Semuanya Telah Berubah

909 Words
Cherise terpaku memandang rumah yang selama ini ditempatinya bersama Jason. Bagunan dua lantai itu mereka beli dari hasil keringat berdua sebelum menikah dan sebelum mereka sesukses sekarang. Cherise mendorong ragu pagar kayu menuju pintu rumah. Haruskah ia menanyakan semua masa lalu mereka? Setelah menimbang, ia memberanikan diri untuk masuk ke sana. Jika ia tak bertanya, apa ia tak ‘kan pernah tahu alasan yang membuatnya kehilangan satu-satunya cinta dalam hidupnya. Cherise menekan bel beberapa kali, namun tak menerima respon apa pun. Ia menarik nafas panjang, lalu menghelanya perlahan. Cherise memutuskan duduk pada kursi yang terletak di samping pintu masuk dan menunggu si pemilik rumah menemuinya. Jason pasti masih kerja.  Cherise menatap ke sekeliling, tak banyak yang berubah dari rumah dengan desain minimalis itu. Ia masih ingat perdebatan mereka hari itu dalam memilih warna cat dan juga menempatkan air mancur kecil di sudut taman. Cherise tersenyum kecut, semua itu seakan baru saja terjadi, namun mengapa keadaan kini amat berbeda dengan apa yang ada di dalam benaknya? Cherise menatap kosong highheels yang ia kenakan, menunggu adalah hal yang paling dibencinya dan ia ingin segera mengetahui apa yang hilang darinya. “Apa yang kamu lakukan di sini?” suara seorang lelaki membuat Cherise mengangkat wajah, melihat pemilik suara yang terdengar begitu familiar di telinganya membuat hatinya berdesir hangat, namun ada sekelibat pedih yang menyelinap masuk. “Hai, Jason.” Cherise mengangkat tangan kanan dan menggerak-gerakkannya di udara. “Kamu sudah lama menunggu?” Jason menatap sedih wanita di hadapannya. “Lumayan lama.” Cherise tersenyum tipis. Mungkin kami memang sudah bercerai, sekarang dia memperlakukanku seperti orang asing. Apa dia nggak tahu, kalau hatiku terasa sakit saat melihat keadaan kami. Apakah masih ada rasa yang sama di dalam hatinya? “Silahkan masuk.” Jason tersenyum manis dan mempersilahkan Cherise masuk begitu ia membuka pintu rumah. Cherise tersenyum tipis, mengangguk dan melangkahkan kaki memasuki rumah yang menyimpan begitu banyak kenangan baginya dan Jason. “Duduk, Cher. Kamu mau minum apa?” Jason mengantarkan Cherise ke ruang tamu dan mempersilahkan wanita itu duduk di sofa berwarna cream yang berada di tengah ruangan. “Aku nggak mau apa pun,” ucap Cherise sembari menarik tangan Jason saat lelaki itu terlihat ingin meninggalkannya, “Ada yang mau kutanyakan,” lanjutnya lirih. Jason meneliti wajah Cherise, lalu ia mengajak wanita itu duduk terlebih dahulu. “Baiklah, apa yang membawamu kemari?” Jason duduk di samping Cherise, tatapan matanya masih sama lembutnya seperti dulu, membuat Cherise tak percaya jika semua yang ada di antara mereka telah berakhir. Mustahil rasanya cinta yang begitu besar, sirna dalam sekejap. “Aku kehilangan ingatanku. Tepatnya lima tahun ingatanku,” Cherise berkata lirih “Apa kamu serius?” Jason menautkan kedua alis. “Semua ingatanmu selama lima tahun ini?” Jason melanjutkan perkataannya, ia terlihat bingung. “Aku sangat serius, Jason. Aku nggak mengingat apa pun.” Cherise menatap sedih ke arah lelaki itu, ie meremas jemarinya. Kata yang sudah tergantung di bibir mendadak sulit untuk dikeluarkan. “Jason …” ia menarik napas panjang dan menghelanya perlahan, “Apa benar kita sudah bercerai?” Cherise melanjutkan perkataannya. Hatinya pedih bukan main. Ada jeda sebelum lelaki itu menjawab. “Iya … kita sudah bercerai,” ujar Jason setengah berbisik. Mereka terdiam dan saling menunduk.  Cherise seakan kehilangan seluruh udara yang diperlukannya, sesak bukan main. Kenyataan yang dianggapnya sebagai mimpi buruk, telah menamparnya dengan keras. Apa yang terjadi di antara mereka dalam waktu lima tahun? Mengapa mereka saling menyerah dan memilih perceraian? Apa memang cinta yang dulu terasa begitu kuat telah lenyap dalam sekejap. Cherise semakin menunduk, berusaha menatap sakit yang menyiksa bathinnya. “Kamu nggak mengingat ini, Cher?” Jason mencairkan keheningan di antara mereka. Entah sejak kapan, lelaki itu sudah berdiri di depan kabinet yang terletak dekat sofa. Lelaki itu menunjukkan lukisan bunga lily yang tampak indah dengan latar biru tua kepada Cherise. Cherise menggeleng pelan, ia tidak mengingat apa pun tentang lukisan berukuran kecil yang dibingkai dalam sebuah frame foto itu. “Lukisan ini kita dapatkan saat berkunjung ke Place Du Tertre, Paris,” Jason tersenyum lebar, lalu ia kembali menjelajahi barang lain yang ada di kabinet itu. “Kamera ini?” Jason mengambil camera tua yang berada di tempat yang sama dan menunjukkannya kepada Cherise. Lagi-lagi Cherise hanya bisa menggeleng. “Aku memaksamu membelikan kamera ini untukku saat kita pergi ke Batam.” Jason melanjutkan perkataannya “Vas ini?” Cherise kembali menggeleng, “Vas ini kita beli di Spanyol pada ulang tahun pernikahan kita yang kedua.” Jason menunjuk sebuah Vas yang terbuat dari tanah liat, vas yang sangat indah. Cherise berdiri dari tempat duduknya dan menyentuh vas itu, lalu ia menelusuri setiap inch vas itu. Ia menarik nafas panjang dan menghelanya, tidak ada sedikitpun yang bisa diingatnya tentang semua barang yang ditunjukkan Jason padanya. Barang-barang itu terasa asing baginya. “Apa ini anting-antingku?” Cherise menyentuh sepasang anting-anting panjang yang terpajang di kabinet, ia tersenyum lebar memandang anting-anting yang terlihat cantik itu. Ada jeda dan juga keraguan sebelum Jason menjawab pertanyaan wanita itu. “Itu milik kekasihku,” Jason berkata lirih. Tangan Cherise bergetar dan ia segera menarik tangannya menjauh dari anting-anting itu. Jantung Cherise seakan berhenti selama beberapa detik, sakit mendera hatinya, menyiksa tanpa ampun, hingga membuatnya kesulitan bernapas. Ia tidak menyangka posisinya di dalam hati Jason telah diganti oleh wanita lain. Sudah selama itukah mereka bercerai? Sudah selama itukah mereka berpisah, hingga akhirnya Jason mendapatkan wanita lain untuk menggantikan posisinya. Walau pedih, Cherise tak mampu menatap ke arah lain. Ia menatap kosong anting-anting tadi. Perkataan seandainya memenuhi benaknya saat ini. Seandainya semua kenangan tentang mereka masih tersimpan di dalam benaknya, mampukah ia menerima status baru di antara mereka itu? Mereka kembali terdiam dan larut dalam keheningan. Ia tak mau mempercayai apa yang baru saja didengarnya. Mengapa dalam sekejap, dunianya berubah seratus delapan puluh deratan. Hal yang dulu begitu dikenalnya, mulai terasa asing. Ia bagai sendiri, bagai cangkang kosong, hampa.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD