BAGIAN 2

1090 Words
Sejak perkenalan antara Garyzka dengan ayah Ge—Yaksa, semua kembali biasa. Biasa dalam arti Garyzka yang dibiarkan sendiri di pojok sofa, memandangi interaksi keluarga Ge. Semua berpikir bahwa keberadaan Ga di sana untuk menunggu kekasihnya yang sampai satu jam kemudian baru terlihat batang hidungnya. Walau sebenarnya bukan itu yang sepenuhnya Ga lakukan. Melihat Ge dan keluarganya mendadak menciutkan Ga yang ingin berbaur, tapi tidak tahu cara tepatnya. Dia dari lahir memang diberi wajah lempeng, tidak neko-neko berekspresi meski beberapa waktu dia harus menyembunyikan sisi cengeng dari banyak orang. Sebab Ga tidak pernah merasa dekat dengan siapa pun. "Maaf, saya baru dateng. Padahal udah sengaja berangkat lebih cepet, tapi ada aja kendala di jalan." Dengan senyuman menawannya, Ambika bersalaman serta mengenalkan diri pada orangtua Ge. Pandangannya langsung menangkap bayi mungil yanga masih betah saja dalam ketiak kiri si ibu, meski sebenarnya posisi itu disebut dekapan. "Ihhhh, lucunyaaa. Langsung tau mana tempat nyaman ya, si kecil." Ambika memekik senang. "Sayang tidur dia. Padahal saya mau coba gendong." Wajah Ika berganti seolah menunjukkan kekecewaan. "Kamu agak kelamaan datengnya, sih." Ge menimpali dengan kekehan kecil. "Omong-omong namanya siapa, Mbak Ge?" "Aryktar. Panggilannya Ary." "Ary... hey. Bangun dong. Tante pengen gendong kamu, Sayang." Yang memandangi interaksi kedekatan antara calon tunangan serta mantan simpanan, hanya mampu menahan napas. "Mas Gary. Sini, deh. Udah liat baby Ary?" Ga hanya mengangguki saja. Toh, banyak bicara memang bukan gaya dirinya. "Saya ke luar dulu cari minum. Permisi." Ga pamit pada seluruh orang yang berada di ruangan tersebut. Melia menyadari hawa tidak nyaman di sana. "Mbak Ge, saya balik ke The Orc's lagi aja, ya. Kasian ditinggal kelamaan. Bapak sama ibu, kan udah ada di sini. Nanti kalo butuh bantuan langsung hubungin saya aja." Ge setuju, meninggalkan The Orc's bukan hal yang bagus. Belakangan laporan yang sering Melia sampaikan adalah kemajuan pesat orang-orang mengetahui toko tersebut. Makin banyak orang dari berbagai daerah yang menghubungi. "Mbak Ge, kira-kira kapan balik handle langsung?" Selain banyak yang menghubungi, salah satu klien yang kini menjadi akrab dengan Ge juga sudah rewel inginnya Ge saja yang mengurus langsung. "Belum tau. Penyesuaian dululah sama anak saya, Ka. Nanti kalo Ary udah mulai bisa saya bawa ke The Orc's pasti langsung ngurusin punya kamu." "Iya. Yang penting Mbak Ge yang handle buat nanti, aku udah tenang." Tapi aku nggak tenang selalu berhadapan sama calon kamu. * Ge mengikuti arah pandang Garyzka ketika sudah waktu menjenguk habis. Ge merasa ada persepsinya yang agak menyimpang; Ga tidak rela pergi dari Ary. Buru-buru Ge menghapus opini tersebut. Yang Ge lakukan adalah merapatkan Ary dalam dekapannya sekali lagi, serta menutup wajah Ary dengan usapan yang sengaja dia lakukan agar Ga segera melepas tatap. "Bentar, Mas, aku lupa pesen sesuatu dianter ke sini. Aku liat ke depan dulu, ya." Sebelum benar-benar pergi dari ruangan rawat Ge, Ika meminta Ga menunggu di sana. Dalam ruangan tersebut ada ibu Ge tanpa ditemani sang ayah yang katanya mengunjungi pabrik kerupuknya lebih dulu. "Nak Garyzka ini dulu atasan Ge sebagai apa?" tanya Hartini. "Pemiliknya, Bu." Ge yang menyahut. "Pak Garyzka ini pemilik perusahaannya." "Wah, hebat. Masih muda sudah jadi bos. Belum ada 40 tahun ‘kan, ya?" "Belum. Saya masih 30 tahun ini." Hartini memberi senyum. "Semoga selalu sukses, ya. Diberi jalan lapang sama nak Ambika." Ga tidak menunjukkan ekpresi apa-apa. Karena sekarang yang sedang berkecamuk dalam hatinya adalah... apakah aku harus mengamini? * Ada hal yang begitu ingin Hartini bicarakan dengan putrinya. Mengenai kondisi ke depannya, masa depan Aryktar, tugas yang seharusnya diemban seorang laki-laki—suami—dalam hidup anaknya. Sebagai ibu Hartini terlalu takut mendapati anaknya memiliki masa depan yang kurang, sebisa mungkin sisi keibuannya ingin yang terbaik. "Mantan bos kamu itu baik, tapi karakternya datar sekali, ya." Gerakan mengupas kulit apel itu terus dilakukan dengan telaten oleh Hartini. "Emang begitu orangnya, Bu. Nggak ada ekspresi. Disaat tertentu aja ekpresinya keliatan." Ge tidak mau memandang mata ibunya ketika menjawab. Cukup saja kegelisahannya tersimpan dalam-dalam. "Semasa kamu kerja ibu belum pernah denger kamu cerita atau curhat tentang kerjaanmu. Apalagi bos kamu itu. Ibu pikir kamu kerja cuma jadi karyawan biasa, tapi ternyata kamu jadi sekretaris pemiliknya." Hartini melempar senyum bangga, potongannya yang pertama ia sorongkan ke bibir Ge, membuat putrinya itu membuka mulut menuruti pelayanan lengkap ala ibu. "Kamu nggak ada niatan kerja lagi?" tanya Hartini pelan, tak mau menyinggung apa-apa. "Nggak, Bu. Penghasilan dari The Orc's juga udah cukup. Kalo usaha ini makin berkembang nggak perlu ada yang dicemasin lagi. Aku sama Ary bisa hidup berkecukupan, kok." Hartini menyesuaikan diri untuk terus menahan senyumannya agar tidak meluntur. Butuh dukungan moral yang tinggi bagi wanita usai melahirkan. Sudah bagus putrinya tidak memiliki trauma sendiri menghadapi bayinya. "Nak. Ibu mau cerita, tapi kamu jangan mikir aneh-aneh, ya." Anggukan pelan Ge menguatkan niat Hartini untuk melanjutkan. "Ibu dan ayah nggak menganggap remeh urusan ekonomi keluarga. Juga nggak ngerasa nggak bisa memenuhi karena sulit. Memang bisa kalo dijalani, tapi harus dipikirkan matang-matang. Butuh koordinasi yang baik. Orang kan nggak selalu maunya bisa diatur. Biaya apa aja tiap tahunnya bisa naik. Kira-kira apa kamu sanggup jalani semuanya sendiri?" Ge memandang ibunya dengan maklum. Wajah yang selalu memberi kekuatan padanya untuk tetap tegar menjalani hidup, ada di depannya mengharap nasib tidak akan terlalu buruk ke depannya. "Ibu dan ayah selalu jadi panutan aku. Masalah yang seperti itu nggak akan menghancurkan kami. Aku dan Ary akan semakin kuat dengan dukungan Ibu dan ayah." Digenggam erat jemari Hartini merasakan hangatnya. "Maafin aku ya, Bu. Selalu bikin masalah, tapi nggak bisa mandiri juga sampe saat ini. Bahkan ke depannya aku masih bakalan nyusahin kalian." Hartini menepuk lengan putrinya tidak terlalu kencang, menyalurkan rasa sedihnya. "Kalo ngomong sama kamu itu dibikin nangis melulu. Capek Ibu!" gerutu Hartini seraya mengusapi air matanya. Ge menyengir maklum. Setua ini dirinya masih terlihat seperti anak kecil oleh ibunya. "Bu... peluk." Rengek manja Ge sengaja tampilkan. Dia rindu saat-saat seperti ini. Ary akan mendapat banyak kasih sayang dari Ge sebagai ibunya, orangtua Ge sebagai kakek neneknya, dan masih banyak orang yang siap menampung kasih sayang pada Ary. Ge tidak takut meski perjuangannya akan pelik. Sebab menjadi orangtua tunggal bukan derita, tapi petualangan pengalaman menjadi orangtua yang... tak lengkap. "Permisi, Ibu." Ada salah seorang perawat yang datang dan mendorong box milik Ary, mengintruksi agar sesi pelukan antara Ge dan ibunya. "Tuan Ary kecil sudah selesai mandi, Ibu. Nangisnya kencang, sepertinya tau maunya deket ibunya." Sang suster tersenyum. Ge menerima Ary dan seperti biasanya, mendekap bayi itu serta menyorongkan p****g untuk Ary dapatkan ASI-nya. Semua yang sekarang ini berjalan mulai terasa ringan karena ada si kecil yang siap dia dekap setiap saat. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD