sembilan

1110 Words
Yogi kini duduk di sebuah ruangan . Itu adalah ruang tamu apartemen dari sepupunya, Rajin. Pria itu adalah seorang psikiater dan kini Yogi sengaja datang ke sana karena ia merasa ada sesuatu yang salah di dalam dirinya. "Jadi, gue ngerasa ada yang salah sama otak ini. Gimana bisa, dari Clarissa sampai cewek itu? Dan anehnya, gue malah nyatain perasaan. Berarti ada sesuatu yang salah atau mungkin dia main pelet ya?" Yogi berkata dengan panjang lebar. Biasanya dia tak percaya perihal mistis seperti itu. Hanya saja kali ini semua di luar nalar, Bagaimana bisa dia tertarik hanya dengan satu kali hubungan intim dan juga pertemuan dengan Rei di klub tempo hari. Hanya dengan hubungan seperti itu saja, gilanya ia bahkan bisa merasa cemburu pada Tedi. Rajin hela napas, entah sudah berapa kali ia mengatakan hal ini, sejak tadi sepupunya itu tiba. "Nggak ada yang salah, Yang namanya perasaan itu memang kadang aneh. gimana hormon lo memproses sesuatu itu, emang kadang di luar nalar. Ada orang yang tertarik cuman dengan melihat tangan, kaki, mendengar suara, dan hal-hal kayak gitu yang memang banyak. Kayak ketertarikan khusus tanpa lo sadari. Apalagi dia perempuan dan lo berdua udah ngelakuin hubungan seks." "Nggak, nggak. Pasti ada hal lain. Ini aneh banget loh, Gimana bisa gue dalam tempo yang sesingkat-singkatnya, jatuh cinta sama perempuan gendut, dan dia udah punya anak, udah punya pacar juga. Ah, s**t!" Yogi duduk, kemudian mengacak rambutnya hingga berantakan. Rajin tak tahan lagi, sudah lebih dari satu jam dan sepupunya itu masih saja menolak perihal perasaannya. "Yang jelas, elo nggak gila. Elo masih normal." "Lo enggak ada niat kasih gue obat? Kayaknya gue butuh obat buat menenangkan diri." Yogi meminta lagi. Siapa tahu saja ada obat yang membuatnya tidak lagi memiliki perasaan kepada Rei. Rajin terdiam sejenak, pria itu memikirkan sesuatu yang mungkin saja bisa menjadi jalan keluar untuk Yogi. "Gini deh, lo coba deketin dia lagi. Coba berinteraksi satu sama lain. Kalian ngobrol, atau ngelakuin apa gitu jalan-jalan misalnya? Dan lo lihat, apakah lo masih memiliki ketertarikan atau enggak setelah kalian bicara. Siapa tahu ada kebiasaan atau hal-hal yang dia lakuin nggak sesuai sama yang lo mau. Dan itu bisa aja membuat perasaan lo ke dia jadi berkurang." Mendengar apa yang dikatakan oleh Rajin, membuat Yogi menganggukkan kepala. Apa yang dikatakan oleh Rajin ada benarnya, kalau dia harus mencari sesuatu untuk membuat perasaannya berkurang. Misalnya saja kelakuan buruk dari Rei. Meskipun di sisi lain, Rajin juga meyakini kalau itu akan sulit karena sudah memiliki ketertarikan. "Lagi pula, nggak ada salahnya kan, kalau lo suka sama dia?" "Dia gendut," jawab Yogi. "Jelek? Bau?" Yogi menggelengkan kepalanya. "Kalau dibilang jelek relatif, dia juga rapi, punya suara yang manis. Terus dia punya aroma tubuh yang enak banget, terus juga—" Yogi membayangkan saat ia meneguk s**u segar dari lokasi pembuatannya langsung. Pria itu kemudian menggelengkan kepalanya aroma tubuh Rei tiba-tiba saja tercium di penciumannya. "Ah, s**t! Lo harus kasih gue obat deh." "Enggak! Mending lo sekarang keluar. Gue udah mau istirahat dan lo tiba-tiba aja datang tengah malam kayak gini." Setelah diusir, tentu saja Yogi memilih untuk segera bergegas pergi dari sana. Pria itu segera pulang siapa tahu besok perasaannya akan jadi lebih baik. *** Pagi ini Rei sudah terbangun seperti biasa kegiatan paginya dimulai dengan memandikan Strawberry. Setelah memandikan putrinya, ia segera membuat sarapan. Sementara putri semata wayangnya tengah merapikan pakaian untuk bersiap berangkat ke sekolah. "Bebe, pakaian yang rapi ya. Hari ini pakai batik yang mami gantung di dekat lemari." Rei berseru dari dapur Seraya membuat roti panggang untuk mereka berdua. "Iya mi!" Strawberry sudah bisa memakai pakaian sendiri. Dan Rei memang membiarkan itu, kalaupun tak rapi ia akan merapikan nanti. Yang terpenting anaknya belajar mandiri. Saat itu tiba-tiba saja Strawberry berlari menghampiri sang mami. "Mi ada tamu," kata Bebe tergesa. "Siapa?" "Nggak tahu," jawab putrinya. Rei merapikan kerah kemeja sekolah Bebe, sebelum akhirnya berjalan keluar untuk menemui tamu yang dimaksudkan oleh putrinya. Diikuti oleh langkah kecil Bebe di belakangnya. Rei berjalan menuju pintu. Ia terkejut ketika mendapati Yogi yang berdiri tepat di depan rumahnya. Yogi tersenyum, kemudian melambaikan tamannya sambil menunjukkan McD yang ia bawa. Sebelum datang tadi, sengaja membeli McD paket anak-anak, karena ia tahu kalau Rei mempunyai anak perempuan. Rayuan laki-laki, yang tau kalau perempuan yang memiliki buah hati akan luluh kalau prianya memberikan perlakuan manis pada buah hati mereka. "Breaky, Breaky," kaya Yogi sok akrab, sambil sedikit menunduk untuk menatap Bebe. "Bapak ngapain ke sini?" Rei bertanya, ketus. Yogi terdiam memikirkan alasan yang tepat. Karena memang dia datang ke sana karena saran dari sepupunya. "Mau bawain sarapan buat si cantik itu." Yogi berkata asal meski tak sepenuhnya salah. Bebe menatap pada sang ibu, Yogi tak sabaran dan berjalan mendekat, lalu memberikan sarapan yang ia beli pada Bebe. Bebe masih menatap meminta persetujuan dari sang mami. "Boleh Mi?" tanya anak itu. Rei akhirnya anggukan kepala sebagai jawaban. Tak tega juga karena Yogi sudah repot-repot pagi ini. "Terima kasih dulu sama Om." "Makasih Om." "Sama-sama can—" belum sempat Yogi melanjutkan ucapannya tercium bau asap. "Bau gosong?" Rei segera berlari ke dalam, ia lupa tengah memanggang roti di atas teflon. Dan tadi memang belum sempat mematikan kompor. Rei berlari melihat bagian roti yang sudah jadi arena kebakaran, segera ia mengambil handuk miliknya, membasahi ke bak kamar mandi dan meletakan di atas panci hingga menyebabkan bunyi. Yogi berjalan masuk ke dalam dengan cepat, cemas. "Kamu oke?!" "Pak tolong jagain Bebe di luar dulu! Ada asap, Bebe asma!" Teriak Rei dari dalam. Yogi berjalan cepat kembali ke luar, menggendong Bebe menjauh dari rumah yang penuh asap karena asap. Bebe juga gak bisa memberontak karena dia bingung. Yogi memasukkan Bebe ke dalam mobilnya, kemudian menyalakan mobil itu. "Mami?" tanya anak itu cemas. "Mami oke, kamu sarapan dulu ya." Yogi bergerak canggung tak pernah mengurus anak kecil. "Makan dulu burgernya. Apa mau s**u? Ini ada mainan lho." Yogi membukakan kertas burger, mengalasi kerah kemeja Bebe dengan tisu. "Sorry sayang, pakai ini biar enggak kotor." Bebe anggukan kepala dan menyantap burger juga s**u miliknya. "Makasih Om." Ada perasaan tak rela dipanggil om. "Kamu namanya siapa?" "Strawberry. Mami manggil Bebe." "Kalau papi?" Bebe terdiam, raut wajahnya berubah. "papi kerja, enggak tau di mana om. Mami bilang enggak tau dimana." "Panggil Om papi aja kalau gitu. Gimana?" Bebe menatap dengan heran, baru kali ini ada yang memintanya untuk memanggil dengan sebutan papi. Tapi, menurut Bebe, Yogi itu lucu dan dia juga suka, apalagi dibelikan McD berhadiah mainan kesukaannya. "Setiap hari bisa antar Bebe sekolah nanti." Yogi merayu. Bebe terdiam, menggigit kecil burger miliknya sebelum akhirnya mengangguk. Yogi tersenyum senang, karena dapat persetujuan. "Jadi manggil apa?" tanya Yogi. "Papi," jawab Bebe. "Good, ini papi Yogi, papinya Bebe."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD