BAGIAN 1

5590 Words
  SAPAAN pagi selalu menjadi suara yang pertama kali Ge dengar. Dia tidak lagi bekerja di bawah tuntutan pemilik perusahaan. Tidak lagi dia menjadi p*****r bodoh yang memang menginginkan sentuhan pria tampan nan kaya. Ge kehilangan mimpi untuk bersama pria itu. Ge memang tidak sepatutnya bermimpi meraih bintang yang nyatanya akan sangat panas dan besar untuk dia genggam. "Pagi, Mbak Ge,” sapa salah satu karyawan The Orc's itu. “Udah sembuh?" "Pagi, Mel. Udah baikan kok. Mungkin kemarin dedeknya pengen ibunya istirahat." Senyum manis menghantar balas ucap Ge pada Melia. "Udah banyak yang dateng atau pesen pagi ini, Mel?" "Belum, Mbak. Kemarin sih ada yang pesen buat pesta pertunangan gitu. Tapi masih empat bulan lagi. Rajin banget itu orang masih empat bulan udah booking." Melia terkekeh geli, sedangkan Ge hanya tersenyum maklum. "Namanya juga pesta, Mel. Pasti penginnya yang bagus dari jauh-jauh hari. Emang item apa yang dipesen?" "Uhm… hampir semua, sih. Buah-buahan mereka minta, terus bunga juga, sama... mereka minta didatengin orkestra punya mas Zuko." Bicara mengenai orkestra Zuko, sebenarnya Ge tidak bekerja sama dengan lelaki itu. Hanya karena kenal dan belakangan makin dekat serta intensitas yang sering bertemu, orang-orang mengira bahwa The Orc's menjalin kerjasama dengan label orkestra milik Zuko tersebut. "Kita aja nggak paham musik begituan ya, Mbak. Udah main pesen aja," Meli mengadu. "Nggak apa-apa. Berarti rezeki Zuko itu. Nanti kamu bilangin aja ke orangnya. Kamu ada kontaknya, kan?" Melia mengangguk. "Saya ke atas dulu, abis itu tolong bilang sama mas Surip buat cek kebun yang ada di di daerah wetan, ya?" "Oke, Mbak Ge!" balas Melia dengan semangat. Ge tidak pernah tahu kalau pada akhirnya dia membimbing banyak orang untuk bekerja di tempat yang dirinya kembangkan. Sederhana, tapi The Orc's memiliki peluang pasar yang besar. Ge yakin jika kebodohannya dulu tidak akan kembali terbentuk setelah semua rintangan dia hadapi. Sudah lama Ge ingin membuka usaha agar kelak ketika menikah dan menjadi ibu rumah tangga, dia tidak kekurangan penghasilan untuk keluarga. Karena dari belajar agama sejak dulu, Ge diberitahu bahwa istri tidak memiliki hak untuk memberikan penghasilan suami pada orangtuanya, kecuali istri memiliki penghasilan sendiri. Dan Ge benar-benar mewujudkannya. Namun bukan sebagai seorang istri, melainkan Ge mewujudkan usahanya sebagai bentuk pelarian dari segala hal yang sudah terjadi dalam hidupnya. Melirik pada perutnya yang sudah menonjol dan terlihat dengan matanya ketika menunduk, Ge kembali menangis dan menjerit dalam hati. Inilah nasibnya yang melalaikan peringatan. Ge terlalu berambisi untuk menjadi milik seseorang yang baru dia ketahui bahwa di dunia ini memang ada makhluk tampan, kaya, cerdas, berbadan oke, dan segala kesempurnaannya di mata wanita. Ge yang baru mengenal dunia luar saat diterima bekerja sebagai sekretaris perusahaan sudah pasti seperti peliharaan yang dilepaskan dari kandang. Norak, memiliki euforia tinggi, dan pada akhirnya jika tali yang disematkan di kaki binatang tersebut tak terlalu kuat maka pengawasan pun tidak akan mampu mengembalikannya untuk tak tersesat. Oh, ya Tuhan. Mengapa aku bisa tersesat sejauh ini? Menjawab sendiri dalam hati bahwa memang manusianya seperti dirinya saja yang ingin menyesatkan diri, bukan takdir Tuhan yang menyesatkannya begitu saja. * Hidup Ge memang tidak mulus dan semua itu juga terjadi pada kehidupan orang lain. Bukan hanya Ge. Jika ada yang bersedia menggantikan, jelas akan berbeda jalan ceritanya karena pasti akan mengambil keputusan yang berbeda. "Mbak Ge, ada yang nyari." Melia mengetuk sebelumnya dan tidak mendapat jawaban sama sekali. Jadi daripada membuat seseorang menunggu di bawah, Melia memutar kenop pintu saja meski belum dijawab. "Eh, kenapa, Mel?" "Yaaah… masih bengong ternyata." Melia menggelengkan kepalanya dramatis, lalu mengulang ucapannya. "Ada yang nyari mbak Ge. Lagi nunggu di bawah tuh." "Oh, oke. Saya ke bawah, bilang sebentar lagi." Melia pasti selalu mematuhi ucapan pemilik The Orc's itu. Meski pada dasarnya Ge tidak mempermasalahkan hal itu. Tak lama Ge turun dan yang membuatnya lama menemui tamu adalah karena Ge melangkah dengan hati-hati, mengingat perutnya kini sudah begitu besar. "Nah, ini dia pemiliknya, Bu." Ge tersenyum membalas wajah sumringah wanita yang sebelumnya ditemani oleh Melia itu. "Hai. Saya Geihara pemilik The Orc's. Ada yang bisa saya bantu?" Suara Ge yang lembut membuat wanita di depannya itu makin memperlebar senyuman. "Saya Ambika, panggil Ika aja. Maaf ya, Mbak Ge, bikin ribet. Saya nggak tau kalo pemiliknya lagi hamil. Maaf," ucap Ambika. "Udah biasa kok, Ika. Ruangan bawah belum selesai dekor, jadi di atas dulu." Ge mengambil gelas yang menelungkup lalu memposisikan ke atas agar bisa menuangkannya menuang teh untuk sang tamu. Sistem di The Orc's memang seperti rumah. Ada teko berisi teh tubruk yang harum melatinya menyerbak mengisi ruangan, lalu gelas telungkup yang sudah disediakan. Ge menghidangkannya untuk Ika dan kembali tersenyum sebelum bertanya, "Jadi, kamu butuh apa? Nggak mungkin belain dateng ke sini kalo nggak mendesak." Ika mencecap bibir dan menatap serius pada Ge. "Sebenarnya saya udah pesen via telepon, Mbak. Pegawai Mbak yang Melia itu juga tau kok. Cuma saya mau mastiin aja untuk pesta pertunangan saya yang masih empat bulan lagi." "Oh, saya ingat. Melia memang bilang sama saya. Uhm, bagian orkestra itu beneran mau dipesan, kan? Saya udah terlanjur bilang sama pihak Z'Tra." Ika mengangguk. "Jadi kok, Mbak. Saya cuma agak ribet aja kalo ada acara sepenting ini. Boleh kan kalo nanti saya banyak permintaan dan sering dateng ke sini?" Ge tidak keberatan. Menurutnya itu malah bagus, sebab kemungkinan kecil akan disalahkan oleh pelanggan nantinya. "Nggak masalah. Biar nanti nggak salah komunikasi." Pembicaraan keduanya terus berlanjut hingga jarum jam menunjukkan pukul 16.43 dan membuat Ge terkesiap. "Aduh, seru banget ngobrolnya. Saya sampe lupa waktu, Mbak Ge." "Iya. Saya juga sampe lupa kalo harus pulang soalnya ada yang mau diurus." Ge meminta Melia untuk naik ke ruangan dan merapikan barangnya sembari menemani Ika yang masih menunggu jemputan. "Nih, Mbak Ge. Coba dicek dulu ada yang ketinggalan nggak?" Ge menyurukkan tangan ke dalam tas bawaannya sehari-hari. Segala vitamin dan kebutuhan lainnya sudah lengkap. "Udah semua kok, Mel. Makasih, ya." "Sama-sama, Mbak. Saya ke belakang dulu, ya." Ge baru menyadari kalau Ika memandanginya dengan mata berbinar. "Ika? Kenapa?" "Eh? Nggak, Mbak. Kagum aja liat Mbak sama pegawainya akrab, baik banget lagi. Saya jadi nge-fans sama Mbak buat jadi wanita karir sekaligus istri dan calon ibu yang baik." Ge sedikit tertohok dengan pujian yang Ika tujukan padanya. Ge hanya bisa tersenyum membalas pujian tersebut. "Ika... maaf sebelumnya. Saya nggak bisa nemenin kamu lebih lama. Saya benar-benar harus pulang." "Ya udah, Mbak. Hati-hati." Ge menatap ke arah langit yang mulai mendung merata. Sudah dipastikan sebentar lagi akan turun hujan. Untungnya hari ini Ge ditemani pak Hamir karena seminggu sebelumnya sopir keluarga itu sedang berhalangan. Dari spion mobil, terlihat mobil arah berlawanan yang menuju The Orc's, Ge yakin itu adalah mobil jemputan Ika. Tak memedulikan lagi, Ge memilih memejamkan mata. Lelah. Bersiap menyambut sikap dingin ayahnya. * Manusia akan tumbuh dan berkembang. Setiap malamnya tinggi tubuh seseorang bertambah beberapa senti. Dan semua itu menandakan bahwa karakter seseorang mampu berubah seiring perkembangan tubuh serta lingkungan mereka. Lingkungan membentuk keadaan dan keadaan memaksa seseorang untuk membuat keputusan; berubah atau tetap. Keduanya memiliki sisi seimbang acap kali kita semua dipertemukan dalam jumlah pilihan tidak beraturan setiap harinya. Sama seperti Yaksa—ayah Ge—masih sama seperti perubahan drastis pertama kalinya. Sikapnya mendadak berubah beriringan dengan kabar kehamilan Ge yang membuat terkejut kedua orangtuanya. Semua terjadi begitu saja. Ge bahkan tidak sadarkan diri ketika sempat tertidur beberapa pekan sebab keadaannya dan si bayi melemah. Ge tidak tahu pengalaman batin apa yang pernah bergejolak dalam diri ayahnya saat itu. Entah apa yang membuat semuanya menjadi suram dengan rasa sepi yang memuja keluarga itu. Hartini—ibu Ge—sedang sakit dan tidak bisa banyak beraktivitas. Ge memang sudah menghasilkan uang sendiri tapi hanya disimpan oleh ibunya. Sedangkan sang ayah tak pernah mau sedikit saja menerima, walau dalam bentuk menggaji pembantu rumah tangga. Kedua orangtuanya memang terhitung mau bekerja keras. Yaksa tidak pernah mau berhenti menjadi orang kepercayaan pak Burhan untuk menjaga pabrik kerupuk sehingga saat ini bisa mengembangkan pabrik meskipun tak sebesar yang dimiliki pak Burhan dulu. "Ayah." Ge menyalami ayahnya walau tahu mustahil baginya mendapat sapaan balasan. "Ibu udah makan, Bude Ras?" Tahu kalau percuma bertanya pada ayahnya, Ge memilih memastikannya dari Bude Ras, orang yang selama ini membantu ibunya mengurus rumah. "Udah, Mbak Ge. Mau makan juga? Mbak Ge belum pulang ke rumah ‘kan?" Harusnya di sini rumah saya sebenarnya. "Nggak usah, Bude. Saya mau liat keadaan ibu aja. Udah malem, nanti malah makin kemaleman pak Hamir nganter pulangnya." Bude Ras menurut saja meski tahu wajah lelah Ge. Menanggung kehamilan sendiri tentu bukan yang diinginkan setiap wanita. Semakin besar usia kehamilan, pasti menginginkan diperhatikan dan dimanja-manja, apalagi dengan suami. Bude Ras tahu kalau Geihara adalah anak yang baik. Sikapnya hampir tidak pernah macam-macam, keluar malam saja memang tidak pernah. Hanya dengan satu kesalahan; terjerat dalam kebodohan hasrat. Pada akhirnya Ge ternilai sebagai perempuan yang nakal, murah, tidak baik, bodoh, dan segala macam kecam buruk untuknya. Semua orang buru-buru menyimpulkan kalau Ge memang buruk, tidak menilik sisi luas kebaikannya. Begitu manusia, dilihat mencolok dengan noda hitamnya, dengan begitu akan mudah diingat. Hampir tidak ada yang memberi kata ‘nasib yang terjadi, terlihat buruk karena norma masyarakat yang berlaku, kalau saja Tuhan tidak ada, maka keburukan itu tidak akan terhapus dengan amal perbuatan lainnya’. Memang tidak ada yang memberi semangat seperti itu bagi orang-orang yang dianggap melakukan kesalahan besar dan tak termaafkan. "Ibu..." Hartini terbatuk-batuk sebelum menyambut kedatangan putrinya. "Sini, Nak. Ibu mau dengar kabar cucu Ibu." Masih dengan baiknya Ge disambut sebegini ramah oleh sang ibu, Ge sudah bersyukur. "Cucu Ibu baik kabarnya. Harusnya Ibu yang jaga kesehatan, masa bentar lagi mau punya cucu malah baringan di kasur begini." Ge memijat pelan kaki ibunya, tidak mau memandang mata sendu milik Hartini. Hartini mengelus rambut hitam putrinya dengan sayang, bergantian ke perut bundar Ge. "Yang sabar, kuat, tabah. Jangan kalah sama omongan orang. Jangan kalah sama dinginnya sikap ayahmu. Jangan kalah dengan apa pun demi anakmu, cucu Ibu. Bentar lagi jadi ibu, harus kuat diterpa badai sebesar apapun,ya? Jangan bikin Ibu cemas lagi dengan hampir kehilangan kamu dan cucu Ibu. Jangan lagi, putri Ibu." Ge tidak bisa menahan tangis. Kurang sempurna apalagi dia? Mendapat perhatian dan dukungan dari ibunya sebesar ini? Apa yang perlu dia cemaskan? Sudah cukup kekuatan yang diajarkan oleh ibunya ini. "Ibu..." rintih Ge dalam tangisnya. "Ibu..." Panggil dan sayangi wanita ini. Sebelum penyesalan berada di akhir perjalanan, batin Ge. * Kondisi si bayi harus terus dipantau. Terlepas dari Ge memiliki keluhan atau tidak, yang terpenting adalah menjaga diri untuk memastikan bayinya dalam keadaan baik di dalam sana. Ge tidak mau membandingkan bayi yang tengah dia kandung dengan ayah si bayi. Cukup jalani saja dan tidak mengungkit apa-apa agar hidup yang sedang dia jalani kini tenang. Selama laki-laki itu tidak mencampuri urusan Ge yang mendadak mundur dan benar-benar menjauh seperti tidak ada kata mengagumi darinya, Ge tenang. "Selamat pagi, Ibu." Si dokter menyapa dengan ramah. "Pagi, Dokter Ana." Tak kalah ramah Ge membalasnya. "Gimana? Apa ada keluhan?" Dokter Ana memang lebih memahami dalam lini kandungan. Setiap memeriksa Ge akan ditanya sejauh mana keluhan atau hal lain yang bersangkutan dengan si bayi melalui ibu lebih dulu. Baru setelah sesi pembuka, akan dilanjutkan dengan memeriksa si bayi melalui scan. Memantau apa yang sedang dilakukan baby Ge. "Si ayah belum pernah keliatan, Bu. Sibuk, ya?" Nada tanya dokter Ana tidak menghakimi seperti kebanyakan orang yang sering menghujatnya di lingkungan rumah. Meski tinggal di komplek perumahan, bukan berarti Ge akan dengan mudahnya berlagak seperti tinggal di luar negeri. Bolak balik dengan perut besar, tak ada suami yang menjemput atau sudah berada di rumah menunggu kedatangannya. Nenek-nenek yang sering belanja pada tukang sayur melewati komplek pun pasti tahu diamnya Ge pasti menjurus pada hal yang diduga-duga orang. "Kami udah pisah," jawab Ge dengan bijak. Memilih jawaban yang tepat tidaklah mudah. Apa dia mau menjawab jujur dengan blak-blakan pada semua orang bahwa anak yang tengah dirinya kandung ini ada di luar ikatan tali pernikahan? Apa dengan mengakui sendiri bahwa hamil di luar nikah dirinya adalah w***********g akan membuat semua orang lantas diam? Sama sekali tidak. Buat apa membuat kebohongan yang bisa menyulut kebohongan lainnya? Jawaban Ge yang sudah berpisah dengan ayah si bayi juga tidak salah. Memang bayi itu ada ketika dirinya masih berhubungan dekat dengan laki-laki itu, dan memang berpisah walau tidak ada status jelas di antara keduanya. "Oh, maaf, Ibu Geihara. Saya tidak tahu." Dokter Ana tersenyum canggung, sadar bahwa topik yang diangkat tidak menjadi pembahasan yang bagus. "Berarti hanya perlu vitamin, ya. Mualnya udah hampir tidak ada. Bagus. Si bayi sangat mengerti ibunya ternyata," jelas dokter Ana. "Jangan terlalu dipaksa bekerja. Kalo bisa tambah lagi asupan lemaknya, soalnya si bayi termasuk masih kecil. Makan es krim dan makanan berlemak lain ya, Bu. Jangan dipaksa dalan satu waktu, bertahap saja." Ge akan selalu mematuhi apa yang dokter ucapkan. Cukup sekali dirinya hampir kehilangan anaknya. Sekarang yang mau menerima hasil perjuangannya tentu hanya si bayi. Kedua orangtuanya sudah mengatakan cukup dengan usaha yang dikerjakan. "Terima kasih untuk hari ini, Dokter Ana. Saya permisi." "Ya, Bu Geihara." Jika saja Ge menjadi seorang istri yang sedang mengandung, dia pasti berharap memiliki keturunan kembar. Bayangannya dulu, dengan hamil anak kembar Ge akan bisa melahirkan sekali dan mendapat beberapa bayi lucu. Kini dengan satu saja dia sudah bersyukur. Meratapi kisahnya yang memang tak sempurna akibat dari kebodohan Ge ciptakan sendiri. "Mbak Ge!" Sepertinya Ge harus lebih cerdas menghadapi kemungkinan tak terduga dalam hidupnya. Ge hanya bisa mematung, tidak tahu apa langkah yang dapat dirinya lakukan. "Mbak Ge, nggak nyangka bisa ketemu di sini. Lagi check up si baby, ya?" "Ya..." Ge menguatkan suara agar tidak terdengar bergetar. "Mas, kenalin ini pemilik The Orc's. Akhirnya bisa ketemu." Ika memandang dengan berseri. "Mbak Ge, ini calon tunangan saya. Mas Garyzka." Sepertinya Ge memang mampu menyembunyikan wajah terkejutnya. Dan Garyzka memang laki-laki gila yang sekarang berhadapan dengannya. Kenapa harus diperkenalkan lagi dengan cara begini, Tuhan? Ga menyorongkan tangannya untuk menjabat. "Garyzka Zaim Pietizo. Mantan atasan kamu, Geihara." * Sakit, saat mendapati seseorang yang pernah dan masih memiliki tempat terbesar di hati terlihat begitu dingin. Ge bukan manusia yang bisa membaca karakter seseorang secara cepat. Bertemu dengan Ga di situasi seperti ini membuatnya hampir tidak mengenal siapa Ga yang dulu sering mengukungnya ketika ingin berdua. "Oh… Mbak Ge pernah kerja di perusahaan Mas Gary?" tanya Ika dengan keterkejutan yang diselingi rasa ingin tahu berat. "Mbak Ge bisa nembus perusahaan itu? Wow! Aku aja susaaaaahhh… banget masuk ke sana. Ya ampun! Mungkin aku kurang bimbingan, ya. Aku makin penasaran sama Mbak Ge. Keren!" Ge hanya tersenyum, tidak memilih menanggapi ocehan Ika atau merespon ucapan Ga yang mengenalkan diri sebagai mantan atasannya. "Ambi, ayo cari tempat. Ngobrol di sini nggak nyaman. Geihara sedang hamil, dia pasti lelah." Ge akhirnya bisa mendengar nada lembut dari lelaki itu. Bukan untuk dirinya memang, tapi cukup untuk meyakinkan diri bahwa Ga tidak sedingin yang selama ini bersamanya, kecuali saat tidur bersama. "Oh, iya. Ayo, Mbak Ge. Aku nggak mau mbak Ge nolak, ya. Aku pengen ngobrol-ngobrol lagi. Ceritain!" Ika sudah memaksa lebih dulu seolah tahu bahwa Ge akan menolak. "Ayolah, Mbak Ge... di The Orc's ada Melia kok. Aku yakin dia pro buat handle." Melirik sekilas pada Ga yang datar dan biasa saja, membuat Ge yakin bahwa lelaki itu tidak akan menyerangnya. Kalau dipikirkan lagi, mana mungkin seorang Garyzka peduli mengenai kehamilannya. "Yaudah. Saya ikut tapi sebentar aja, ya. Saya belum cek The Orc's soalnya." Ge kagum dengan sikap ceria yang Ika miliki. Berada di sisi Ga yang seperti monster tak suka bersuara itu sudah pasti hal yang tidak mudah. Mengikuti saja apa yang perempuan itu inginkan, Ge sama sekali tidak melihat ke arah Ga. Dia bersyukur akan hal itu. Untung saja Ika mampu mendominasi percakapan hingga tidak ada cukup ruang bagi Garyzka membuat dingin kondisi; hati. "Mbak Ge usia kandungannya berapa, kalo boleh tau?" tanya Ika. Setelah sesi pembicaraan yang berat dilalui, Ge merasa makin terbebani dengan pertanyaan Ika kali ini. Mau menjawab apa dirinya? Jika jujur, Ge akan membuat prasangka—yang mungkin—dari Garyzka terbenarkan. Kalau berbohong, itu jelas bukan diri Ge, karena biasanya jika Ge tak mau mengungkap kejujuran dan tidak mau berbohong, dia akan diam. Tapi sekarang bukan saatnya mengambil keputusan diam. Ika bukan ayahnya yang bertanya siapa ayah dari si bayi. Ge merasa mampu melewati ini dan dia memutuskan untuk menjawab jujur. "Tujuh bulan. Lewat beberapa minggu. Kenapa?" Ika manggut mengerti. Sembari menyuapkan cake ke dalam mulutnya. "Kapan-kapan kenalan ya, sama suami Mbak Ge. Kita bisa date bareng. Iya kan, Mas Gary?" Ge mendengus kecil, saking kecilnya sampai Ika tidak menyadari itu. "Sayangnya nggak bisa. Saya dan ayah baby udah pisah, Ika." Ge memang tidak perlu menjelaskan itu. Tapi setidaknya, dia berpikir akan bisa menghindari Ika secara perlahan dan berhubungan secara profesional saja sebagai pelanggan dan penyedia jasa serta barang. Dan kemungkinan paling besar adalah terhindar bertatap muka dengan Garyzka. "Duh… maaf, Mbak Ge." Sesal Ika. "Yaudah, nanti aja kalo baby-nya udah lahir. Kita couple date sama si kecil." Ge memang sudah terjabak dalam kubangan ini. Jawabannya bukan membuat Ika jauh, yang otomatis menjauhkan Ga dalam hidupnya. Tapi justru makin mendekatkan mereka; ayah dan anak. * Hati Ge sungguh berdebar. Sangat berdebar bukan efek dari jatuh cinta. Sudah lama Ge tidak memahami apa itu meaning full of love, khususnya untuk lawan jenis. Yang sekarang Ge pahami, cinta itu hanya untuk keluarga; ayah, ibu, dan bayinya. Tidak untuk yang lainnya. Cukup baginya menyalahi nasib. Bahkan takdir Tuhan lebih indah dari hal apa pun. Sepulangnya dari kafe terdekat rumah sakit, Ge tidak menginginkan untuk tetap bertatap muka dengan Ga. Sudah memuakkan baginya jika harus kembali satu mobil dengan pasangan itu. Bukan Ika yang menjadi permasalahan, tapi wajah Garyska di sana yang sungguh mengganggu waktu berdua dengan klien yang mendadak saja menjadi teman dalam kurun waktu singkat. "Mbak Ge, sehat?" Melia meyakinkan tanya. Menilik wajah Ge yang kuyu dan sudah Melia pastikan bahwa warna wajah atasannya itu pucat, tidak ada yang lebih menakutkan selain membuat Ge istirahat ketimbang drop lagi. "Santai, Mel. Saya baik kok. Baru beberapa jam dari rumah sakit." Ge tertawa sumbang karena merasa dirinya tak baik sama sekali sebenarnya. Dia sedikit mengalihkan fakta bahwa dirinya tak begitu baik. Tapi memang benar, Ge merasa sangat baik sebelum bertemu dengan mantan atasannya itu. Ge tidak mengerti harus menggambarkannya seperti apa. "Saya nggak yakin. Soalnya muka mbak Ge pucet banget, mendingan pulang aja, istirahat. Saya nggak mau mbak Ge sama baby kenapa-napa." "Makasih, lho, Mel. Kamu perhatian sekali sama saya." Tidak seperti laki-laki yang seharusnya memberikan perhatiannya. "Mbak Ge ngomong apa, sih? Udah tugas saya buat mastiin kesehatan atasan The Orc's tetep fit! Lagian saya nggak mau pas lagi ngurusin pelanggan mbak Ge udah pingsan aja di ruangan. Kan nggak lucu!" omel Melia. Di saat seperti ini, Ge ingin memiliki saudara perempuan rasanya. Menjadi anak tunggal tidak sepenuhnya enak. Ya, jika saja Ge selalu membanggakan kedua orangtua tak akan jadi problema mendalam. Namun tidak bisa begitu untuk selalu berharap mengenai hidup. Realistis adalah membuat rencana dan tidak berharap terlalu banyak akan mimpi indah. Anggap saja itu bunga tidur dan Ge tak mau membiarkan bunga mimpi itu meraih tempat yang luas lagi serta mengendalikannya. "Saya nggak usah ke atas deh, Mel. Saya mau nunggu di sini aja. Boleh ambilin cemilan saya di atas?" Melia berdecak. "Ya, bolehlah! Mbak kan bos saya," sewot Melia membuat Ge terkekeh. Seperginya Melia ke atas, Ge kembali menerawang ke luar dinding kaca pembatas tokonya dengan dunia luar. Kalau ditilik, gaya The Orc's sudah seperti bangunan estetik di luar negeri yang berada di tengah daerah Indonesia tak begitu terkenal sebelumnya. Semarang. Daerah yang dipilih orangtuanya untuk menyembunyikan keadaan putri mereka yang tengah hamil. Ge selalu ingat bagaimana gurat kecewa dari Yaksa. Ayahnya tidak mau memandangnya hingga kini dan Ge tahu kalau mata itu tak mampu menatapnya sebab kekecewaan besar tertanam di sana. Kembali dia ingat ucapan ibunya. "Ayah kamu terlalu takut kalo bakalan nyakitin kamu lagi. Insiden malam itu menjadi kenangan tak terlupakan oleh ayahmu. Dia takut karena merasa sudah gagal menjaga kamu dan membuat kamu masuk rumah sakit dengan kemarahannya. Jadi, jangan berprasangka buruk pada ayahmu, ya?" Jika saja Ge tidak begini, mungkin sampai sekarang dia akan diantar jemput selama bekerja. Kalau saja Ge tidak mengecewakan mereka yang berharap banyak padanya, dunianya tak akan sesepi ini. Dia tidak akan menjadi penyebab kesakitan semua orang. "Mbak Ge..." Ge langsung menoleh ketika merasakan pundaknya disentuh. "Oh, Mel! Bikin kaget." Bukannya melepaskan tangan dari pundak Ge, Melia malah mengusapnya dengan tatapan sedihnya. "Mel?" "Jangan nyalahin diri sendiri dong, Mbak. Semua orang pasti ngerasain sakit. Jangan terlalu pikirin perasaan orang lain, sedangkan mbak Ge sendiri nggak mikirin perasaan sendiri. Jangan siksa diri mbak Ge kayak gini." Ge lupa kalau Melia memiliki kemampuan istimewa yang membuat semua orang menghindari gadis itu. Tapi tidak untuk Ge. Berbohong pun sepertinya tidak mempan. Melia menghapus basahnya pipi Ge lalu berkata, "Mbak terlalu sibuk mikirin orang lain. Tapi orang lain nggak akan mikirin ucapan mereka waktu menilai buruk ke Mbak." * Baru kemarin Ge mengatakan pada dokter Ana bahwa tidak ada keluhan mual berlebih lagi, tapi pagi ini semuanya terasa berbalik. Bayinya seolah sedang memberontak dengan alasan apa yang tidak Ge pahami. Ge sudah mengatakan pada Melia bahwa dirinya tidak akan datang ke The Orc's hari ini. Memang cerdik bayinya ini, tidak mengizinkan ibunya bekerja. Ge mengelus perut bundarnya. Tersenyum dengan wajah pucat, dan terduduk di pinggir ranjangnya. "Anak Ibu nggak mau capek, ya? Nggak bolehin Ibu kerja. Iya?" Ge mengajak bicara bayi dalam perutnya. "Anak Ibu pintar sekali. Nggak ada yang peduli sama Ibu melebihi kamu, Sayang. Nggak apa-apa Ibu nggak kerja, yang penting tabungan buat lahiran kamu udah ada. Nggak apa-apa Ibu nggak kerja, yang penting kamu sehat ya, Sayang. Ibu sayang kamu. Satu-satunya keluarga yang nggak akan menjauhi Ibu." Ge tahu sekarang mengapa ibunya tidak bisa memusuhi sengit layaknya apa yang dilakukan ayahnya. Meski memang kenyataan ayah Ge bukan memusuhi, pria itu hanya belum siap dengan apa yang dihadapinya. Walau waktu yang lama adalah jaminan agar Ge bertahan dan bersabar. "Sayang, nenek sayang sekali sama kamu. Kalo nanti kamu lahir, pijat kaki nenek dengan lembut, ya. Nenek suka sekali kalo kakinya dipijat, apalagi dengan kamu." Ge menghela napas sebelum melanjutkan. "Kakek juga sayang kamu. Cuma, caranya aja yang beda. Nanti kalo kamu udah lahir, jangan salah sangka sama sifat kakek, ya." Ge terus menjabarkan siapa orang-orang yang menyayangi dan mengharapkan kelahiran bayi Ge ke dunia. Satu per satu. Kecuali si ayah. Ge merasa tidak berhak mengenalkan siapa ayah anaknya. Sudah dipastikan nantinya Garyzka akan bersanding dengan wanita lain, memiliki keluarga lain, dan anak Ge tidak akan cocok dijajarkan sebagai keturunan Pietizo. "Pokoknya, yang sayang dan cinta sama kamu buanyaaaakkkk. Jangan kalah sama ejekan orang lain, ya. Ibu akan berjuang bersama kamu. Kalo ada yang macem-macem, Ibu akan jadi tameng kamu. Pertama dan terakhir." * "Selamat datang di The Orc's." Melia menyapa ramah. Melihat wajah lelaki yang tak asing itu membuat Melia mengernyit. "Saya Garyzka Zaim. Calon tunangan saya meminta untuk saya datang ke sini." "Oh, Pak Gary. Baik kalau begitu, bisa duduk dulu saya akan membuat daftar—" "Ambika meminta saya bertemu langsung dengan Ge—pemiliknya langsung. Bisa Anda panggilkan?" Melia ingin bersikap sinis pada lelaki di hadapannya ini. Tapi tidak bisa, mengingat klien tipe apa Garyzka ini. "Maaf, Pak Gary saya bisa melanjutkan sesi—" "Saya datang untuk menemui Geihara Yogia, bukankah Anda dengar? Jaga telinga Anda supata lebih awas ketika mendengar. Mengerti?" Tegas sekali, batin Melia. Dalam sekali anggukan Melia membuat Garyzka tenang. Kesempatan itu dia manfaatkan dengan menjelaskan duduk masalah. "Saya minta maaf sebelumnya, Pak Gary. Hari ini semua klien saya yang mengurus langsung. Karena Bu Geihara sedang berhalangan masuk—" "Kenapa? Apa pemilik The Orc's tidak bisa profesional sama sekali?" Melia mengernyit sekali lagi. Apa lelaki ini pikir mbak Ge menyampur adukkan masalah pribadi sama, nih laki-laki? Ge'er banget! "Apa kesehatan turun termasuk dalam kategori tidak profesional, Pak Gary?" Melia mendapati wajah Garyzka sedikit panik meski pertahanan diri Gary memang lebih hebat. "Geihara... sakit?" * Kejutan lain hadir ketika Ge sudah memastikan untuk menuntaskan bunga tidurnya; mimpi. Tapi bagian bunga tidurnya malah berkeliaran dengan wajah rupawan yang masih sama seperti terakhir kali Ge tertidur nyenyak. "Pak Garyzka?" Formal sekali. Ge sudah terbiasa memanggil Ga seperti atasannya di mana pun tempatnya, kecuali… di atas ranjang tempat mereka pernah saling menghidu. "Saya butuh waktu yang cukup untuk memastikan tidak terjadi kesalahan di acara saya dan Ambika." "Bapak bisa mendiskusikannya dengan asisten saya. Melia. Tadi pagi saya sudah memintanya untuk mengurus—" "Ambika selalu lebih percaya dengan kamu. Dari permintaannya semalam, dia menjelaskan kalo kamu lebih kompeten untuk diajak berdiskusi." Ge memejamkan mata sejenak. Lelah menderanya. Tidak akan dia izinkan Garyzka masuk ke dalam rumahnya hanya dengan alasan diskusi. Itu adalah alibi paling tidak masuk akal yang menurut Ge tidak patut dituruti. "Baik. Saya akan langsung diskusi dengan Bapak—" "Garyzka. Kamu bisa panggil tanpa embel-embel bapak." "Tapi Bapak mantan atasan saya," balas Ge. "Hanya mantan. Sekarang sudah nggak lagi." Ga menekankan. "Fine. Saya bersiap dulu. Kamu—Garyzka bisa menunggu di sini, setelah itu mari bicara di tempat lain yang lebih cocok untuk diskusi mengenai pesta pertunangan itu." Ga kalah telak. Usahanya untuk berbasa basi akhirnya tak berhasil. Tapi baginya itu tak masalah. Selama Ge bisa bertatap muka dengannya, mungkin hingga wanita itu muak. Dan Ga suka fakta tersebut.  Dengan malas Ge masuk ke dalam rumahnya, bersiap mengganti pakaian dan menemui klien sialannya itu. Ge sama sekali tidak mengizinkan lelaki itu masuk ke rumahnya. Cukup sekali kelancangannya dengan menginjakkan kaki di teras dan tidak akan Ge berikan kesempatan lain untuk ke depannya. Karena menurut Ge, kesempatan mendekat Ga akan sangat berpengaruh pada kedekatan lainnya. Ge tidak mau hal itu terjadi. Tak mau tahu sudah berapa lama waktu yang Ge habiskan untuk bersiap, dia membuka pintu kembali dan mendapati Ga masih berada di tempat yang sama. Masih saja Garyzka seperti hari-hari lalu. Laki-laki itu selalu kaku dengan bersikap lempeng saja dalam segala hal. Entah memang sifat bawaan laki-laki atau memang karakter Ga yang membuat orang gemas—kesal—menghadapinya. "Di mana tempat kita bicara?" mulai Ga. "Terserah." Terdengar dengusan laki-laki itu, membuat Ge menoleh. "Masih sama ternyata," jelas Ga. Meski tidak langsung paham apa yang dimaksud Ga, tapi dia merasa ada hubungannya dengan kebiasaan Ge sewaktu bersama dulu. "Rabbit?" usul Ga dan langsung membuat Ge terperangah. "Nggak!" tolak Ge dengan tegas. Ge tidak mau susah payah meneriaki lelaki sukses itu. Tapi hatinya perih jika dihina secara tersirat begini. Rabbit sendiri adalah salah satu tempat kesukaan Garyzka ketika ingin melakukan hubungan badan. Dan sekarang lelaki itu dengan datarnya tak tahu malu menawarkan penginapan yang memiliki kenangan macam itu pada Ge. Pandangan mata mereka saling terkait, tanpa sadar Ge mengeratkan sentuhan pada perutnya. Sayang, bantu Ibu menghadapi hinaan dari ayah kamu sendiri. Sungguh Ge menahan keinginan tangisnya hingga tidak mampu berkata saking sakit tenggorokannya. "Midnight-Go kalo begitu." Garyzka memutuskan untuk benar-benar pergi ke sana dan berbicara. Kadang Ge merasa enggan bersyukur pada Tuhan karena kejadian seperti ini. Kejadian yang pasti membuatnya terasa seperti makhluk bodoh yang mau dipermainkan oleh laki-laki arogan seperti Garyzka. Tapi menyelami maksud dari kejadian ini, Ge berkaca bahwa ternyata Tuhan ingin dirinya lebih kuat lagi. * Sudah beberapa hari ini Garyzka bertingkah layaknya Ika yang super excited dengan persiapan pertunangan mereka. Padahal tidak harus sebegitu heboh dengan datang di saat jam kerja kantor usai. Ge sendiri selalu membiasakan pulang seperti jam kerja kantor. Dan ulah Ga ini menyulitkan Ge. Sangat. Karena Ge harus mau berdiskusi di tempat lain selain The Orc's. Dan Ge merasa itu dijadikan kesempatan oleh Garyzka. Bukan bermaksud terlalu percaya diri, hanya saja memang sebegitu mencurigakannya sikap Garyzka tersebut. "Mbak Ge, apa calon tunangan Ika itu nggak lebay? Masa hampir tiap hari dateng?" Ge bisa menjawab apa ketika ditanya begitu? Karena memang Ge tidak tahu apa motif Ga sebenarnya dibalik urusan pekerjaan. "Nggak tau, Mel. Orangnya dateng melulu, saya juga nggak mungkin nolak gitu aja. Apalagi alasannya pasti mengenai persiapa pesta pertungannya." "Jangan-jangan..." Melia membekap mulutnya sendiri dengan mata melotot. "Apa sih, Mel? Kamu bikin saya kaget!" Melia masih menggeleng-gelengkan kepala. "Dia ayahnya baby ya, Mbak?" Entah bagaimana kinerja kemampuan spesial Melia itu. Tapi katanya perempuan itu bisa mendengar suara orang lain; suara yang tidak bisa didengar sembarang orang. "Mel... apa kamu nggak ngerasa capek? Bukannya bisa denger kata hati orang itu berisik?" Ge mengalihkan. "Ya, capek. Tapi kalo saya bisa jaga jarak dari keramaian, saya pasti tenang. Itu alasannya saya betah kerja di sini. Ramainya udah tertata, nggak kayak di luar sana, Mbak." Keduanya memilih membagi cerita saja, ketimbang melanjutkan pembahasan mengenai siapa ayah dari bayi Ge. Tidak penting juga kalau setiap saat dibahas. Karena belakangan ini Ge merasa semakin banyak yang menanyakan tentang suami, ayah bayinya, dan segala macam sinonimnya. Ge juga menggunakan kesempatan itu untuk tidak menjeda, dengan bersuara dalam hati, hingga tidak ada kesempatan pula bagi Melia untuk mendengar suara-suara itu. Pintu The Orc's terbuka, menampilkan seseorang yang tidak Ge perkirakan sebelumnya. "Mbak Ge! Hai... maaf ya, saya baru bisa dateng. Kemarin-kemarin saya sibuk banget." Ge memasang senyum dan Melia kembali ke tempatnya. "Nggak apa-apa. Jadi, kita mau nerusin yang kemarin?" Ika mengernyit. "Kemarin? Yang sesi pertama itu ‘kan? Ha ha ha, Mbak Ge nyebutnya jangan kemarin dong. Kan udah beberapa minggu kelewat." Apa nih maksudnya? "O... oh, iya. Maksudnya gitu. Maaf bikin bingung." Kesimpulannya, Garyzka sudah berbohong pada kekasihnya ini mengenai pertemuan yang selama ini Ga lakukan. Ge sudah tentu shock. Dalam bagian apa pun, Ge tidak mau menjadi perusak hubungan orang lain. Ini lebih menyakitkan dari kelakuannya dulu saat tidak profesional hingga melibatkan perasaan dalam urusan pekerjaan dan fatalnya kini tengah mengandung bayi dari calon suami Ambika. * Beberapa waktu setelahnya Ge menolak terang-terangan bertemu dengan Ga. Melia dititahkan untuk berhadapan langsung dengan laki-laki itu, dan mengatakan jujur bahwa pertemuan yang selama ini Garyzka lakukan adalah sikap menipu kekasihnya. Menambah pekerjaan Ge saja untuk merancang konsep dua kali dengan orang berbeda dalam acara yang sama. Melia bilang setelahnya Garyzka diam mendengar alasan mengapa Melia keras kepala tak mau mempertemukan atasannya dengan Ga. Dan sampai Ge sudah mengambil cuti dengan tidak ke The Orc's sama sekali, Ge tinggal bersama kedua orangtuanya. Perasaan campur aduk Ge semakin menjadi. Dia bahagia bisa melihat anaknya yang akan terlahir ke dunia sebentar lagi. Tapi khawatir jika Ga akan nekat mencari tahu latar belakang anaknya nanti. Ge berdoa dalam hati setiap harinya. Bantu aku menjalani segalanya dengan lancar, Tuhan. * Hari yang ditunggu tiba. Setelah beberapa minggu menunggu dengan rasa campur aduk, Ge akhirnya merasakan proses menjadi seorang wanita seutuhnya. Dia akan menjalani hidup bersama darah dagingnya yang siap mendengarkan keluh kesahnya meski tak mengerti apa yang Ge maksud. Makhluk yang membuat Ge selalu bersemangat bekerja siang dan malam untuk memenuhi hidup keduanya. Bersama. "Ibu... aku minta maaf. Maaf sebesar-besarnya… Maafin anak ibu ini yang banyak salah..." Dalam rintih sakitnya, Ge masih berusaha mengucap maaf agar proses kelahiran bayinya dimudahkan. Tuhan memang Maha Adil. Itu yang mendasari mengapa kini Ge mampu merasakan posisi sakitnya sebuah perjuangan menghadirkan seorang makhluk ke dunia fana ini. Ge jadi memahami alasan kuat mengapa sang ibu tidak bersikap dingin meski sempat kecewa mengetahui keadaannya yang berbadan dua tanpa suami. Jika yang lalu Melia sempat mengatakan jangan memikirkan perasaan orang lain sedangkan Ge tidak mementingkan perasaannya sendiri, harus ada penjelasan. Ge memaknainya menjadi sebuah peringatan. Bahwa seorang manusia memang sewajarnya bersikap egois; mementingkan diri sendiri. Yang Melia saat itu layangkan memang terdengar tidak pantas, mungkin karena emosi di hatinya terlalu mendominasi. Kalau Melia yang mengalami hal seperti ini juga pasti memikirkan perasaan orang-orang sekitarnya, karena sudah menjadi bagian kebiasaan kala orang yang melakukan kesalahan terlalu memikirkan perasaan orang lain, khususnya orang terdekat;keluarga.  Ge sempat merenung kembali sebelum ini. Kalau dia tidak mementingkan perasaannya, Ge pasti membiarkan hatinya tersentuh kembali oleh Garyzka. Dengan begitu membuat tubuhnya mampu dikuasai lelaki itu kembali. Tapi Ge tidak melakukannya, berarti kapasitas perasaan yang dimaksud Melia tidak masalah lagi. Sebenarnya. "Yang kuat, Geihara. Anakmu sedang berjuang bersama kamu. Yang kuat." Hartini menguatkan batin putrinya. Semua ini bisa dia lewati. "Ay... ayah, Bu. Aku mau ngomong sama ayah." Setidaknya untuk satu kali tatap muka ini, Ge ingin bicara dan merasa tak terbebani lagi oleh raungan hatinya. "Sebentar. Ibu panggilin dulu." Selama ibunya memanggil sang ayah, Ge menikmati saja nyeri yang mendera silih berganti dan semakin rutin. "Geihara..." "Ayah!" Ge langsung memposisikan diri untuk dipeluk oleh ayahnya. Menenggelamkan wajah di d**a pria tangguh itu. "Maafin aku, Ayah. Maaf... aku nggak bisa jadi anak yang baik. Maafin aku." Yaksa mengelus kepala putrinya, sejenak menyadari sudah lama dirinya tidak memeluk serta mengelus rambut Ge yang semakin panjang saja. "Ayah yang harusnya minta maaf, Ge. Ayah belum bisa jadi orangtua yang ikhlas, padahal ayah sering bilang sama kamu supaya jadi orang yang ikhlas dan lapang hatinya." Ge menangis. Antara sedih dengan sesi penuh emosi dan menahan rasa sakit di perutnya. "Ayah..." "Ya, Ge?" Ingin mengutarakan apa yang sedang Ge pergulatkan dalam hati, tapi merasa terlalu berlebih jika harus meminta ayahnya menemani. Harusnya suami Ge yang melakukan tugas ini. Tak lama salah seorang dokter Ana membuka tirai dan tersenyum pada Yaksa yang memeluk Ge. Dokter Ana memeriksa bukaan dan langsung mengabari para perawat. "Sudah waktunya ibu Geihara untuk mendorong bayinya keluar," ucap dokter Ana menginterupsi. Yaksa berniat keluar, tapi tangan Ge mengerat. "Ayah... temani aku." Ge meminta. "Temani aku untuk melahirkan cucu ayah ke dunia dengan selamat." Kalimat pinta tersebut sudah lebih dari sekadar cukup untuk mengetuk pintu hati Yaksa malam itu. Dia akan menjadi pribadi kakek yang baru bagi cucunya. Sebab kehadiran Aryktar Dewangga Bonanza P[?]. adalah anugerah dari sang Pencipta yang tiada tara duanya. Semua orang berbahagia mendengar tangisnya dan wajah rupawannya. Selamat datang, Sayang. Kami mencintaimu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD