8.

1944 Words
Lekat tatapmu, melumpuhkanku. Menjadikan malam ini candu. *** Permata menuang air yang lebih mirip kencing itu ke dalam gelas sloki miliknya hingga penuh, begitu juga dengan Bangkit. Laki-laki itu menatap Permata penuh minat, menunggu bagaimana gadis itu harus meminumnya hingga habis. Permata mengangkat gelasnya, dia menatap nanar sesuatu yang berada di dalamnya. Haruskah ia benar-benar menjadi gadis yang buruk malam ini? Akal sehatnya menolak keras. "Cepat minum," perintah Bangkit. "Kamu duluan dong." "Kayak gini nih." Bangkit mengangkat gelasnya, lalu meneguknya hingga habis di depan Permata tanpa masalah sedikit pun. Gadis itu menelan saliva, harusnya tadi adegan slow motion saja jadi ia akan lebih lama menunggu hingga Bangkit menghabiskannya. Bangkit meletakan gelas kosongnya, "Sekarang giliran elo, ayo." Gadis itu mengikuti apa yang dilakukan Bangkit, mengangkat gelasnya lalu menjapit hidung dengan kedua jari karena tak kuat mencium aroma alkohol yang begitu menguar, barulah Permata meneguknya. Masih sisa setengah gadis itu meletakan gelas, ia memamerkan ekspresi yang tak bisa diartikan karena wajahnya terlipat tak jelas. Permata merasakan sensasi aneh usai minuman itu meluncur melewati kerongkongannya, seperti pahit, asam dan panas ketika sampai di perut. "Udah, aku nggak mau lagi! Pahit!" tolak gadis itu. Bangkit tersenyum miring, "Nggak bisa gitu, aturan lima gelas baru kita pulang." "Kalau kamu terus-terusan maksa, aku mau malaikat pencatat amal di kanan sama kiri aku biar catat dosa malam ini karena paksaan dari kamu!" "Terserah lo mau ngomong apa, buru abisin nanti malah keburu malem." Permata melakukan hal seperti tadi, menjapit hidungnya baru meneguk beer itu hingga habis. Kerongkongannya juga makin panas, seperti terbakar. "Gelas kedua," perintah Bangkit. Permata melakukannya dengan cepat, ia ingin semua ini lekas berakhir. Dia meneguk gelas kedua hingga habis, tapi kali ini dia sudah mulai pusing, Permata merasa orang-orang di sekitarnya mempunyai banyak kembaran. "Gelas ketiga." Gadis itu tak mau ambil pusing, dia menuang lagi isi beer untuk yang ketiga kalinya. Ketika menatap Bangkit, laki-laki itu tampak tersenyum padanya, tapi tak terlalu jelas. Permata kembali meneguk gelas ketiga hingga habis, kali ini sensasi yang ditimbulkan makin kuat, ia merasa ingin lagi dan lagi seolah candu. Pandangannya makin kabur. "Gelas keempat." Tiba-tiba saja Permata cekikikan, seperti orang gila. Dia sudah merasakan efek yang ditimbulkan akibat meminumnya terlalu banyak. "Bangkit, kamu gila yah!" hardik Permata sembari terkekeh lagi. Bangkit tetap diam, dia sedang menikmati semuanya. Menunggu gadis itu hingga benar-benar mabuk, rencana malam ini harus berhasil. Permata meneguk gelas keempat, dan dia sudah tak sanggup lagi, Permata terbatuk sembari menyadarakan punggungnya pada sandaran sofa. Tangan kanannya memijat kening yang begitu berdenyut, apa yang dilihatnya seolah berputar dan banyak. Masih kurang satu gelas, tapi gadis itu sudah tumbang, Bangkit tersenyum puas melihat hasil malam ini, Permata sudah tak berdaya. "Ibu, Permata mau pulang," rancau gadis itu sambil terus memijit keningnya. "Ibu di mana? Permata mau pulang sekarang ...." Bangkit beranjak, ia menghampiri Kevin dan Adam yang masih sibuk dengan batang rokok mereka, entah berapa banyak yang mereka habiskan karena selama di sekolah tak merokok sekalipun. "Mana kuncinya," pinta Bangkit sembari mengulurkan tangan kanannya di depan Kevin. Kevin beranjak, mengedar pandang ke sekitar. "Mana itu cewek, Bang?" Bangkit menujuk ke arah Permata yang sudah mabuk, tak berdaya bersandar pada sofa. "Gila lo, bikin anak orang mabuk. Awas dapet azab," cibir Kevin seraya mengeluarkan sebuah kunci dari saku celana dan ia letakan di telapak tangan Bangkit. "Apaan sih azab-azab, kayak emak-emak lo kebanyakan sinetron. Kayak tahu dosa aja." Bangkit melenggang kembali pada Permata. "Ayo ikut gue," ajak Bangkit sembari meraih tangan Permata, menariknya ke dalam pelukan dan melingkarkan tangan kanannya pada leher. Ia memapah gadis yang mabuk itu pergi, bukan keluar dari diskotek melainkan membawanya menapaki tangga menuju lantai dua diskotek. "Pulang, ayo pulang, Bangkit. Mau ke mana?" tanya Permata setengah sadar, ia merasa kepalanya sangat berat, tubuhnya begitu lemas seperti tak makan selama seminggu. Bangkit tak menyahut ucapan gadis itu, dia terus memapah tubuh Permata hingga tiba pada lorong yang sepi, kanan dan kiri mereka hanya berisi kamar-kamar dengan nomor tertentu. Bangkit melirik nomor kunci yang telah dipesan Kevin, nomor enam. "Bangkit, ayo pulang. Kamu jahat banget sih giniin aku, aku ngadu ke ibu baru tahu rasa kamu," rancau Permata. Ketika Bangkit meliriknya mata gadis itu tak terbuka sempurna, dan ia senyum-senyum seperti orang gila. Usai mereka tiba di kamar nomor enam, Bangkit menutup pintu. Ia meletakan dengan hati-hati tubuh Permata yang sudah tak berdaya itu di tempat tidur berukuran double dengan seprai warna putih. Kini Bangkit berkacak pinggang sembari menatap gadis itu, "Sekarang tahu rasa kan lo, makanya jadi cewek jangan angkuh plus songong lagi, gini nih akibatnya kalau lo nantangin gue," celetuk Bangkit. Bangkit mengungkung Permata, kedua telapak tangannya berada di sisi telinga kiri dan kanan. Laki-laki itu menatap wajah yang sejak kemarin sudah membuatnya begitu kesal, dipermalukan. Dia menyeringai. "Heh, buka mata lo," perintah Bangkit. Permata membuka matanya meski terasa berat, ia menatap seseorang yang kini berada di atasnya. "Bangkit? Itu kamu, kan? Ngapain di sana, ih aku udah tiduran. Aku udah di rumah, kan? Kamu ngapain kok masuk kamar orang sembarangan?" Iris cokelat terang itu membuat Bangkit diam, ia menghela napasnya. Tiba-tiba saja merasa iba dan ingin menyudahi aksi nekatnya malam ini yang mungkin akan ia sesali suatu hari nanti, tapi ketika teringat lagi ulah Permata yang menolak dirinya di depan semua teman sekelas Permata, rencana buruk itu menguasai dirinya lagi. "Lo bakal sesali malam ini, lo bakal nyesel karena udah cari gara-gara sama gue tukang donat." Wajah Bangkit kian mendekat menghampiri bibir gadis itu, napsu setan tengah merangkak dalam diri Bangkit. Ia sadar ketika melakukan perbuatan buruk itu, ketika bibirnya sudah bersentuhan dengan milik Permata, Bangkit hanya diam tanpa pergerakan pasti atau melanjutkannya. Sapuan hangat napas gadis itu menyeruak menyentuh wajahnya, Bangkit menelan saliva. Debaran jantungnya tak bisa diartikan ketika menatap lekat wajah tenang itu, Permata memejamkan matanya. Bangkit memberanikan diri melumat bibir Permata dengan lembut meski ia merasakan tubuhnya mulai panas, rasa bibir Permata seperti campuran bekas alkohol serta manis untuk pertama kali. Permata membuka matanya sedikit, ia menggeleng lemah ketika menyadari bibirnya tengah dipermainkan oleh Bangkit. Gadis itu menolak keras, tapi ia tak sanggup berbuat apa-apa karena tubuh yang lemah. Napas gadis itu tersenggal akibat terkunci oleh hidung Bangkit, laki-laki itu melepasnya untuk sesaat, memberikan ruang bagi Permata menghirup udara sebanyak-banyaknya. Namun, Bangkit kembali melumat bibir lembutnya, ia merasa suka dengan perbuatan buruknya itu, ia ingin terus melakukannya bersama Permata hingga malam habis. "Bangkit!" seruan itu menggema di dalam ruangan bercat putih tempat Bangkit dan Permata ada di dalamnya. Sebuah tangan menarik jaket Bangkit dari belakang, membuatnya kehilangan bibir manis Permata. Tegar benar-benar emosi memergoki saudaranya melakukan hal di luar batas itu, dia menarik Bangkit dan menghempas tubuhnya ke tembok di dekat pintu. Tegar tak bisa membendung rasa kecewanya terhadap Bangkit, tangannya yang mengepal memukul wajah saudara kandungnya itu serta meninju perutnya hingga dua kali. Bangkit meluruh tak berdaya. Sedangkan Adam dan Kevin yang melihat hal itu tak sanggup berbuat apa-apa, seperti wilayah teritori hanya untuk dua manusia kembar itu jadi orang lain tak berhak ikut campur. "Lo yang maksa gue buat kasar kayak gini, Bang!" bentak Tegar menunjuk Bangkit yang sudah terduduk di lantai sembari meringis meremas perutnya. Tegar menghampiri Permata, menarik tubuhnya untuk berdiri. Samar-samar Permata membuka mata, menatap sosok dengan raut yang begitu damai. "Kak Tegar? Itu Kak Tegar? Ngapain di kamar aku juga?" "Kita nggak di kamar lo, sekarang kita pulang." Tegar melingkarkan tangan Permata di lehernya, lalu tangan kirinya menyangga punggung gadis itu agar tak ambruk. Tegar memapahnya keluar dari kamar, membiarkan Bangkit ditolong kedua temannya. Bersusah payah akhirnya Tegar dapat membawa gadis itu keluar dari diskotek yang begitu pengap akan bau alkohol, Tegar membukakan pintu mobil milik ayahnya yang ia bawa dan mendudukan tubuh Permata dengan hati-hati, ia juga memasang seat belt pada tubuh gadis itu. Setelahnya Tegar mengitari kap mobil lalu duduk di balik kemudi, ia menghela napas kasar mengingat bagaimana perbuatan Bangkit di dalam tadi. Tegar menoleh pada gadis itu, ia terlihat memejamkan matanya tak berdaya. Sebenarnya Permata sadar atau tidak jika baru saja dicium oleh Bangkit? Tegar menyandarkan punggungnya, ia menyugar rambut dengan kedua tangannya ke belakang. Niatnya tak ingin ikut campur dengan urusan Bangkit, tapi yang ia lihat adalah hal tak sepantasnya. Selama ini Tegar sudah sangat menjaga Bangkit dari hal-hal yang tak baik, nyatanya Tegar bukanlah Tuhan yang bisa mengontrol isi hati manusia, jika Bangkit sampai berbuat seperti itu sudah bukan ranahnya lagi. Tegar lelah, sangat lelah menghadapi sikap saudaranya itu. Ia mendengkus, sekarang bingung harus membawa Permata ke mana. Jika pulang ke rumah gadis itu, apa yang harus ia katakan pada orang tuanya? Bagaimana jika mereka menuduh Tegar yang bukan-bukan sedangkan ia saja bukan pelakunya. "Gue bawa pulang aja ke rumah, biar papa sama kakek tahu kelakuan b***t Bangkit malam ini," gumam Tegar yakin. Ia menyalakan mesin mobil lalu melaju pergi dari diskotek itu. *** Permata sudah terlelap dengan nyenyak di ranjang besar yang terdapat di kamar khusus tamu kediaman Gautama, sedangkan Tegar mengamati gadis itu untuk beberapa saat karena kini ia melangkah keluar dari kamar tamu dan menghampiri Aryo yang tengah berdiri di ambang pintu, menunggu kedatangan Bangkit yang sudah sangat memancing emosinya. "Tolong jelaskan sama aku, Kek," ucap Tegar yang sudah berdiri di belakang Aryo. Sejak Permata tiba di rumah besar itu Aryo langsung mengenalinya dan meminta agar Permata tidur di rumah itu saja untuk semalam dan ia yang akan menghubungi keluarganya jika Permata ada di rumah mereka dalam keadaan baik-baik saja. Semua itu membuat Tegar penasaran, dari mana Aryo mengenal Permata serta keluarganya bahkan tahu nomor teleponnya padahal gadis itu saja baru dua hari masuk ke SMA Gautama. Jika alasan Aryo tahu nomor keluarga Permata dari guru Tata Usaha sepertinya terlalu klise, untuk apa Aryo repot-repot meminta nomor seorang gadis muda. Aryo memutar arah, ia menghampiri sofa lalu duduk. Begitu juga dengan Tegar yang ikut duduk di sebelahnya. "Kamu mau dengar apa, Gar?" tanya Aryo. "Kakek kenal Permata dari mana? Sampai tahu keluarga dia, Kakek lama kenal Permata?" Aryo mengulas senyum, "Bisa tolong ambilkan album foto warna biru di laci kamar kakek?" "Bisa kok, sebentar." Tegar beranjak pergi, menapaki tangga hingga lantai dua dan masuk ke kamar Aryo untuk mengambil permintaannya. Tak lama Tegar kembali dan meletakan album foto bersampul biru yang terlihat usang itu di atas meja, ia kembali duduk di sisi Aryo. Aryo meraih benda itu dan membuka lembar pertama, di sana mereka dapat menemukan beberapa foto yang menampilkan dua orang anak kecil berjenis kelamin laki-laki bersama seorang gadis kecil tengah duduk di sofa warna biru tua. Gadis kecil itu duduk di tengah sembari memangku kue tart dengan lilin yang menancap angka empat, ia tampak menggemaskan dengan dress warna merah muda serta bandana warna senada yang melingkar di kepalanya—membingkai rambut panjang yang terurai. Sedangkan posisi dua bocah laki-laki itu duduk di kanan kiri si gadis, mereka memakai baju yang sama dan artinya kedua bocah laki-laki itu kembar. "Ini bukannya ...." Telunjuk Tegar mengarah pada salah satu foto bocah laki-laki yang tersenyum menghadap kamera, sedangkan lainnya terlihat cemberut seperti sedang marah. "Itu foto kamu yang senyum, yang lagi cemberut itu si Bangkit. Gadis itu Permata." Seketika Tegar tertegun mendengarnya, Permata ada dalam masa kecilnya? "Bukannya ini foto waktu masih di Kanada, Kek?" tanya Tegar, ia benar-benar penasaran. "Iya, kamu benar. Itu foto waktu kita semua di Kanada, belum pindah ke Indonesia. Kamu nggak ingat soal Permata kecil sama sekali?" Tegar menggeleng, "Mungkin nanti. Sekarang belum." "Kalian bertiga dulu berteman saat di Kanada, kita bertetangga—apalagi ayah Permata ikut bekerja dengan kakek bareng ayahmu." "Kakek bisa kasih cerita lengkapnya sekarang?" "Sepertinya kamu benar-benar penasaran." "Tegar mau tahu siapa Permata yang sebenarnya." ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD