok dan beranjak. "Maaf semuanya, aku ke kamar duluan," pamit Tegar lalu beringsut pergi dari sana tanpa memberi alasan yang pasti. Bangkit kebingungan sekaligus senang, karena Tegar tak mengadukan perbuatannya tadi di sekolah. Ia tertawa dalam hati, merasa puas untuk segala sesuatu yang terjadi hari ini. "Bangkit," panggil Aryo lagi. "Iya, Kek? Ada apa lagi?" "Apa yang terjadi sama abang kamu?" Bangkit terdiam, sejak tadi ia sendiri juga bingung tentang hal apa yang mengusik Tegar hingga ia diam begitu. Tiba-tiba senyum Bangkit terbit, ia beranjak dan mendorong kursi ke belakang sebelum menatap orang-orang. "Semuanya aku juga pamit ya, siapa tahu Tegar butuh teman ngobrol." Setelah itu Bangkit ikut melenggang pergi meninggalkan ruang makan, dia menapaki tangga dengan semangat menuju lantai tiga. Ketika Bangkit membuka pintu kamar Tegar, ternyata remaja itu tak ada di sana. Bangkit kembali menutupnya dan berlari menghampiri tangga lain menuju rooftop rumah besar mereka. "Wah, ternyata benar lo ada di sini," ucap Bangkit setelah tiba pada atap rumah mereka dan menemukan Tegar tengah duduk seorang diri di pojokan—membiarkan kakinya menjuntai ke bawah, menatap langit malam yang begitu tenang tanpa terhias satu pun bintang. Bangkit duduk di sebelah Tegar, lalu merangkul bahunya. Membuat Tegar menoleh dan menatapnya untuk sesaat, karena fokusnya terus mengarah pada langit malam ini. "Jadi lo masih mikirin nama cewek itu, hm? Ya ampun, Gar. Lo emang manusia yang paling nggak bisa move on, cewek itu banyak. Ngapain nunggu yang nggak mungkin balik," ujar Bangkit sok tahu. Tegar tak menyahut ucapan Bangkit, sesungguhnya dia juga tak mengerti kenapa hatinya masih saja tertutup rapat hingga saat ini hanya karena ditinggal pergi seorang gadis pada masa lalunya, sepertinya gadis itu terlalu hebat membuat Tegar menutupnya rapat hingga orang lain tak berhak mengusiknya. "Kalau misalnya lo mau sama cewek yang namanya Permata itu ya ...." Bangkit menatap ke atas, seolah berpikir. "Nggak apa-apa, tapi dia yang untung lo yang rugi." Tegar melirik Bangkit tanpa minat, "Maksud lo apa sih? Bisa nggak bahas hal yang lebih penting." "Lo yakin yang gue bahas bakalan nggak penting, hm?" Bangkit menarik rangkulannya dari bahu Tegar, ia beranjak. "Karena yang lo bahas nggak ada yang penting, mending lo pergi," usir Tegar. "Oke, gue akan pergi. Dengar dulu satu hal." Tegar menoleh, menatap kembarannya yang menyeringai, entah apa yang sedang dipikirkannya. "Selama enam hari ke depan gue bakal bully itu cewek biar keluar dari sekolah, dan kalau lo tolongin dia .... artinya lo emang suka sama dia." Seketika Tegar beranjak, menatap Bangkit dengan alis bertaut. "Maksud lo apa sih, Bang. Kenapa harus gangguin itu cewek terus-terusan, lo nggak bisa hidup damai aja sehari." "Enggak, intinya kalau lo tolongin dia berarti lo suka sama dia." Setelah itu Bangkit melenggang pergi. Tegar tak tahu lagi harus berbuat apa, Bangkit mengartikan sikapnya terhadap Permata terlalu jauh. Jika Bangkit tak ingin Tegar mencampuri urusannya, whatever. Tinggal tunggu saja bagaimana Tegar akan mengadukan semua perbuatan Bangkit pada ayah atau kakek mereka, ia tak kehilangan akal.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD